Pendahuluan
Dalam beberapa paragraf yang akan datang, Anda akan disuguhi beberapa alasan mengapa Islamisasi sudah gagal, dan mengapa dunia sebenarnya tidak membutuhkannya.
Secara resmi, serius, dan filosofis, gagasan Islamisasi disusun dan diperkenalkan oleh dua ilmuwan besar; Ismail Raji al-Faruqi dan Muhammad Naquib al-Attas. Namun, secara alami, hasrat Islamisasi tersebut lahir dari keadaan inferior dunia Islam di hadapan modernitas.
Al-Attas (1978) misalnya, dalam karya-karya polemisnya, mengatakan bahwa umat Islam harus punya versi Islami dari filosofi, pandangan dunia, dan pengetahuan, untuk menghentikan laju westernisasi.
Al-Attas begitu yakin modernisasi adalah anak kandung westernisme dan sekularisme; dan bukan anak kandung Islam. Oleh karena itu dia menawarkan ide Islamisasi. Dimulai dari Islamisasi pengetahuan, lalu diikuti oleh hasrat Islamisasi seluruh aspek kehidupan; sejak dari pakaian Islami, hingga sistem ekonomi Islam.
Tak perlu menjadi pengikut al-Faruqi dan al-Attas terlebih dahulu untuk mengaminkan Islamisasi. Sejauh pengamatan saya pribadi, ada banyak sekali Muslim Indonesia yang tak mengerti uraian filosofis mereka berdua, namun tetap bergairah dalam mengislamkan segala lini kehidupan.
Mengapa bisa demikian? Sebab, mereka mengira bahwa dunia mengalami penyakit kesesatan kronis; dan solusi satu-satunya adalah dengan menyuntikkan Islam ke dalamnya (al-Attas, 1978).
Meski pun demikian, saya menganggap ambisi perubahan dan revolusi berbasiskan agama tidak sepenuhnya salah. Siapa pun berhak meyakini (meski secara salah kaprah) bahwa agamanya menyediakan solusi bagi masalah di dunia.
Jangan-jangan, memang benar, bahwa solusi bagi problem sosial, politik dan ekonomi kita adalah dengan kembali kepada syariat Islam? Barangkali benar, bahwa jika kita kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi, maka keadaan dunia akan harmonis lagi? Siapa yang tahu?
Glorifikasi Masa Lalu dan Rasa Takut pada Perubahan
Perlahan namun pasti, kaum Muslim tak bisa menghindar untuk ikut terlibat dalam percaturan dunia modern. Anda bisa merasakannya sendiri di kulit, tubuh, urat nadi, dan di pikiran Anda; bahwa rentetan perubahan dan revolusi sosial yang hari ini menjadi kaidah utama modernitas, telah membentuk dan menentukan jalan bagi kehidupan kita secara global dan universal.
Demokrasi, nasionalisme, negara-bangsa, hak asasi manusia, ekonomi kapitalisme, sains, dan revolusi internet, semua itu benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari jiwa kita semua, termasuk umat Islam.
Bagaimana pun, kaidah alam yang berlaku adalah bahwa suatu perubahan besar akan mengharuskan pihak dan entitas lain untuk juga berubah. Sayangnya, di hadapan orang-orang dengan hati dan pikiran yang sempit, perubahan itu tampak menakutkan.
Semakin dipelajari dan dihayati, saya menjadi sedikit paham bahwa seorang yang terlahir sebagai Muslim akan mewarisi sebuah kepercayaan tentang finalitas agamanya.
Selain itu, kita juga mewarisi keyakinan bahwa agama kita ini sudah lengkap, sempurna, tak kekurangan syarat apa pun untuk bisa menjadi solusi dan obat bagi penyakit peradaban.
Seorang Muslim hidup dengan mempunyai asumsi-asumsi di kepalanya mengenai ini semua. Apakah Anda juga menyadari, bahwa banyak dari kita yang baru bisa merasa tenang dalam memeluk Islam, hanya ketika ia berhasil meyakinkan dirinya bahwa agamanya merupakan satu-satunya agama yang benar, agama terakhir, dan yang paling sempurna.
Hidup dalam asumsi dan glorifikasi seperti itu membuat kita sering terlambat menyambut ide-ide baru. Metodologi berpikir bagi kalangan Muslim yang seperti ini adalah berusaha mencari jawaban bagi persoalan masa kini, dengan cara menggali peninggalan-peninggalan masa lalu.
