Perspektif

Hanya Penulis Gengsian dan Nggak Kreatif yang Takut Miskin (Tanggapan untuk Wahyudi Akmaliah)

6 Mins read

Tulisan ini barangkali akan terasa “norak” bagi banyak penulis hebat yang melihat dunia menulis sebagai dimensi sakral yang harus dijauhkan dari segala kenikmatan duniawi. Isinya bakalan mirip cerita motivasi ala Mario Teguh belaka, dan terlalu dekat dengan hal-hal yang bersifat material. Tapi saya merasa wajib menuliskannya.

Saya mulai yakin, segala kabar kabur yang melemahkan motivasi para (calon) penulis muda Indonesia harus ditangkis. Bukan atas nama sikap defensif dan semacamnya. Namun lebih karena dunia baca-tulis, literasi, pertukaran pengetahuan dan gagasan, adalah ekosistem yang kompleks dan besar. Untuk menyehatkan sebuah ekosistem besar, mustahil kita hanya melakukan pembenahan parsial.

Konkretnya, kita tak bisa terus-menerus mengeluhkan betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, misalnya, jika di saat yang sama kita tidak berjuang pula untuk menyuburkan benih-benih penulis hebatnya.

Minat baca tidak berangkat dari ruang hampa. Ia sangat ditentukan oleh kualitas produk-produk tulisan yang tersedia bagi publik pembaca. Sementara, kualitas tulisan akan muncul jika dan hanya jika para produsen tulisan punya semangat berkarya.

Sialnya, semangat berkarya tidak akan pernah tumbuh bila informasi tentang dunia yang akan digeluti para (calon) produsen tulisan itu melulu kabar-kabar sendu dan kelabu. Lebih-lebih jika kabar kelabu itu meleset, karena sampel yang diambil ternyata keliru.

***

Pekan lalu, peneliti LIPI Wahyudi Akmaliah menulis tentang kehidupan para penulis, dengan judul “Profesi Penulis, Terlihat Gagah Tapi Rentan Secara Ekonomi”. Menurut amatannya, profesi penulis membawa efek popularitas dan citra intelektual, namun dalam soal-soal kemapanan ekonomi sangatlah rapuh.

Buktinya, di negeri dengan tingkat literasi jeblok seperti Indonesia, mayoritas penulis hanya mampu melihat buku-bukunya terjual di bawah 3000 eksemplar, sementara jatah royalti hanya 10%. Dengan kemampuan menulis yang rata-rata cuma dua judul per tahun, tentu royalti itu tidak mungkin dijadikan sandaran penghidupan. Begitu kira-kira Wahyudi memberikan ilustrasi.

Membaca gambaran tersebut, hanya sekilas pandang saya langsung melihat lubang besar dalam struktur argumennya. Contoh aktivitas penulis yang ia sodorkan sangatlah purba, yaitu menulis buku saja. Otomatis, sumber ekonomi seorang penulis tak lebih dari royalti buku. Itu tentu argumen yang sangat bermasalah.

Tak usah jauh-jauh sampai ke era digital. Di masa pra-digital, aktivitas para penulis dalam berjualan tulisan sudah sangat banyak. Selain menulis buku, para penulis nonfiksi mengirim artikel ke koran-koran dan majalah. Kelihatannya itu kecil, dan banyak sekali yang gagal. Tapi setelah saya cermati, kegagalan yang dialami para penulis lepas itu terjadi karena problem yang sama dengan yang dialami oleh pekerja lepas dalam bidang apa pun, yaitu: kurang produktif dan kurang kreatif. Kreativitas di situ bukan hanya kreativitas ide, namun juga kreativitas dalam “menjual” tulisan.

Baca Juga  Setiap Malam di Bulan Ramadhan adalah Lailatul Qadar, Mungkinkah?

Saya telah mendengar banyak cerita. Dari Kang Mohammad Sobary, misalnya. Betapa pada masanya dia begitu banyak menulis, dapat banyak honor dari situ, sampai-sampai ia bilang bahwa dari menulis itu “Saya tuh ndak pernah miskin.” Itulah yang ia sampaikan pada suatu malam di Pesantren Kaliopak, Jogja, dua tahun silam.

Contoh lain yang lebih ngeri adalah Cak Nun. Meskipun Cak Nun tercitrakan sebagai gembel Malioboro, dompet seperti apa yang dapat Anda bayangkan dari orang yang tulisannya muncul hampir setiap hari di koran-koran pada masanya, bahkan seringkali dalam sehari tulisan Cak Nun nongol di lebih dari lima media?

“Iya lah, tapi itu kan Cak Nun dan Kang Sobary. Lha yang lain piye?”

Jangan loyo dulu. Saya kenal beberapa penulis di Jogja yang juga sangat mapan secara ekonomi dari hanya menulis artikel. Ambil contoh Mas Indra Ismawan, yang belakangan mendirikan penerbit Media Pressindo Group. Pada zamannya, dia sangat produktif menulis, sangat kaya untuk ukuran masa itu dari hasil menulis di koran-koran, lebih kaya ketimbang pegawai bank sekalipun (profesi yang secara awam dipandang bikin kaya).

Itu baru yang penulis nonfiksi. Bagi para penulis fiksi, peluang “monetisasi” itu terbuka lebar pula dalam jalur yang lebih bersifat terapan. Penulisan skrip, misalnya. Untuk film, sinetron, pementasan teater, iklan radio dan televisi, dan lain-lain. Tanya saja ke Mas Agus Noor dan Mas Eka Kurniawan kalau nggak percaya.

Di sini, yang sering jadi hambatan justru adalah glorifikasi profesi penulis itu sendiri. Karena menulis karya-karya sastra diklaim sebagai sangat adiluhung, akibatnya justru tak jarang segolongan penulis menjaga jarak dari industri yang sebenarnya membutuhkan keterampilan mereka. Mereka lupa bahwa sepanjang sejarah, jagat pengetahuan, gagasan, dan imajinasi hanya akan berkembang jika mau kawin dengan industri—meski bukan berarti harus sepenuhnya menghamba dan membuang idealisme di hadapan industri.

Itu baru bicara dunia kepenulisan di masa lalu. Di masa kini, opsi-opsi aplikatif untuk para penulis jauh lebih luas lagi, meski pilihan lama seperti menulis di media massa dan menulis buku masih tetap ada. Tahukah Anda bahwa ada bisnis penulisan twit dan caption Instagram oleh sekelompok penulis yang mampu menghasilkan ratusan juta rupiah?

Baca Juga  Knowledge Management sebagai Peningkatan Kompetensi SDM

Itu cuma salah satu contoh saja, meski aktivitas menulis caption semacam itu dianggap kurang “bermartabat” oleh sebagian penulis. Tapi kalau saya boleh bertanya, siapakah pelaku bisnis itu, dan keterampilan apa yang dibutuhkan untuk menjalankannya?

Ya, tentu saja pelakunya bukan pilot atau tentara, melainkan para penulis, dan keterampilan yang dibutuhkan di sana ya keterampilan menulis!

Satu lagi, ini tentang buku-buku. Selama ini, banyak orang mengira penghasilan dari buku hanyalah royalti. Hanya sedikit yang tahu bahwa ada banyak orang ngetop membutuhkan biografi dirinya ditulis, sepak terjang dalam hidupnya diabadikan dalam bentuk buku, atau sejarah lembaganya dicatat lalu dicetak menjadi kitab yang mewah dan membanggakan. Sekarang memang sudah zaman digital, tapi pengabadian sejarah lewat buku-buku fisik ternyata masih sangat dibutuhkan.

Dan jangan salah, itu bisnis besar. Silakan saja tanya para pelakunya, semisal Mas Bambang Trim, Mas Yusran Darmawan, dan, ehem, saya sendiri.

Masih adakah contoh lainnya? Masih, dan banyak. Tapi kalau saya terus-teruskan, ini tulisan bakalan terlalu panjang. Bisa-bisa malah diambil penerbit lalu disulap jadi buku Kiat Jitu Cari Duit dari Menulis, lantas diterbitkan dan saya cuma dapat royalti 10% sementara lakunya pun cuma 300 eksemplar.

***

Intinya, etos, produktivitas, dan kreativitas menjadi kunci. Dan sebenarnya itu bukan cuma dalam bidang tulis-menulis, Sodara. Dalam bidang apa pun, profesi yang bersifat freelance tidak akan menjanjikan kemapanan ekonomi jika pelakunya malas-malasan, bekerja ala kadarnya, dan ketika bekerja hasil pekerjaannya pun tidak berkualitas. Lha mosok kerjaan buruk kok mau laku?

Memang, pertama kali kita harus meletakkan profesi penulis sebagai profesi lepas. Jangan bandingkan dengan dokter yang bekerja di rumah sakit mewah ala Siloam, pakar IT yang bekerja di Telkomsel, atau lulusan teknik perminyakan yang bekerja di Chevron. Bandingkan saja dengan arsitek freelance, misalnya.

Seorang arsitek lepas yang karya-karyanya buruk, tidak bisa memenuhi keinginan konsumen akan konsep bangunan yang diidealkan, dan hanya ongkang-ongkang kaki di rumah tanpa memasarkan diri dan keterampilannya, ya tidak akan laku. Apakah kemudian dia pantas meratap bahwa profesi arsitek tampak keren tapi dompetnya kempes? Rasanya tidak. Bukan profesi arsitek yang kempes, tapi dianya sendiri yang kempes.

