Perspektif

Puasa Ramadan: Pengokoh Iman, Penguat Solidaritas Sosial

4 Mins read

Puasa, dalam konteks agama, telah menjadi sebuah ritual yang melampaui sekadar menahan diri dari makan dan minum. Lebih dari sekadar kewajiban keagamaan, puasa memiliki makna mendalam yang mencakup aspek spiritual, moral, dan sosial.

Dalam Islam, misalnya, puasa Ramadan tidak hanya tentang menahan diri dari makan dan minum dari fajar hingga terbenamnya matahari, tetapi juga tentang introspeksi, pembersihan spiritual, dan sarana menguatkan solidaritas sosial.

Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil dari syariat puasa adalah surah Al-Baqarah [2]: 183 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Menurut penjelasan dari Tafsir Kemenag, adanya syariat melaksanakan puasa dalam ayat di atas memiliki beberapa hikmah seperti mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya. Hal ini menandakan bahwa hikmah yang terkandung dalam syariat puasa meliputi kebaikan baik secara individu maupun sosial.

Puasa: Syariat yang Bermanfaat bagi Setiap Umat  

Ali Al-Shabuni dalam Tafsir Rawai’ Al-Bayan (Jilid 1, hal. 216-218) berkaitan dengan ayat di atas memberikan penafsiran bahwa puasa merupakan syariat Allah bagi seluruh umat dan telah menjadi kewajiban bagi semua orang Islam.

Pada bagian hikmah al-tashri’ (hikmah syariat), Al-Shabuni juga menjelaskan salah satu dari hikmah disyariatkannya puasa yaitu untuk memupuk rasa kasih dan empati, sehingga dalam hal ini solidaritas sosial muncul dalam bentuk kehendak untuk menolong sesama melalui sikap kedermawanan yang dilakukan saat berada di bulan Ramadan.

Baca Juga  Makna Kalimat Hompimpa Alaium Gambreng Ternyata Islami

Quraish Shihab pun memiliki pendapat yang senada bahwa syariat puasa merupakan syariat yang begitu penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan suatu kelompok sosial. Hal ini menurut penjelasannya dalam Tafsir Al-Mishbah (Jilid 1, hal 400-403) dikarenakan puasa atau al-siyam (menahan diri) memang diperlukan oleh setiap orang, baik di masa lalu atau di masa sekarang; miskin atau kaya; tua atau muda; masyarakat modern atau masyarakat kuno; dan lain sebagainya.

Sementara itu, praktik puasa sendiri juga dapat ditemui dalam budaya umat terdahulu maupun ajaran agama-agama yang lainnya, meskipun pada tata cara pelaksanaannya tentu memiliki perbedaan dengan puasanya umat Islam seperti saat di bulan Ramadan. Hal ini menurut Wahbah Al-Zuhaili merupakan kewajiban dari Allah Swt yang memang ditujukan kepada seluruh manusia, terutama bagi orang-orang beriman seperti halnya bagi para pemeluk agama-agama yang lain sejak zaman Nabi Adam AS.

Sambung Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir (Jilid 1, hal. 496-498) kembali menjelaskan maksud dari hal di atas adalah sebagai bentuk anjuran sekaligus motivasi kepada manusia untuk berpuasa, sebab sesuatu yang sulit–dalam hal ini adalah puasa–apabila dikerjakan juga oleh semua orang tentu akan terasa lebih mudah untuk dilakukan.

Menurut Al-Zuhaili, puasa juga memiliki beberapa aspek penting dalam memupuk ketakwaan seperti dapat memunculkan rasa cinta kasih untuk saling memberi dan adanya konsep kesetaraan dalam hal pelaksanaan kewajiban sebagai bentuk kemaslahatan sosial.

Lebih dari Sekadar Kewajiban Agama, Tapi Juga Penguat Solidaritas Sosial

Dari tiga penafsiran yang telah dipaparkan di atas, syariat puasa nyatanya tidak hanya sekadar ibadah personal dan terbatas pada lingkup agama Islam. Akan tetapi, syariat ini juga turut memberikan sebuah pembelajaran moral sekaligus penguat dalam hal solidaritas sosial.

Baca Juga  Berbuka di The Sense Kitchen Sekaligus Donasi di Lazismu

Dalam mencapai tujuan dari syariat puasa yakni takwa, kiranya seseorang yang berpuasa juga perlu untuk menjaga ucapan dan pandangannya, menghindari gibah, tidak mengadu domba dan segala perbuatan yang sifatnya memecah belah antara sesama manusia.

