Dalam catatan KRH Hadjid, dijelaskan bahwa kitab-kitab yang dipelajari KHA Dahlan pada mulanya adalah kitab-kitab yang biasa dipelajari oleh kebanyakan ‘ulama di Indonesia dan ‘ulama Makkah yang bermadhhab Sunni. Misalnya, dalam ‘aqidah Dahlan menggunakan kitab-kitab yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, dalam ilmu fiqh dia menggunakan kitab-kitab dari madhhab Shafi‘iyyah, dalam tasawwuf dia mempelajari pemikiran al-Ghazali (w.1111).
Tentu, hal ini tidak terlepas dari tradisi pengetahuan Islam yang berkembang di kalangan pesantren di Indonesia pada awal abad ke-20, dan yang masih berlangsung sampai saat ini.
Karena itu, pada mulanya Dahlan mempelajari literatur keagamaan yang diajarkan di pesantren tradisional. Setelah berkenalan dengan pikiran-pikiran modern dari Timur Tengah, Dahlan mengembangkannya sebagai basis bagi pembaruan sosial dan keagamaan yang dia lakukan. Dalam pembacaan penulis, konsep dan makna purifikasi KHA Dahlan yang memiliki tiga pilar yaitu, spiritualisasi, rasionalisasi, dan pragmatisasi.
Dalam “Tali Pengikat Hidup Manusia,” KHA Dahlan menyatakan penggunaan akal pikiran diarahkan untuk mencapai pengetahuan tertinggi yang tidak lain adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup (unity of life). Pengetahuan tersebut dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan menggunakan akal yang merupakan kebutuhan dasar hidup manusia, selain dengan sikap konsisten terhadap kebenaran akal (rasional) yang didasari oleh hati yang suci.
Konsep purifikasi KHA Dahlan tentang agama sebagai kecenderungan spiritual memiliki referensinya pada ‘Abduh. Menurut Shihab, ada kesamaan antara ‘Abduh dan Dahlan, yaitu dalam hal pandangan keduanya tentang tasawuf yang rasional dan syar’i. Orientasi tasawuf Dahlan ialah pembersihan hati melalui ingat kepada Allah dengan jalan tafakkur, muhasabah dan muraqabah. Dalam pemahaman Dahlan, ingat kepada Allah dilakukan dengan salat sebagai membersihkan jiwa dari hawa nafsu dan memperoleh ketenangan dan kesucian batin.
Hakikat agama menurut KHA Dahlan sebagaimana dicatat Hadjid, bahwa agama sebagai kecenderungan spiritual dari manusia yang berorientasi kepada kesempurnaan dan kesucian, bersih dari orientasi yang bersifat materialistik. Beragama, dalam perspektif ini, merupakan proses “mendaki menuju langit kesempurnaan dan bersih suci dari pengaruh-pengaruh materi kebendaan.”
Dalam pandangan Dahlan, tasawuf juga harus memberikan kesadaran terhadap tanggungjawab sosial, seperti menyantuni anak yatim dan memberi makan kaum fakir miskin. Senada dengan itu, aliran tasawuf yang dianut Dahlan secara longgar dapat dicirikan dengan apa yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai ‘neo-sufisme’, yang akarakarnya dapat ditelusuri sampai ke ‘ulama Hanbali, seperti Ibn Taymiyyah. Menurut Rahman, Neosufisme menekankan reformasi dan rekonstruksi sosial-moral masyarakat Muslim. Karakter utama neosufisme cenderung puritan dan aktivis.
Dalam Hadjid, Dahlan sering melantunkan sya‘ir berikut: “wa nahju sabili wadih liman ihtada wa lakin al-ahwa’ ‘amat fa a‘mat” (dan agamaku terang benderang bagi orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu [menuruti kesenangan] merajalela di mana-mana, kemudian menyebabkan akal manusia menjadi buta). Dahlan menyatakan: “Mula-mula agama Islam itu cemerlang, kemudian kelihatan makin suram. Tetapi sesungguhnya yang suram itu adalah manusianya, bukan agamanya.”
Menurut Dahlan, dalam Hadjid: “iman itu ialah yang membawa jiwa naik ke alam suci yang luhur, terus naik, tidak turun kembali, yaitu seperti iman yang ada pada Rasul. Sedang yang ada pada kita, sekali naik dan sekali turun. Dan apabila datang waktunya iman itu turun kemudian kita mati, hal itu sangat mengawatirkan apabila termasuk su’ul khatimah. Maka dari itu, kita harus mujahadah melawan hawa nafsu dengan merenungkan al-Qur’an dan ingat kepada Allah. Memikirkan akibat bagaimana akhirnya diriku ini kelak? Dan hendaklah kita terus menerus berani berjihad fisabilillah supaya kita tetap menjadi orang mukmin haqiqi (sebenar-benarnya).” (Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan, 93-94).
Dari pesan ini nampaknya Dahlan ingin berpesan bahwa supaya akal manusia tidak buta, harus dibersihkan dan dimurnikan dari hawa nafsu. Di sini dapat dilihat kecenderungan sufistik (spiritualisme) dalam pemikiran Dahlan. Kesucian batin dan hati menjadi prasyarat penting bagi individu manusia untuk dapat menerima ajaran yang suci dari Tuhan dan Rasul-Nya (Alqur’an dan Assunnah).
Lebih jauh, bagi KHA Dahlan, amal lahir (syariah) adalah akibat daya ruh agama yang didasari hati dan pikiran suci, sementara organisasi adalah instrumen pengembangan kesalehan hati-suci itu. Hati suci (dan pikiran sehat) bukan hanya pangkal memahami Islam, melainkan juga akar ibadah atau dasar hidup sosial dan agama, sehingga terbebas dari jerat kebodohan dan ikatan tradisi.
Di sini kita menamukan pamahaman bahwa makna purifikasi KHA Dahlan sebenarnya bukan sekedar pemurnian akidah dan kembali kepada Alquran dan Hadis, melainkan bermakna penyucian jiwa, membersihkan hati sebagai basis ibadah yang kemudian melahirkan kesalehan sosial berbasis syariat.