***
Metodologi ini problematik. Seharusnya, jika ada masalah ekonomi dan politik di dunia modern kita ini, misalnya, maka yang harus dilakukan adalah memperoleh pengertian yang utuh dan tepat mengenai watak dan karakter ekonomi dan politik masa kini. Solusi bagi masalah-masalah itu pun, dengan demikian, akan dibangun berdasarkan watak dan kebutuhan utamanya.
Sementara itu, dalam sebuah metodologi “menengok ke masa lalu”, justru diasumsikan bahwa “masa lalu” itu punya kemampuan mengoreksi “masa kini”. Padahal, apa yang terjadi dan tersusun ribuan tahun silam memiliki watak dan karakter yang sama sekali berbeda, dengan apa yang saat ini ada.
Itulah yang terjadi, ketika gairah keislaman sebagian besar Muslim modern, dari kalangan terdidik maupun awam, mendorong mereka melakukan Islamisasi kehidupan.
Islamisasi berfantasi soal supremasi politik Islam, ekonomi Islam, bank Islam, sekolah Islam, negara Islam, sains Islam, dan seterusnya. Yang ada dalam kepala dan imajinasi mereka adalah fantasi bahwa Islam merupakan sistem yang komplit, dan supremasinya langsung berasal dari pencipta alam semesta. Kalau sudah begini, nalar religius menjadi campur aduk dengan nalar kehidupan sekuler. Ranah di mana kita seharusnya berpikir rasional, malah didekati dengan dogma (Hoodbhoy, 1996).
Anakronisme yang Tak Terhindarkan
Apa yang terjadi pada ekonomi Islam bisa kita jadikan contoh sederhana di sini. Harga diri dan martabat umat Islam yang dianggap terinjak-injak oleh ekonomi kapitalis dijadikan alasan logis mengapa umat Islam harus “bangkit” dan mempunyai versi sendiri tentang ekonomi (al-Attas, 1978; Naqvi, 2013). Saya harus mengatakan dengan segera di sini, bahwa persoalan harga diri ini pun sama sekali tidak objektif. Tak ada yang menginjak-injak kita, selain rasa rendah diri kita sendiri.
Tatkala harus merumuskan definisi ilmu ekonomi Islam yang mereka tawarkan ini, mereka pun mengatakan bahwa ia adalah sebuah ekonomi kemanusiaan yang berlandaskan kepatuhan kepada Tuhan (Naqvi, 2013). Frasa “kepatuhan kepada Tuhan” jangan Anda kira bermakna universal. Sama sekali tidak. Tentu saja, yang mereka maksud, tidak lain adalah eksklusivitas; sebab, yang disebut “kepatuhan kepada Tuhan” adalah kepatuhan terhadap syariat dan hukum Islam.
Lalu, apa yang benar-benar berlandaskan syariah Islam tersebut? Apa pun itu, kenyataannya tidak ada konsep ekonomi syariah yang bisa menandingi kelengkapan dan kerumitan ekonomi global hari ini.
Cara mereka mengislamkan ekonomi pun mandek, dan hanya mampu dilakukan pada dimensi superfisialnya saja. Misalnya, upaya mengislamkan ekonomi itu dilakukan lewat cara reformulasi ukuran bunga bank, regulasi bagi-hasil, industri halal, pasar syariah, atau dinar dan dirham.
Mereka hampir seperti tidak sadar, atau memang sengaja tidak membuka mata, bahwa sebenarnya bunga hanya bagian kecil dari mesin raksasa bernama bank, dan bank itu sendiri adalah mesin utama kapitalisme. Mereka juga tidak sadar bahwa bagi-hasil tak selamanya menguntungkan kedua belah pihak dalam transaksi ekonominya; halal-haram adalah kode-kode etis yang hanya mengikat segolongan manusia yang mempercayainya; dan, dinar-dirham adalah produk salah kaprah dari keyakinan bahwa “masa lalu” selalu lebih baik.
***
Islamisasi dengan metode “kembali ke masa lalu” inilah yang disebut anakronisme. Sebuah tindakan yang tidak masuk akal, tidak rasional, yang salah menempatkan solusi bagi masa kini, yang mengukur baik atau tidaknya sesuatu berdasarkan sudut pandang sempit satu golongan agama semata (Kimball, 2008).
Respon Islamisasi yang demikian bukan hanya tak menjanjikan, tapi justru berbalik, menjadi blunder bagi umat Islam, karena membuat mereka tak mampu beradaptasi dalam iklim ekonomi yang rasional dan pragmatis.
