Feature

Kita Butuh Piknik Akademik

4 Mins read

Oleh: Cahyo Seftyono*

Sesekali kita memang perlu merasa hebat. Bukan untuk menyombongkan diri, tetapi untuk menguji. Apakah kita benar-benar mumpuni atau sebatas kepedean yang kelewat tinggi? Sesekali kita perlu merasa paling benar. Bukan untuk menyalahkan yang lain, tapi untuk mengkonfirmasi. Apakah pengetahuan kita itu bisa dipertanggungjawabkan, atau kita sebatas taklid buta tanpa landasan? Untuk mendapatkan jawaban, mungkin kita membutuhkan “piknik akademik”.

Piknik Akademik

Ini adalah rangkuman dari beberapa cerita unik perihal ‘novelty’. Betul, kebaruan riset yang konon merupakan masterpiece atas kerja akademik. Biasanya sih berlaku untuk orang yang sedang menempuh doktor atau untuk keperluan akademik lain. Misal: menjadi professor?

Ceritanya begini. Suatu pagi, seorang teman datang berkunjung. Dia mengajak saya untuk mendiskusikan penelitian untuk tugas akhirnya. Tema yang diambil menarik. Selain memang beririsan dengan kerja saya selama ini. Juga apa yang menjadi temuan awal dia sejalan dengan riset yang hendak saya kerjakan.

Obrolan ini menjadi sedikit menggelitik, ketika dia memulai panjang lebar penjelasan kajian yang mau dikerjakan. Pada titik tertentu, dia berseloroh santai, “Ini kalo jalan bisa jadi teori baru, pak!” Well, saya sedikit mengernyitkan dahi, mencoba untuk memahami apa yang dia maksud dengan ‘jadi teori baru’.

Saya sendiri tidak hendak menganggap dia terlalu lebay. Kenapa? Karena saya justru teringat momen sekira 10 tahun lalu, ketika mengajukan proposal penelitian untuk sekolah. Sama seperti teman ini, saya menganggap (saat itu) riset saya akan memunculkan teori baru. Blaaarr! Warbiyasak kalo kata teman.. Lha kalo saya bilang dia lebay, saya juga dong? Haha

Ini persis juga dengan cerita saya yang baru saja terjadi ketika sedang mempersiapkan draf proposal disertasi. Saya berpikir riset saya adalah sebuah kebaruan, ketika membahas tentang satu kajian. Begitu saya googling rupanya sudah muncul paper terbaru yang terbit di tahun 2019 (waktu itu). Memang belum bisa diakses gratis. Akhirnya saya unduh-lah itu barang pakai sci-hub. Dan ketemulah lubang kebaruan kajian itu, yang sebenarnya ya ndak baru-baru amat. Hanya saja jarang dikaji orang.

Baca Juga  Kisah Seorang Buruh Setrika yang Ketiban Rezeki Saat Muktamar Muhammadiyah ke-48

(Bukan) Teori Baru

Singkat kata, obrolan saya dengan teman ini selesai. Tuntas. Setelah saya menjelaskan bahwa penelitian yang akan dia kerjakan sudah ada yang meneliti. Bukan sesuatu yang baru. Buka internet, ada beberapa artikel yang bisa dia unduh untuk dijadikan referensi. Kurang lebih sama seperti saya dulu.

Ketika saya merasa akan buat teori baru, kolega (pembimbing saya lebih suka menganggap mahasiswanya sebagai teman) mengirimkan satu artikel untuk saya review. Artikel yang kira-kira berumur 5 tahunan. Pun saat ini kita juga dimudahkan dengan adanya platform pre-print. Atau juga Sci-hub. Yang memungkinkan kita bisa mendapat bahan bacaan terkini juga gratis (eh nyolong juga ding).

Artinya juga sama, riset yang akan saya jalankan saat itu ‘bukan hal baru’ apalagi bakal jadi teori baru. Tiga kasus ini kemudian saya pikirkan selama perjalanan sepulang kampus sambil menuju kota tempat tempat saya tinggal, maklum penglaju. Saya menemukan dua hal penting:

Pertama, teman saya ini orangnya antusias terhadap pengetahuan baru. Dia tertarik pada isu-isu yang barangkali sebagian besar temannya tidak terpikir. Kedua, dia memiliki kelemahan dalam penguasaan bahasa asing, sehingga wawasannya terbatas pada apa yang sudah dikerjakan di negara yang bahasanya dia kuasai. Ndak apa-apa, biasa aja. Apalagi mengingat umurnya yang (insyaAllah) masih cukup panjang untuk banyak belajar.

Mendorong Rasa Ingin Tahu

Barangkali bisa dikatakan, ketika kita hendak mendalami satu ilmu, kita perlu memiliki dua hal tersebut. Jika seseorang memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi, tentu dia tidak akan mudah puas terhadap apa-apa yang didapatkan. Dalam kasus ini, bisa jadi seseorang tidak akan mengikuti alur berpikir kebanyakan orang. Dia akan menjadi diri sendiri yang orisinil. Kalau kata Einstein sih “The most important thing is not to stop questioning. Curiosity has its own reason for existance.”

Baca Juga  Sharing is Caring: Cerita Tentang #DiRumahAja

Mau tidak mau, kita harus mempertanyakan sesuatu. Hingga pada titik tertentu, hal itu bisa dikonfirmasi. Dan kita akan menjadi bagian penemuan-penemuan itu. Persoalan impact-nya signifikan atau tidak, dipikir belakangan. Yang penting kita berkontribusi pada bertambahnya pengetahuan baru.

Rasa ingin tahu ini sesungguhnya didorong juga dengan semangat kampus merdeka. Mahasiswa dipaksa untuk mengeksplorasi hal-hal penting di luar kelas. Udah ga jaman lah ya, satu semester 14-16 kali pertemuan isinya cuma di kelas doang. Apalagi untuk studi sosial politik.

Perbanyak “piknik akademik”, bergaul dengan kawan LSM, bapak ibu anggota dewan, teman-teman organisasi ekstra-kampus. Saya kira itu akan menambah rasa ingin tau atas persoalan riil di lapangan. Hanya saja tidak cukup pada bagian tau masalah dan mengeksplorasi itu. Penguasaan Bahasa, terutama untuk memperkuat pondasi berpikir juga penting.

Untuk bahasan penguasaan bahasa asing, menurut saya ini juga tidak kalah penting sebagai bagian dari piknik akademik. Oke deh, ada yang bilang sebaliknya. Tapi kalau sudah berbicara tentang pengetahuan yang bersifat universal, saya kira menguasai bahasa asing menjadi penting. Penguasaan bahasa asing berarti kita bisa membaca karya banyak orang di luar negara kita (atau setidaknya artikel di luar bahasa ibu kita). Membaca karya berarti akan membuat ruang diskusi dinamis. Kita tidak bermudah-mudah melakukan klaim secara serampangan.

Perantauan dalam Bahasa Asing

Beberapa negara memang memiliki kekhasan bahasanya sendiri untuk pengetahuan. Sebut saja Jerman, Jepang, Tiongkok, Prancis, Spanyol, Arab, dan juga Melayu selain yang umum kita ketahui: Inggris atau US. Kemampuan berbahasa ini tidak semata untuk menyampaikan ide searah. Tetapi akan memudahkan kita berdialog secara lebih intens dengan orang lain di luar sana.

Baca Juga  Wabah Covid: Kelekatan dan Pelepasan

Buat saya, mempelajari bahasa asing sama seperti orang merantau. Bedanya, kita tidak perlu hadir secara fisik, melainkan kita menjelajahi ide-ide yang terhampar di muka bumi. Dan tentunya, kita akan menemukan banyak hal baru.

Mengerti dan rajin memanfaatkan kemampuan bahasa asing, baik secara langsung maupun lewat google translate memungkinkan kita memiliki pondasi informasi yang baik. Tidak grasa-grusu mengatakan sesuatu itu baru atau menghakimi suatu persoalan itu tidak menarik.

Dengan mengerti bahasa asing dan memperoleh bacaan dengan beragam sumber, kita akan memiliki pengetahuan yang lebih kaya. Tidak akan buru-buru menganggap sesuatu itu wow. Ketika bahan bacaan banyak, amatan persoalan riil kaya, itulah kelebihan kita dalam menjelaskan realitas.

Imam Syafi’i pernah berpesan,

“Merantaulah. Orang berilmu dan beradab, tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hiduplah di negeri orang.”

Jika kita mampu merantau secara fisik, tentu akan menarik. Tapi, merantau dalam belantara pengetahuan saya kira juga tidak kurang asyik.

*) Inisiator Gerbatama: Connecting Academia; Co-Chair Alicahya Foundation. Dosen Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang.

Editor: Nabhan

Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *