Lebaran, atau Idul Fitri, adalah momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Selain sebagai perayaan kemenangan setelah sebulan berpuasa, Lebaran juga menjadi ajang untuk mengekspresikan identitas melalui fashion dan kecantikan. Namun, fenomena ini tidak lepas dari pengaruh budaya konsumerisme dan hiperealitas, di mana konsep kecantikan dan gaya hidup sering kali dibentuk oleh media dan industri. Hal itu kadang ditunjukkan pada momen-momen tertentu, termasuk dalam momen lebaran.
Tren fashion dan kosmetik menjelang Lebaran kerap dipengaruhi oleh budaya populer dan media, menciptakan standar kecantikan yang bersifat hiperealitas. Konsep hiperealitas, yang diperkenalkan oleh Jean Baudrillard, menggambarkan kondisi di mana batas antara realitas dan simulasi menjadi kabur, sehingga citra yang diciptakan media dianggap lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
Lebaran dan Hiperealitas Kecantikan
Menjelang Lebaran, industri fashion dan kosmetik mengalami peningkatan permintaan yang signifikan. Masyarakat, terutama perempuan, berlomba-lomba untuk tampil sempurna dengan mengikuti tren terbaru. Fenomena ini diperkuat oleh pengaruh media sosial dan iklan yang menciptakan standar kecantikan yang sering kali tidak realistis.
Dalam masyarakat post-modern, citra yang diciptakan media sosial dianggap sebagai standar kecantikan yang harus dicapai, meskipun sering kali hasil editan atau filter. Individu cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain, terutama di media sosial, yang dapat menyebabkan tekanan psikologis seperti rendah diri atau kecemasan jika mereka merasa tidak mampu mencapai standar kecantikan yang ditetapkan.
Bagi generasi milenial, fashion bukan sekadar pakaian, tetapi juga bentuk ekspresi identitas dan budaya. Pada momen Lebaran, fashion menjadi cara untuk menunjukkan kebahagiaan dan rasa syukur setelah berpuasa. Selain itu, fashion juga berperan sebagai simbol identitas keislaman dan kebanggaan budaya.
Islam dan Konsep Kecantikan
Islam mengakui pentingnya menjaga penampilan dan kecantikan, asalkan tidak berlebihan dan tetap sesuai dengan nilai-nilai syariah. Al-Qur’an menegaskan, “Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid” (QS. Al-A’raf: 31). Ayat ini menunjukkan bahwa Islam memperbolehkan umatnya untuk berpenampilan indah, terutama saat beribadah atau merayakan momen penting seperti Lebaran.
Rasulullah SAW juga bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan” (HR. Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa kecantikan dan keindahan adalah bagian dari ajaran Islam, asalkan digunakan dengan cara yang baik dan tidak berlebihan.
Namun, Islam juga menetapkan batasan dalam berpenampilan, salah satunya adalah larangan berlebihan (israf). Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan” (Q.S. Al-A’raf: 31). Ayat ini mengingatkan umat Islam untuk tidak berlebihan atau hiperealitas dalam berpenampilan, termasuk dalam penggunaan fashion dan kosmetik.
Penggunaan kosmetik dan fashion diperbolehkan asalkan tidak melanggar syariat, seperti menimbulkan kesombongan atau menyakiti diri sendiri, misalnya melalui operasi plastik yang berlebihan.
Tantangan Hiperealitas Kecantikan
Salah satu tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah hiperealitas kecantikan. Seseorang merasa lebih cantik dari realitasnya ketika menggunakan produk tertentu, yang sebenarnya hanya manipulasi citra yang diciptakan media. Hiperealitas kecantikan terbentuk melalui media sosial yang menampilkan branding yang memikat lawan jenis, terlebih saat bertemu ketika momen lebaran.
Misalnya, seorang perempuan merasa seperti bintang iklan saat memakai produk kosmetik yang digunakan model idola. Seorang pria merasa lebih perkasa saat menghisap merek rokok tertentu atau meminum jamu kuat. Merek-merek seperti baju, tas, perhiasan, jam tangan, sepatu, dan lainnya telah memanipulasi realitas seseorang. Ia akan merasa seperti yang dilihat di media saat memakai produk yang sama dengan model iklan atau artis idola.
Hiperealitas kecantikan saat lebaran dapat menimbulkan beberapa tantangan, seperti:
- Tekanan Sosial – Individu merasa harus mengikuti standar kecantikan yang tidak realistis.
- Konsumerisme – Masyarakat terdorong untuk membeli produk kecantikan secara berlebihan.
- Kehilangan Identitas – Standar kecantikan yang seragam dapat menghilangkan keunikan dan identitas budaya lokal.
Islam sebagai Solusi
Islam menawarkan solusi dalam menghadapi tantangan hiperealitas kecantikan melalui konsep keseimbangan, akhlak, dan menghindari israf, terlebih pada saat momen besar, yakni pada saat idul fitri atau lebaran. Islam mengajarkan untuk menjaga keseimbangan antara penampilan luar dan kecantikan batin (akhlak). Kecantikan sejati dalam Islam terletak pada akhlak dan ketakwaan, bukan hanya pada penampilan fisik.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat: 13). Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh tampilan fisik yang indah, tetapi oleh akhlak sebagai realisasi ketakwaan. Kecantikan fisik bersifat relatif, sementara kecantikan hati bersifat abadi. Usia, tempat, dan aksesori dapat mempengaruhi kecantikan seseorang, tetapi akhlak dan ketakwaan tidak memerlukan semua itu.
Hiperealitas, Lebaran, dan Batas Syariat
Fenomena fashion, kosmetik, dan hiperealitas kecantikan menjelang Lebaran adalah bagian dari dinamika sosial dan budaya modern. Meskipun Islam memperbolehkan umatnya untuk berpenampilan indah, ada batasan yang harus diperhatikan, seperti larangan berlebihan (israf) dan pentingnya menjaga akhlak. Hiperealitas kecantikan yang diciptakan oleh media sosial dapat menimbulkan tekanan psikologis dan konsumerisme yang berlebihan. Namun, Islam menawarkan solusi dengan mengajarkan keseimbangan dan keutamaan akhlak.
Dengan memahami perspektif Islam, umat Muslim dapat merayakan Lebaran dengan penuh kebahagiaan tanpa terjebak dalam standar kecantikan yang tidak realistis.
Editor: Assalimi