Oleh: Nibros Hassani
Menjadi mahasiswa sekaligus pernah menjadi bagian dari komunitas dan pusat studi yang peduli pada permasalahan gender membuat saya banyak bertemu dan berdiskusi dengan pakar-praktisi dari berbagai wilayah di Indonesia. Memang secara nyata permasalahannya kompleks, pun dari segala sisi. Apalagi ditambah isu yang muncul mengenai prostitusi artis, yang kebetulan korbannya adalah perempuan.
Sebagai orang yang pernah menjadi anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bergerak di bidang pers, saya sempat ‘merasa bersalah’ atas apa yang terjadi pada artis VA beberapa waktu lalu, sebab banyak kritikus dan pakar menyebutkan bahwa media berikut pers Indonesia hari ini sama sekali tidak ramah perempuan. Pada kasus VA sendiri, disebut terlalu banyak media yang mengunggah judul-judul bombastis yang maknanya sangat merendahkan martabat perempuan secara keseluruhan. Atau bila disangkutkan dengan teori feminisme dan gender dari Barat, judul-judul tersebut adalah sangat ‘seksis’(baca juga : Wahyudi Akmaliah “Perempuan, Seksisme, dan Media Patriarki”) .
Kita tentu ingat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) sempat didukung Menteri Yohana untuk segera disahkan sebab konon, bisa menjerat tak hanya pelacurnya, namun juga mucikari dan pengguna layanan prostitusi tersebut. Pada diskusi terakhir yang saya lakukan dengan seorang Director of Center for Gender Studies, Dr. Dinar Dewi Kania yang mengamati permasalahan pasal ini, beliau sempat menyinggung betapa banyak RUU dan pasal-pasal di Indonesia yang secara yuridis teramat bermasalah, juga dalam praktiknya. Beberapa pasal justru berpotensi memunculkan bentuk ketidakadilan lain bagi masyarakat. Dilema ini tentu membuat kita terus mendukung para pembuat kebijakan, pakar, dan praktisi hukum untuk mengkaji secara lebih serius agar hukum nantinya melindungi masyarakat secara menyeluruh, bukan sebaliknya.
Menjaga Muru’ah Perempuan
Muru’ah yang berasal dari bahasa arab, dalam kamus daring almaany.com diartikan sebagai keluhuran budi, kedermawanan, kehormatan, keperwiraan, kewibawaan. Sedangkan dalam KBBI daring, muruah diartikan sebagai kehormatan diri; harga diri; nama baik. Terlepas dari sejarah kata dan tatanan linguistiknya, perbincangan mengenai muruah perlu dihadirkan kembali atas apa yang menjadi perhatian beberapa waktu terakhir mengenai prostitusi dan korbannya yang seringkali adalah perempuan.
Dalam buku “Nilai Wanita” karya K.H. Moenawar Chalil (terbit tahun 1969), peran perempuan dituliskan sangat sentral, dan sering berkelindan pada tugasnya sebagai tiang negara (imadul bilad). Dalam perkataan yang terkenal juga disebutkan, mendidik secara benar satu perempuan artinya menyelamatkan satu generasi sebuah bangsa. Sedemikian peran perempuan (seharusnya) dihargai oleh tiap institusi keluarga dan negara, tentu bercermin dari kasus VA, seluruh perempuan di Indonesia ikut terluka.
Prostitusi tentu bukanlah sebuah kebanggaan dalam suatu masyarakat yang mengakui Pancasila sebagai tatanan hidup dan landasan hukum. Peranan dan martabat perempuan dalam kamus dan buku-buku kita bahkan jauh lebih mulia, dan tinggi maknanya.
Kita ingat, perempuan dalam sejarah kita bukan yang dikekang dan tidak diperbolehkan tampil. Banyak perempuan dalam sejarah Indonesia yang terjun perang, ikut berpolitik, mengatur siasat, membangun institusi pendidikan, memimpin kerajaan, juga mendirikan surat kabar. Yang kesemuanya mendukung kemerdekaan Indonesia untuk lepas dari penjajahan, dan dirasakan manfaatnya hingga kini.
Juga mengenai wacana bahwa prostitusi bisa legal, dengan disertai aturan dan syarat yang ketat secara hukum. Saya termasuk yang sepakat bahwa sangat absurd untuk menjadikan prostitusi sebagai suatu yang legal dimata hukum, meski diikuti dengan syarat dan ketentuan yang diatur sangat ketat oleh negara. Sebab hukum yang menjadi panduan dan tuntunan para pembuat kebijakan justru menimbulkan relativisme moral baru: bahwa dalam Pancasila yang pada sila keduanya menekankan bangsa yang ‘beradab’ itu, melegalkan prostitusi.
Dan prostitusi (baca : pelacuran) itu jauh dari kata beradab, karenanya bertentangan dengan pancasila. Kalaupun ada suara sumbang yang ‘memaklumi’ itu sebagai bentuk dari memenuhi kebutuhan gaya hidup, apalagi seorang artis, tentu tetap tidak boleh dibenarkan.
Terlepas dari ilmu lain yang membahas bagaimana media mencitrakan perempuan, hukum dan keadilan, atau konvensi hukum Internasional yang perlu terus dikritisi, poin terpenting juga adalah bagaimana mengembalikan martabat perempuan. Toh Indonesia bukan tidak mungkin melahirkan kembali sosok-sosok perempuan yang perannya jauh lebih mulia dan tinggi maknanya, bahkan mengangkat citra dan muruah perempuan secara menyeluruh.
Penulis adalah Pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Milenial (JIM3)