Bahkan, kalau pun mereka akan menengok ke “masa lalu” tersebut, maka tradisi Islam yang diambil pun disyaratkan harus tidak melenceng dari ortodoksi dan pendapat mayoritas ulama. Ini juga merupakan sisi yang paling saya sayangkan. “Masa lalu” dan ulama klasik yang mereka perjuangkan haruslah yang berasal dari mazhab mereka sendiri, atau mazhab mayoritas. Mereka antipati pada warisan pemikiran yang jauh lebih sekuler dan rasional dari kaum filsuf Muslim dan para pemikir independen (Hoodbhoy, 1996).
Islamisasi kehidupan, termasuk Islamisasi ilmu pengetahuan, tidak akan pernah berhasil bersaing menghadapi modernitas dan rasionalitas, disebabkan oleh metode anakronik mereka sendiri.
Namun, saya rasa mereka lumayan berhasil menjaga mental dunia Islam supaya tidak makin terpuruk dalam rasa rendah diri. Islamisasi membuat mereka mengkhayalkan kejayaan dan keunggulan masa silam Islam. Tapi, hanya sebatas itu saja. Ia tak mampu membawa perubahan konkrit bagi kemajuan sains, teknologi, maupun humanisme modern di dunia Islam.
Mencampuraduk Teologi dengan Segala Sesuatu
Menurut Mustafa Akyol (2011) metode Islamisasi tidak kritis dalam membaca tradisi dan sejarah; dan, yang lebih parah lagi, mereka masih terjebak dalam eksklusivisme dan tribalisme keagamaan.
Apa maksudnya tribalisme ini? Menurut Charles Kimball (2008), ia adalah anggapan umat beragama bahwa apa yang ada dalam susunan akidah para ulama mereka di zaman dahulu adalah nilai-nilai mutlak dan absolut, yang harus dibela mati-matian; seperti seseorang yang membela sukunya dengan mati-matian.
Kita tengok lagi contoh disiplin ekonomi. Ekonomi modern adalah disiplin ilmu mengenai perilaku manusia dalam tujuan pemenuhan kebutuhan dan keuntungan manusia (Rahardjo, 2012).
Dalam definisi ekonomi yang paling jelas ini, kita bisa mengetahui ontologi, epistemologi, dan sekaligus aksiologi bagi disiplin ekonomi. Ekonomi berbicara soal perilaku rasional manusia, dan bertujuan memastikan manusia bisa meraih keuntungan untuk memenuhi kebutuhan material dalam hidupnya.
***
Tidak ada kebutuhan bagi ekonomi untuk disandingkan dengan entitas supernatural seperti Tuhan, atau hukum Tuhan. Hukum yang berlaku dalam ekonomi adalah rasionalitas.
Tujuan ekonomi tak membutuhkan atribut-atribut kesalehan dan keagamaan, seperti pahala dan dosa, atau surga dan neraka. Tujuan ekonomi modern adalah sederhana, yaitu keuntungan dan pertumbuhan (Harari, 2014).
Sebaliknya, ekonomi Islam menganggap bahwa ekonomi bertujuan untuk menjalankan ibadah kepada Tuhan. Ekonomi harus berdasarkan aturan-aturan syariat, karena, jika tidak, ia akan terjerumus dalam dosa dan neraka.
Tuhan adalah variabel utama dalam ekonomi Islam, karena tidak ada satu aspek pun dalam hidup manusia, termasuk ekonomi, yang tidak diketahui dan disaksikan oleh Tuhan (Naqvi, 2013). Dengan begitu, voila, ekonomi tidak lagi menjadi ekonomi, melainkan berubah menjadi teologi.
Penutup
Salah paham yang lain, yang menjadi landasan psikologis bagi kelahiran hasrat Islamisasi kehidupan adalah anggapan bahwa “musuh-musuh” Islam masih dan akan terus berusaha merendahkan umat ini.
Secara menggelikan, kondisi inferior dunia Islam pasca revolusi industri hingga kini, dipandang sebagai bukti bahwa “musuh-musuh” Islam sedang melakukan makarnya. Mereka, “musuh-musuh” itu, terus maju dalam sains dan teknologi, sementara kita mengeluh sendiri, sambil menyalah-nyalahkan mereka sebagai dalang kemunduran kita (Attas, 1978).
Dunia Islam masih memerlukan waktu, entah berapa lama, supaya secara sadar bisa bergabung ke dalam gerbong modernisme, dengan pola pikir yang adaptif, bersahabat dengan peradaban dan bangsa lain, serta terbuka bagi perubahan.
Tanpa mau menerima universalitas kebenaran, dan menerima pluralitas jalan menuju kebenaran tersebut, maka respon-respon keagamaan yang kita berikan, seperti Islamisasi ini, justru hanya menghambat adaptasi dunia Islam ke dalam iklim modern.
Editor: Yahya FR