Pemerintah melalui kementerian agama resmi menetapkan 1 Ramadhan 1441 Hijriah jatuh pada tanggal 24 April 2020. Ketetapan itu berdasarkan hasil sidang isbat yang dihadiri sejumlah ormas Islam hingga ahli astronomi di Kantor Kementerian Agama, Kamis (23/4/2020).
Tetapi jauh sebelum sidang isbat tersebut, pada Selasa (25/2/2020) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sudah lebih dulu mengumumkan 1 Ramadhan 1441 Hijriah berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Dengan ditetapkannya awal Ramadhan, maka otomatis umat Islam yang sudah memenuhi persyaratan diwajibkan untuk berpuasa. Bagi umat Islam, puasa menjadi pembeda antara bulan Ramadhan dengan bulan yang lainnya. Bulan ini menjadi bulan yang sangat ditunggu oleh umat Islam di belahan dunia manapun. Dan dengan itu, bulan Ramadhan menjadi mulia dengan sendirinya karena terdapat kewajiban untuk berpuasa.
Dalam bahasa Arab puasa itu disebut “as-Shiyaam” atau “as-Shaum” yang berarti “menahan”. Sedangkan menurut yang dikemukakan oleh Syekh Al-Imam Al-‘Alim Al-Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i dalam kitabnya “Fathul Qarib” bahwa berpuasa adalah menahan dari segala hal yang membatalkan puasa dengan niat tertentu pada seluruh atau tiap-tiap hari yang dapat dibuat berpuasa oleh orang-orang Islam yang sehat, dan suci dari haid dan nifas.
Puasa tentu sangat berbeda dibanding dengan ibadah yang lainnya, karena puasa adalah satu-satunya ibadah yang bersifat subjektif. Siapapun boleh mengikuti sahur dan buka puasa bersama kita, tapi itu bukan berarti dia telah berpuasa seharian. Tidak ada yang dapat memastikan puasanya seseorang kecuali Allah SWT dan pelakunya itu sendiri.
***
Berbeda dengan ibadah yang lainnya, puasa adalah ibadah yang secara terang-terangan dilakukan untuk menyisihkan nafsu keduniaan dan juga hasrat jasmani yang dangkal. Perlawanan terhadap hawa nafsu adalah kunci utama dalam melakukan puasa, baik itu nafsu makan, nafsu minum, serta nafsu seksual harus dilawan semua. Orang berpuasa itu untuk melatih kesabaran dan pengendalian diri, serta meningkatkan rasa syukur.
Dalam sebuah Hadist riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400).
Tradisi puasa sejatinya bukan hanya dilakukan oleh umat Islam saja, pemeluk agama lain pun memiliki tradisi puasa. Puasa dalam agama lain memiliki aturan yang sedikit berbeda dengan Islam, namun tujuannya tetap hampir sama yaitu melatih kesabaran dan disiplin. Bahkan dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa ada beberapa hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ternyata juga melakukan puasa.
Di beberapa waktu, puasa bukan hanya sebagai ritual keagamaan saja. Mohandas Karamchand Gandhi, atau yang akrab dengan sapaan Mahatma Gandhi, melakukan puasa dengan tujuan yang berbeda dari biasanya.
Gandhi menjadikan ritual tersebut sebagai gerakan politik terhadap kolonialisme Inggris. Ia juga melakukan puasa itu untuk mendamaikan umat Islam dan umat Hindu yang dilanda konflik Agama.
Di India, Gandhi dikenal sebagai tokoh revolusi yang melawan penindasan tanpa kekerasan. Ia puasa sampai 21 hari untuk melawan penindasan Inggris yang saat itu sedang menjajah India. Gandhi tetap bersikeras untuk tidak makan apapun selama 21 hari meski kondisi tubuhnya semakin melemah, dan sudah diperingatkan dokter bahwa kesehatannya terancam.
Aksi protes atau demonstrasi dengan menggunakan cara puasa juga beberapa kali pernah terjadi di Indonesia. Tahun 2011 silam, sebanyak 25 petani tembakau perempuan asal Temanggung, Jawa Tengah melakukan aksi mogok makan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Aksi para petani tersebut bertujuan sebagai bentuk protes dan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa produk tembakau.
***
Aksi mogok makan memang telah dilakukan dengan alasan politik di sepanjang sejarah. Berbeda dengan bentuk demonstrasi lain, aksi mogok makan ini memang tidak berpengaruh langsung terhadap target yang dituju, dan justru pihak pengunjuk rasa yang menderita, bukan orang yang diprotes. Pada titik ini, pengunjuk rasa bergantung pada kekuatan moral atas tindakan mereka untuk mencapai sesuatu.
Lewat gerakan Mahatma Gandhi dan juga para petani perempuan asal Temanggung itu kita dapat melihat bahwasanya walaupun puasa terlihat seperti ritual yang pasif tetapi dalam kondisi tertentu puasa bisa menjadi aktif dan menjadi alat perlawanan yang revolusioner.