Problematika manusia modern makin lama makin rumit, kita sudah banyak yang lupa kalau esensi hidup adalah pengabdian. Tentunya, Tuhan tidak menciptakan kita sedemikian sempurna tanpa dibebankan tugas khusus. Dan sudah sewajarnya kalau tugas kita sebagai manusia itu juga tidak mudah, kita semua tahu bahwa menjadi khalifah adalah tugas yang dibebankan pada manusia.
Tapi, tentu saja tidak semua menjalankan tugas tersebut dengan baik. Baik ath-Thabari maupun al-Qurthubi sepakat bahwa manusia pada dasarnya menerima anugerah berupa potensi akalnya, tapi perilaku manusia dapat mengubah anugerah itu menjadi keburukan atau musibah.
Perilaku Manusia Dapat Mengubah Anugerah
Menurut Imam ath-Thabari, semua orang itu dalam kebaikan dan kenikmatan. Allah tidak akan mengubah kenikmatan-kenikmatan seseorang, kecuali mereka mengubah kenikmatan menjadi keburukan sebab perilakunya sendiri, dengan bersikap zalim dan saling bermusuhan kepada saudaranya sendiri. ‘
Hanya saja, Imam al-Qurthubi berpendapat, faktor berkurangnya atau hilangnya kenikmatan yang diterima hamba itu tidak tunggal. Menurutnya, faktor itu bisa murni bersumber dari kesalahan hamba itu sendiri. Bisa pula dari kesalahan anggota keluarga atau komunitas sekitarnya, sebagaimana terjadi pada perang Uhud.
Pasukan Muslimin pada perang Uhud kalah bukan lantaran kesalahan semua pasukan, tapi ada kesalahan beberapa individu saja. Tapi membuat orang lain mendapatkan getahnya. Dengan bahasa lain, kesalahan segelintir orang itu berdampak sistemik, lalu menggoyahkan kekuatan kelompok secara keseluruhan.
يقول تعالى ذكره: (إن الله لا يغير ما بقوم)، من عافية ونعمة، فيزيل ذلك عنهم ويهلكهم = (حتى يغيروا ما بأنفسهم) من ذلك بظلم بعضهم بعضًا، واعتداء بعضهم على بعض،
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum) yang berupa sehat sejahtera dan penuh kenikmatan kemudian kenikmatan itu menjadi dibuang dan dirusak oleh Allah, (sampai mereka mengubah sesuatu yang ada para pribadi mereka) yaitu dengan sikap dzalim antar sesama dan permusuhan terhadap orang lain.” (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi ta’wilil Qu’an, [Muassasah ar-Risalah: 2000], juz 16, hlm. 382).
Manusia yang Melampaui Batas Aturan
Poin utama dalam sebuah perubahan adalah bagaimana cara kita bersabar dan bersyukur. Manusia sekarang cenderung melampaui kehendak Tuhan, bahkan dengan berani membuat aturan di luar batas yang ada. Hal ini bisa membuat kehilangan fungsi dari akalnya, dan bisa timbul kekacauan akibat perbuatannya tersebut.
Lalu mengenai agama Islam —yang terdiri dari ushul dan furu’— memiliki batasan terlarang atau garis merah yang tidak boleh dilampaui. Hal melampaui batas ini bukannya tidak terjadi di tengah masyarakat. Di masyarakat saat ini, ada orang-orang yang disebut dengan kelompok radikal mengkafirkan muslimin. Masalah ini kiranya perlu adanya sikap mengingkatkan masalah takfiri yang sedang dihadapi oleh umat Islam dari dahulu.
Lalu di dalam agama Islam terdapat perkara-perkara gamblang yang diistilahkan dengan “dharuriyatuddin”. Yakni, perkara-perkara yang sudah maklum disepakati seluruh muslimin, seperti iman kepada Nabi Muhammad dan tiada nabi sesudah beliau saw, kewajiban shalat lima waktu, dan rukun-rukun lainnya dalam agama.
Adapun masalah-masalah yang tidak segamblang itu, yang masih diperselisihkan dan dalam perbedaan pandangan di antara ulama, bukanlah bagian dari batas-batas terlarang atau garis merah tersebut.
Adapun penafsiran Agama Islam juga sangat konservatif (extremely conservative), dimana muslim senantiasa diajarkan untuk selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an. Termasuk tidak boleh merubah-rubah ayatnya seiring perkembangan zaman (tidak seperti yang disuarakan kelompok Islam Liberal bahwa ayat-ayat Al-Qur’an harus disesuaikan dengan perkembangan zaman). Dan seorang muslim tidak boleh terpengaruh dengan pandangan liberal, hedonis, komsumtif, serta perilaku modernis, yang dibawa oleh arus globalisme.
Kontradiksi Liberal Seorang Muslim
Semakin liberal seorang muslim, biasanya tanpa dia sadari dia kehilangan spirit muslim itu karena yang bersangkutan tidak menerapkan perilaku seorang muslim sejati. Itu berarti dalam Islam, semakin kita “back to the root”, maka semakin baik status muslim kita.
Semakin liberal seorang muslim, biasanya ia lebih condong memperjuangkan liberalisme, hak-hak sipil, dibandingkan memperjuangkan agama Islam itu sendiri. Dapat disimpulkan disini bahwa Islam dan liberalisme dalam konteks ini jelas saling bertentangan satu sama lain.
Maka Islam washatiyah bisa menjadi sebuah solusi, dan juga perlu diingat bahwa Allah SWT selalu menolong hamba-Nya dengan cara-cara yang diluar dugaan hamba-Nya (min haitsu laa yahtasib). Seperti contohnya, pada awalnya ada seorang yang sering bertindak dan berpikir melampaui batas. Namun setelah diuji entah dengan kenikmatan atau kesusahan, dia bertobat dan bertawakal kepada Allah SWT.
Sebenarnya, tugas manusia sebagai khalifah ialah orang yang melerai persengketaan di antara manusia. Yaitu memutuskan hukum terhadap apa yang terjadi di kalangan mereka menyangkut perkara-perkara penganiayaan, dan melarang mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan serta dosa-dosa. Maka sudah seharusnya kita introspeksi diri, apakah kita sudah menjalankan hal itu?
***
Mungkin saja, tanpa kita sadari kita masih banyak melakukan hal hal yang melampaui batas yang menghalangi dikabulkannya doa dan harapan kita. Sesungguhnya, Allah SWT itu lebih mengetahui apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.
Dengan demikian, marilah kita bersama-sama untuk kembali kepada jalan-Nya, yakni jalan kebenaran. Kita harus mengikuti aturan-aturan yang telah dibuat oleh Allah SWT. Konsekuensi logisnya adalah Allah SWT pasti akan mengabulkan doa kita jika kita selalu dekat dan selalu beribadah menjalankan segala perintah-Nya.
Editor: Zahra