Psikologi Kemerdekaan – Bulan Agustus bagi bangsa Indonesia menjadi Bulan yang cukup penting. Hal ini karena pada bulan Agustus juga bertepatan pada hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebagaimana hari kemerdekaan pada umumnya, pada peringatan hari kemerdekaan biasanya dilalui dengan berbagai acara seremonial seperti upacara bendera, lomba-lomba yang menyenangkan dan lain sebagainya.
Namun, yang mungkin menjadi unik dan berbeda pada perayaan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 76 di tahun 2021 ini adalah mungkin akan sedikit kita temui upacara bendera dan lomba-lomba karena kondisi pandemi yang masih belum mereda.
Sebenarnya, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya di 2020. Namun pada tahun ini, terdapat slogan kemerdekaan yang viral di beberapa platform media sosial yang berbunyi “Tema kemerdekaan tahun ini adalah, bertahan hidup”
Fenoma viralnya slogan tersebut tentunya tidak lepas dari penanganan pandemi Covid di Indonesia yang sampai sekarang rasanya belum menunjukan dampak yang signifikan. Hal ini tentu menjadi sebuah masalah bangsa yang harus diselesaikan pemerintah melalui pendekatan kebijakan yang tepat.
Terutama agar dapat mendorong masyarakatnya juga secara sadar ikut terlibat dalam penanganan pandemi Covid sesuai dengan peran kemampuannya. Kembali kepada konteks kemerdekaan dengan segala masalah bangsa yang hadir tentu menjadi sebuah diskursus yang menarik untuk dibahas dari berbagai sudut pandang.
Maka dari itu, kali ini tulisan yang dibuat dipersembahkan sebagai salah satu bentuk peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia secara layak dan sejatinya sebagai refleksi untuk diambil pembelajaran didalamnya.
Melawan Status Quo Kemerdekaan
Status quo adalah frasa latin yang disingkat dari aslinya “in status quo res errant ante beullm” yang diterjemahkan sebagai “dalam keadaan sebelum perang.” Biasanya, kata status quo saat ini mengacu pada sebuah kondisi keadaan yang berkaitan dengan situasi sosial, politik, dan hukum.
Situasi yang dimaksud di sini adalah situasi yang tidak berubah, tetap dalam suatu kondisi tertentu seperti hukum yang mana sifatnya tetap, pun sama dengan definisi bahasa dari suatu kata yang ada sifatnya tetap dan moral yang berlaku, -selama tidak ada kesepakatan baru atau revisi yang dilakukan-.
Maka selanjutnya, jika dikaitkan dengan definisi bahasa dari kata kemerdekaan, status–quo-nya bisa mengikuti KBBI yaitu adalah keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya).
Namun, jika kajiannya melalui pemaknaan filosofis, status quo terkait kemerdekaan adalah nihil. Karena setiap insan yang hidup, berhak untuk memaknai sebebas mungkin kata kemerdekaan sesuai dengan pengalaman pribadinya.
Berangkat dari asumsi dasar tersebut, maka penulis menghadirkan tulisan ini untuk membahas pemaknaan kemerdekaan bukan dari segi historis–politis. Melainkan melaui kajian fiolosofis–psikologis.
Agar nantinya, narasi yang hadir dalam tulisan ini dapat terus bergulir dan berkembang sesuai dengan konteks yang dimiliki pembaca. Singkatnya, penulis ingin melawan status quo peringatan hari kemerdekaan yang biasanya hanya ramai dengan hal seremonial dan simbol.
Kaitan Kemerdekaan dan Keilmuan Psikologi
Ketika mendengar kata merdeka, kemerdekaan dan selarasnya, kebanyakan dari kita tentu akan terbayang kisah-kisah heroik para pahlawan bangsa dalam melawan penjajahan.
Tidak hanya sampai disitu, jika mendengar kata tersebut, kebanyakan dari kita juga menyandingkannya dengan kata bebas atau kebebasan.
Selanjutnya pertanyaan tentang kemerdekaan sendiri muncul, sebenarnya definisi, makna, dan arti kemerdekaan itu apa? Lalu, apa kaitan kemerdekaan dengan psikologi?