Atau musisi. Seorang musisi atau penyanyi akan laku hanya jika lagu-lagu ciptaannya bagus, produktif dan sering tampil lewat media apa pun, skill-nya semakin hari semakin matang, paham selera musik pendengar, dan pintar memasarkan diri. Jika tidak, ya ambyar.

Itu baru soal yang sifatnya etos dan kemampuan memasarkan diri. Di sisi lain, pada zaman yang kian kompleks ini, cara memandang suatu profesi tidak bisa lagi sangat kaku: bahwa penyanyi harus hanya menyanyi, bahwa atlet harus hanya bertanding olahraga. Tidak.

Baca Juga  Para Kontributor Adalah Nyawa IBTimes.ID

Cendekiawan Jogja yang ganteng dan cerdasnya minta ampun, Mas Hairus Salim, menggambarkan bahwa profesi penulis itu agak mirip penyanyi di zaman ini. Seorang penyanyi di era 4.0 tidak lagi terpaku pada penjualan kaset sebagaimana pada zaman side A side B. Bahkan lagu mereka banyak digratiskan via Youtube. Namun kemudian, lewat popularitas yang diraih via medsos, mereka mendapat banyak undangan manggung offline, jadi bintang iklan, atau me-monetisasi channel Youtube dengan bejibun iklan.

Apakah lantas sang penyanyi berubah profesi menjadi tukang iklan? Ya tidak. Dia tetap penyanyi. Dan hal-hal lain selain menyanyi itu bukan lantas semata-mata efek samping yang tidak direncanakan. Semua itu “efek depan” yang sangat bisa dirancang, karena jelas jalurnya.

Nah, begitu pula dengan penulis. Tadi sudah saya ceritakan tentang peluang-peluang yang terbuka lapang untuk meraih hasil ekonomi yang sangat layak bagi para penulis. Namun selain itu, ada efek-efek lanjutan dari profesi penulis yang secara kasat mata tidak berada di jalur aktivitas kepenulisan, tapi sama sekali bukan efek samping. Kenapa? Sebab sekali lagi: semua itu bisa dirancang dan jelas jalurnya.

Dunia menulis adalah dunia gagasan dan pengetahuan. Tidak aneh jika kemudian banyak penulis mendapatkan efek lanjutan berupa undangan untuk berbicara tentang berbagai topik yang telah dia tulis, menjadi narasumber bahkan konsultan ahli untuk tema yang sering ia tulis, atau minimal diminta untuk mengajar menulis (seperti seorang penulis berinisial IAD).

Semua itu tidak lantas menjadikan si penulis bukan lagi penulis, sebagaimana Joko Pinurbo yang sering jadi juri lomba puisi tidak lantas berubah profesi menjadi “juri puisi”. Dia tetap penyair, dan dia menjadi juri juga karena dia seorang penyair. Andai dia tidak berangkat dari menulis puisi, mustahil pula dia jadi juri lomba puisi.

***

Poin saya, lagi dan lagi, efek-efek lanjutan yang menjadi berkah ekonomi bagi penulis itu bukan efek samping yang diterima hanya sebagai kejutan yang bersifat tiban. Semua bisa dirancang dan direncanakan. Maka, sebagaimana profesi-profesi lepas lainnya, profesi penulis tetap membutuhkan etos tinggi, produktivitas, skill yang matang, dan kreativitas tanpa henti.

Lebih dari itu, wajib dibentuk pula sedikitnya tiga hal: kemampuan berjejaring yang tepat sasaran, personal branding, dan kesadaran untuk tidak perlu gengsi-gengsian dalam menjalankan mekanisme marketing. Dengan demikian, keterampilan menulis menemukan “konsumen”nya, dengan apresiasi yang sangat layak.

Ah, saya masih membayangkan, andai soal-soal begini disebarluaskan dengan santai, tidak lagi dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka oleh para penulis yang hebat-hebat itu, niscaya anak-anak muda tak akan berpikir sampai lima ribu kali untuk menjalani hidup sebagai penulis. Profesi penulis pun akan dipandang cukup menjanjikan kelayakan standar penghidupan, dan aktivitas menulis tak akan lagi jadi hobi sampingan saja yang dilakukan sambil lalu.

Dengan begitu, kualitas tulisan-tulisan yang tersaji di meja perjamuan masyarakat pembaca di Indonesia pun semakin oke, sehingga semakin banyak orang yang suka membaca, dan dari situ kita tak lagi cuma berkubang dalam rengekan-rengekan cengeng tanpa henti terkait rendahnya minat baca.

Editor: Yahya FR
Avatar
5 posts

About author
Esais, Trainer Kepenulisan
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *