Pada akhirnya, memang kita harus pulang. Tanpa tahu mengapa dan tanpa tahu untuk apa. Orang-orang berharap hidup di kota bakal membuat tubuh dan jiwa menjadi betah. Namun tidak untuk kita yang memahami makna “pulang. Biar korona menghadang, biar maut menyapa. Orang Jawa bilang ” Mati urip urusane sing Kuoso” (hidup mati urusan Tuhan).
Pada akhirnya, memang kita harus kembali. Ke desa yang sudah lama kita tinggalkan. Ke rumah yang di sana merupakan rahim dan tempat segala bermula.
Pilihan Jokowi untuk mudik adalah pilihan manusia Jawa. Ia tidak mau melupakan jati dirinya sebagai orang desa, orang Jawa. Walau hanya sehari dua hari, pulang itu dimaknai sebagai energi. Pulang adalah tempat untuk menghimpun dan melepas segala penat. Pulang adalah ngumpulke balung pisah (mengumpulkan saudara yang berpisah jauh).
Bagi mertua yang rumahnya cukup jauh, mudik adalah meminta restu. Mudik adalah melepas rindu. Kehidupan menjadi manusia urban, pada akhirnya harus diberi jeda. Harus diberi ruang untuk tetirah. Hidup yang cenderung materialistik, individualistik, dan personal, harus dikembalikan kepada hidup yang natural, komunal, dan alamiah.
Pulang mengingatkan kita pada hidup itu sendiri. Ada tujuan yang harus diraih, ada yang harus ditengok dan disiapkan.
Seruan untuk tidak pulang kampung hanyalah seruan yang pada akhirnya seruan yang kepalang canggung.
Saya jadi ingat dengan lagunya Armada yang sangar cocok dengan situasi kita sekarang ini: Pulang Malu Tak Pulang Rindu.