Menurut hemat penulis, kemerdekaan sendiri memiliki kaitan yang selaras dengan aliran psikologi humanistik. Jika kemerdekaan menurut Soekarno (1964) dalam konteks kebangsaan ialah mengakui dasar internasionalisme, mufakat/demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang semua itu berarti adalah mengakui hak dasar hidup setiap orang dan bangsa, gotong royong dalam menciptakan ketertiban dan kebaikan yang seluruhnya ditujukan untuk kesejahteraan sosial dan dilandaskan oleh prinsip ketuhanan.
Maka, makna merdeka adalah melihat kemanusiaan sebagai tujuan utama untuk terciptanya kesejahteraan dan dilakukan dengan metode yang tidak menghilangkan faktor kemanusiaan itu sendiri -holistik atau menyeluruh-, memanusiakan manusia. Hal tersebut juga yang menjadi paradigma aliran psikologi humanistik
Individu dalam Pandangan Psikologi-Humanistik
Lebih lanjut membahas aliran psikologi-humanistik dalam konteksnya terhadap kemerdekaan, penulis menggunakan sudut pandang dua tokoh besar psikologi yaitu Abraham Maslow dan Carl Rogers.
Kedua tokoh tersebut dalam banyak materinya menjelaskan prinsip dasar dari psikologi-humanstik yang pertama bahwa manusia adalah holistik atau meyeluruh. Artinya adalah dalam melihat kepribadian manusia, karakteristik, tingkah laku, dan lainnya, tidak dapat dilihat hanya melalui satu faktor saja semisal pengalaman buruk saja atau pengalaman baik saja.
Keduanya harus dilihat secara detail bahkan juga dengan faktor lingkungannya, konsep diri, pemenuhan kebutuhan diri, respon individu terhadap stimulus dan lain sebagainya.
Selanjutnya, prinsip psikologi-humanistik adalah percaya bahwa fitrah dari manusia adalah baik juga memiliki potensi perkembangan yang baik serta kreatif dalam dirinya. Sehingga, untuk mencapai konsep diri yang optimal menurut psikologi humanistik, harus berfokus pada individu tersebut.
Carl rogers menjelaskan dengan teorinya yaitu Person Centered Theory-Therapy. Sedangkan Maslow juga menjelaskan hal tersebut menggunakan istilah Self-Actualization dalam pemenuhannya terhadap Hierarchy of Needs yang ia tulis dalam bukunya A Theory of Human Motivation dan kita kenal sekarang sebagai Hierarchy of Needs Theory
Ketiga, prinsip psikologi-humanstik ialah untuk mencapai konsep perkembangan yang optimal adalah dengan memperhatikan kesehatan mental individu.
Terakhir, prinsip pentingnya bahwa psikologi-humanstik juga ditujukan sebagai kritik terhadap riset psikologi yang menggunakan binatang sebagai subjek penelitian. Bagi psikologi humanistik, hal yang demikian adalah sebuah penghinaan bagi manusia karena sangat jelas bahwa manusia jauh lebih mulia dibanding hewan karena manusia memiliki akal yang dilandaskan pengetahuannya dan pengalamannya sehingga menjadikan manusia memiliki free will atau kehendak bebas atas perilakunya. Sedangkan hewan tidak.
Makna Kemerdekaan yang Sesungguhnya
Setelah mengulas mengenai kemerdekaan dan kaitannya dengan keilmuan psikologi khususnya psikologi-humanistik, tentunya tahapan yang paling krusial adalah mengambilan makna dari arti kemerdekaan itu sendiri.
Jika pengkajiannya diilhami secara menyeluruh sebagaimana yang terkandung dalam prinsip psikologi-humanstik -holisme atau holistik – dapat dikatakan bahwa kemerdekaan yang sesungguhnya adalah kondisi optimal diri berlandaskan kesadaran penuh individu yang menyebabkan individu bebas dari kebodohan yang menindas. Baik dari diri sendiri maupun orang lain.
Sehingga, dapat terciptanya kesejahteraan diri maupun lingkungannya. Selanjutnya, semoga kita dihari peringatan kemerdekaan bangsa ini tidak hanya merayakan simbol dan seremonial semata tapi, – meminjam istilah Carl Rogers- dapat menjadi manusia yang fully functional person melalui pemaknaan utuh akan kata kemerdekaan karena kita pejuang pemikir-pemikir pejuang. Merdeka!
Editor: Yahya FR