Pemahaman seperti ini rasanya sangat relevan di zaman sekarang terutama di Indonesia dengan segala keberagaman umatnya. Selain itu, menurut Tafsir At-Tanwir (Jilid 2, hal. 100), syariat puasa juga merupakan sarana pengokohan iman dan pembentukan sikap peduli sesama di samping statusnya sebagai suatu kewajiban agama.

Namun, lebih lanjut dalam Tafsir At-Tanwir dijelaskan agar syariat puasa tidaklah dilakukan hanya sekadar sebagai formalitas agama dan rutinitas belaka. Nabi Saw pun berkaitan dengan hal ini memberikan teguran melalui salah satu sabdanya supaya umat Islam dapat memahami esensi dari syariat ini. Sabda tersebut sebagaimana dicantumkan dalam kitab Sahih al-Bukhari nomor hadis 6057 adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةً أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه

“Dari Abū Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan berkata dan berbuat bohong serta kejahilan, maka Allah tidak memerlukan orang itu meninggalkan makan dan minumnya.”

***

Dalam hal ini, Tafsir At-Tanwir turut menyorot kondisi di Indonesia yang masih marak terjadi praktik korupsi di tengah masyarakatnya yang rajin berpuasa. Hal ini merupakan sebuah ironi mengingat syariat puasa sendiri ditujukan agar dapat membentuk insan yang bertakwa. Pribadi yang bertakwa di sini dimaknai dalam Tafsir At-Tanwir sebagai orang yang beriman dan beribadah secara khusyuk kepada Allah Swt serta berkomitmen untuk membangun solidaritas sosial dan memajukan kesejahteraan sesama.

Baca Juga  Reformasi Islam: Umat Muslim Jangan Malas Berpikir!

Dari penjelasan Tafsir at-Tanwir di atas, praktik puasa mengandung nilai-nilai solidaritas sosial yang memperkuat ikatan antarindividu dan masyarakat. Salah satu aspek yang paling menonjol dari puasa adalah pengalaman bersama dalam menahan diri. Alhasil, praktik puasa telah menciptakan pengalaman empati yang mendalam, mendorong individu untuk merasa terhubung dengan orang lain dan meningkatkan rasa kepekaan terhadap penderitaan mereka.

Itulah salah satu esensi solidaritas sosial yang terkandung dalam puasa: kesadaran akan kebutuhan bersama dan kewajiban untuk membantu sesama manusia. Banyak umat Islam menjadikan bulan Ramadan seperti saat ini sebagai waktu untuk melakukan amal dan memberikan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan, sehingga memperkuat ikatan sosial di antara mereka. Misalnya, budaya bagi-bagi takjil gratis di Indonesia yang turut mewarnai momen puasa Ramadan di setiap tahunnya.

Sampai sini kiranya telah tampak solidaritas sosial yang terkandung dalam syariat puasa melibatkan sikap peduli sesama, berbagi kebaikan, dan saling menghargai. Dalam konteks yang lebih luas, puasa mengajarkan pentingnya empati, perhatian terhadap orang lain, dan kesadaran sosial yang merupakan fondasi dari solidaritas sosial yang sejati.

Dengan demikian, syariat puasa tidak hanya menjadi sebuah ritual keagamaan, melainkan juga sebuah wahana untuk memperkuat solidaritas sosial dan membangun hubungan yang lebih kuat di antara anggota masyarakat. Melalui hal ini, diharapkan mampu memberikan sebuah pengajaran akan pentingnya berbagi, peduli, dan saling menghargai, yang merupakan nilai-nilai dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.

Wallahu a’lam bishawab

Editor: Soleh

Adi Swandana E.P.
2 posts

About author
Mahasiswa Sarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Tiga Sikap Manusia Terhadap Al-Qur’an

5 Mins read
Hari-hari ini umat Islam sangat berharap untuk mendapatkan sebuah malam yang diyakini sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Jika dikalkulasi,…
Perspektif

Makna al-Qadar dan Salam Menurut Quraish Shihab

3 Mins read
Sepuluh malam terakhir selalu dijadikan sebagai malam ‘special’ kaum muslimin baik untuk berburu pahala dengan meningkatkan kualitas ibadah, khataman al-Qur’an ataupun sebagai…
Perspektif

Zakat untuk Korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

4 Mins read
Di bulan Ramadan, ada dua kewajiban yang sepaket yaitu puasa dan zakat. Keduanya bisa dilaksanakan jika yang akan melaksanakannya istitha’ah (mampu secara…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *