Akhlak

Psikologi Islami (1): Dilema Psikologis dalam Penguatan Karakter

5 Mins read

Proses hidup semua manusia tidak selalu mulus, tenang, dan damai. Perjalan hidup manusia seumpama suasana ombak laut. Terkadang tenang dengan semilir angin yang berlalu. Ada kalanya bergulung-gulung menghempas ke bibir pantai dan sesekali landai serta diaduk-aduk angin senja dan dinginnya pagi. Saat itu, manusia terlantar di tengah lautan, ia menaiki sehelai papan yang berukur kecil. Ia bingung mau kemana? Ia menanti belas kasih ombak yang menepi!

Aspek materiil dan spiritual selalu mengaduk-aduk emosi manusia dalam mengaruhi hidup. Satu sisi ditarik untuk memperturutkan nafsu, syahwat, dan emosi dalam tuntutan ambisi, materi, kursi, sensasi, dan gensi. Dan, pada sisi yang lain, ia didorong untuk berada pada jalan kekudusan, kebenaran, dan kefitrahan, serta sublim diri yang humanis dan transedental.

Menurut Muhammad Utsman Najati, dalam kitab Al-Qur’an wa ‘Ilmun Nafsi, menjelaskan bahwa sesunggguhnya dalam kepribadian manusia, terkandung sifat-sifat hewan yang tampak dari kebutuhan-kebutuhan fisik yang mesti dipuaskan. Yakni demi menjaga diri dan kelangsungan hidup.

Selain itu, dalam kepribadian manusia, juga terkandung sifat-sifat malaikat yang tergambar dari kerinduan spiritualnya untuk mengenal, beriman, beribadah, dan bertasbih kepada Allah Swt.

Adakalanya timbul pergulatan antara dua aspek kepribadian manusia itu. Kadang-kadang manusia tertarik oleh kebutuhan dan syahwat tubuhnya. Dan kadang-kadang pula, ia tertarik oleh kebutuhan dan kerinduan spiritualnya (Najati, 2005: 364-365).

Dimensi pergulatan psikologis inilah yang akan mempengaruhi penguatan karakter dan kepribadian seseorang. Maka, sangat diperlukan kemampuan menangkap ‘sinyal’ langit sebagai panduan hidup dan tuntunan dalam mengaruhi fase-fase alam yang telah, sedang, dan yang akan dilewati dikemudian hari. Sehingga tidak salah haluan hidup dan arah tujuan yang hendak dicapai, baik di dunia maupun kealam keabadian, akhirat.

Isyarat Al-Qur’an terhadap Pergulatan Psikologis Manusia antara Aspek Materi dan Rohani

‘Sinyal’ langit melalui isyarat Al-Qur’an telah memantulkan cahaya firman qudus-Nya tentang pergulatan psikologis yang akan dilalui manusia dalam hidup. Baik aspek materiil maupun spiritual, antara lain adalah:

Pertama, hegemoni hawa nafsu. Kecenderungan manusia pada kesenangan jasmaniah dan godaan duniawi

Maka barang siapa yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka pastilah neraka Jahim merupakan tempat kembalinya. Dan barang siapa yang takut akan keagungan Rabb-nya serta menahan diri dari hawa nafsu, maka pastilah surga tempat kembalinya. (QS. An-Naziat {79}: 37-41)

Kedua, terkesima pada sosok hartawan (Qarun) dan ketertarikan pada “asesoris” duniawi.

Baca Juga  Buletin Jumat: Peringatan Nuzulul Qur'an

Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya, berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.(79)  Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar.(80) (QS. Al-Qashash {28}: 79-80)

Ketiga, lari dari esensi dakwah Islam dan tertarik pada pemujaan harta benda.

Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki. (QS. Al-Jumuah{62}: 11)

Terapi Psikologis dalam Penguatan Karakter

Penjelasan di atas bisa saja merupakan kenyataan secara psikologis dan juga realitas hidup secara sosiologis dari waktu ke waktu. Apabila dibiarkan saja, tentu manusia bisa terjerambab pada lembah kemaksiatan, terjerumus dalam dosa, dan terdorong untuk memperturutkan nafsu bahimiah (kebinatangannya).

Maka, terapi psikologi islaminya dalam penguatan karakter adalah melalui pesan moral langit yang dijelaskan dalam firman-Nya, yakni:

Pertama, menyelaraskan antara aspek materi dan rohani.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. (QS. Al-Balad {90}: 4)

Kedua, memaknai esensi harta benda dan anak sebagai batu ujian kehidupan.

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. Al-Munafiqun {63}: 9)

Ketiga, tidak terlena terhadap “asesoris” duniawi.

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. Al-Taghabun {64}: 15)

Keempat, meleburkan diri dalam kebesaran Allah dengan mendekatkan diri kepada Allah.

Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,(9) Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran,(10) Dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.(11) (yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).(12) Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.(13) Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),(14) Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.(15) Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.(16) Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.(17)(QS. Al-A’la {87}: 9-17)

Baca Juga  Berlaku Adil: Keadilan Sosial dan Keimanan dalam Islam

Kelima, ujian hidup dan mati sebagai “sarana” beramal lebih baik.

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk {67}: 2)

Keenam, mampu menyiasati dua jalan yang harus dipilih.

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS. Al-Balad {90}: 10)

Yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan.

***

Ketujuh, meniti jalan yang diridai Allah.

Sesungguhnya, Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. Al-Insan {76}: 3)

Kedelapan, zikrullah sebagai “barometer iman dan takwa.

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). (7) Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.(8) Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (9) Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(10) (QS. Asy-Syams {91}: 7-10)

Kesembilan, setiap pilihan memiliki konsekuensi bagi manusia.

Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat (kebenaran itu, maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya. dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu). (QS. Al-An’am {6}: 104)

Maksudnya ialah barangsiapa mengetahui kebenaran dan mengerjakan amal saleh, serta memperoleh petunjuk, maka dia telah mencapai puncak kebahagiaan.

Kesepuluh, kebebasan daya pikir (akal) menentukan laku hidup manusia.

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al-Kahfi {18}: 29)

Kesebelas, siapa yang “menanam” amal saleh, maka ia akan menerima “panenannya”.

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya. (QS. Fushashilat {41}: 46)

***

Keduabelas, “kaum kiri” (tidak beriman) dan enggan beramal sosial-kemanusiaan akan menerima konsekuensi atas sikap mereka sendiri.

Sekali-kali tidak, demi bulan,(32) Dan malam ketika telah berlalu,(33) Dan subuh apabila mulai terang.(34) Sesungguhnya Saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar,(35) Sebagai ancaman bagi manusia.(36) (yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur.(37) Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,(38) Kecuali golongan kanan,(39) Berada di dalam surga, mereka tanya menanya,(40) Tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa,(41) “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?”(42) Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,(43) Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin,(44) Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya,(45) Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan,(46) Hingga datang kepada kami kematian”. (47)(QS. Al-Muddatstsir{74}: 32-47)

Sekali-kali tidak adalah bantahan terhadap ucapan-ucapan orang-orang musyrik yang mengingkari hal-hal tersebut di atas. Sedangkan yang dimaksud dengan maju ialah maju menerima peringatan dan yang dimaksud dengan mundur ialah tidak mau menerima peringatan.

Baca Juga  Karakter Wara': Mendidik Diri Menjadi Pribadi yang Ihsan

Ketigabelas, para hamba hawa nafsu dan pemuja syahwat (nafsu bahimiyah) adalah umpama binatang.

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?(43) Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).(44) (QS. Al-Furqan {25}: 43-44)

Keempatbelas, yang memperturunkan hawa nafsunya menjadi celaka.

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang. (QS. Yusuf {12}: 53)

***

Kelimabelas, sifat penyesalan dan rasa berdosa menyelimuti manusia (nafsu lawwamah), sebelum ia mengusung tobat nasuha.

Aku bersumpah demi hari kiamat,(1) Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)(2) (QS. Al-Qiyamah {75}: 1-2)

Maksudnya, bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan.

Keenambelas, dalam kebenaran Ilahi lah sang hamba yang shaleh menemukan ketentraman hati dan kebahagiaan hati (nafsu muthmainnah).

Hai jiwa yang tenang.(27) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (28) Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku,(29) Masuklah ke dalam surga-Ku.(30) (QS. Al-Fajr {89}: 27-30).

Editor: Yahya FR

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds