Perbedaan Cara Penentuan Awal Puasa Ramadhan
Salah satu ungkapan yang kerap muncul tiap bulan Ramadhan tiba adalah ungkapan “puasa ikut NU, lebaran ikut Muhammadiyah”. Ungkapan ini muncul lantaran beberapa tahun silam. Di Indonesia pernah terjadi perbedaan tanggal awal mulai Ramadhan antara dua organisasi Islam besar, NU dan Muhammadiyah. Beda awal mulai puasa ini pula yang kemudian membuat lebaran pada tahun tersebut menjadi turut berbeda.
Kejadian tersebut tidak hanya sekali terjadi. Beberapa sumber mencatat setidaknya kejadian ini pernah dialami pada tahun 1985, 1992, 1998, 2002, 2006, dan 2011. Dari kejadian yang sudah-sudah, Muhammadiyah akan memulai puasa Ramadhan satu hari lebih awal dibanding NU. Pun untuk perayaan hari raya Idul Fitri-nya.
Beda awal puasa dan lebaran ini terjadi akibat adanya perbedaan metode yang digunakan oleh Muhammadiyah dan NU dalam menetukan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Muhammadiyah menggunakan metode hisab atau perhitungan matematis astronomis. Sementara NU menggunakan metode rukyatul hilal, mengamati hilal secara langsung.
Baik hisab maupun rukyatul hilal, keduanya sama-sama memiliki dalil yang kuat. Jadi, tidak perlu diperdebatkan metode mana yang lebih baik dan lebih benar. Keduanya patut diikuti sesuai keyakinan pada masing-masing dalil yang diambil.
Puasa Ikut NU, Lebaran Ikut Muhammadiyah: Sebuah Guyonan
Di masyarakat pun, tampaknya perbedaan awal Ramadhan dan Syawal tidak pernah diambil pusing sebagai perdebatan. Alih-alih menjadikannya bahan debat untuk gontok-gontokan, banyak orang yang justru menjadikan ungkapan “puasa ikut NU, lebaran ikut Muhammadiyah” sebagai bahan guyonan.
Biasanya, guyonan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang memang tidak mendaku diri sebagai salah satu jamaah baik NU maupun Muhammadiyah. Ya muslim, tapi tidak tergabung atau condong ke salah satu dari kedua organisasi Islam tersebut.
Guyonan ini bisa pula ditujukan kepada orang-orang yang memang gemar “mengakali” dan mencari celah supaya mendapat “diskon” dalam beribadah.
Ya, tidak jauh beda, lah, seperti orang yang biasanya tarawih 8 rakaat, tapi datang ke masjid yang tarawihnya 20 rakaat, dengan tujuan agar tarawihnya lebih cepat rampung.
“Eh, Pak Fulan, njenengan mulai puasanya ikut NU atau Muhammadiyah, nih?” tanya salah seorang tetangga Pak Fulan.
“Anu, Pak. Saya puasanya ikut NU, lebarannya ikut Muhammdiyah. Puasa ikut yang paling akhir, lebaran ikut yang paling awal. Haha,” Jawab Pak Fulan.
Ya begitu, lah, kurang lebihnya, saat ungkapan tersebut dijadikan bahan guyonan dalam obrolan masyarakat.
Guyonan yang Benar-Benar Dipraktikkan
Awalnya saya mengira, ungkapan “puasa ikut NU, lebaran ikut Muhamadiyah” ini betul-betul sebatas guyonan semata. Sampai akhirnya, saya bertemu orang yang mengamalkan guyonan ini. Literally, mengamalkan. Orang yang maksud ini, tidak lain dan tidak bukan adalah kawan SMA saya sendiri.
Dia menceritakan pengalamannya soal mengamalkan guyonan “puasa ikut NU, lebaran ikut Muhammadiyah” ketika kami bertemu di acara halal bi halal sekolah. Dari cerita yang saya dengar, sebetulnya dia beserta keluarganya terpaksa mengamalkan guyonan tersebut lantaran kepentok situasi dan kondisi saat itu.
Di daerah asal kawan saya—yang juga sedaerah dengan tempat tinggal saya— mayoritas penduduknya adalah jamaah NU dan vibes kampungnya memang NU banget.
Kawan saya ini tidak pernah mendaku diri sebagai jamaah NU. Ya sekadar iku-ikut saja. Oleh karena itu, saat awal Ramadhan tahun itu, dia memulai Ramadhan mengikuti warga kampungnya, sesuai tanggal yang ditetapkan NU.
Beberapa hari sebelum Idul Fitri, saat mudik ke kediaman kakek-neneknya di luar kota, ternyata kondisi yang ditemui oleh kawan saya justru sangat berbeda. Di kampung kakek-neneknya mayoritas adalah jamaah Muhammadiyah, yang pada tahun itu memang berlebaran satu hari lebih awal dari NU.
Hal ini yang lantas membuat kawan saya bimbang. Mau lebaran ikut NU, tapi kok di kediaman kakek-neneknya sudah riuh dengan suasana lebaran. Mau ikut Muhammadiyah, tapi kan awal puasanya ikut NU. Pada akhirnya, kawan saya jadi betul-betul mengamalkan guyonan tadi, berpuasa ikut tanggal NU, lebaran ikut tanggal Muhammadiyah.
***
Untungnya, saat dia menceritakan pengalamannya tersebut, di halal bi halal yang sedang kami ikuti kala itu, ada sesi tanya jawab dengan ustadz pengisi ceramah. Maka, bertanyalah kawan saya soal pengalamannya ini.
Dan benar saja pertanyaan pertanyaan dari kawan saya ini, memang sempat disambut tawa oleh hadirin halal bi halal. Mungkin hadirin banyak yang mengira ini pertanyaan guyonan. Padahal, kan ya based on true story.
Meski dianggap lucu, alhamdulillah-nya, ustadz pengisi ceramah tetap bersedia menjawab pertanyaan kawan saya. Jawaban dari beliau pun cukup jelas.
“Sebetulnya, kan ya tidak ada dalil yang melarang puasa ikut NU, lebaran ikut Muhammadiyah. Apalagi kondisinya terpaksa, bukan karena disengaja. Tapi, yang perlu diingat adalah jumlah hari saat kita berpuasa selama satu bulan Ramadhan. Idealnya 29 atau 30 hari,” jawab ustadz penceramah mencerahkan.
“Kalau gara-gara puasa ikut NU, lebaran ikut Muhammdiyah, puasamu sebulan jadi cuma 28 hari, ya artinya Ramadhan tahun ini, kamu masih hutang 1 hari puasa. Sudah, coba dihitung dulu hari puasamu sana,” tambah ustadz menutup jawaban pertanyaan kawan saya.
Editor: Yahya FR