Perspektif

Home Learning: Antara Pembangunan Karakter dan Pembelajaran Berbasis Projek

4 Mins read

Sepekan sudah pengalihan pembelajaran anak-anak di rumah akibat social distancing dan lockdown diberlakukan di berbagai wilayah tanah air akibat penyebaran virus corona atau Covid-19, meskipun pemerintah pusat tak punya cukup nyali untuk menyebutnya kejadian luar biasa (KLB) dan memberlakukan lockdown, tapi banyak pemerintah daerah yang berpikiran lebih maju dan mulai menerapkannya.

Akan tetapi masalah yang kemudian muncul adalah para orang tua yang stres menghadapi anaknya di rumah, belajar dari rumah atau home learning dianggap memberatkan bagi mereka. Bahkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima banyak aduan masyarakat tentang penugasan tersebut mulai dari ketidakjelasan pijakan atau instruksi dari sekolah, minimnya kemampuan dan fasilitas yang dimiliki orang tua, laporan berbasis online serta kesulitan membagi waktu karena orang tua juga tetap bekerja dari rumah (work from home).

Mengingat pengalihan belajar ini masih berlaku setidaknya sampai dengan akhir maret, bahkan cenderung akan diperpanjang sampai pertengahan april 2020 seiring dengan meluasnya penyebaran virus serta lonjakan korban di berbagai daerah. Maka perlu disiapkan skema baru tentang model home learning tersebut.

***

Sebagai pengelola lembaga pendidikan, saya menyarankan kepada para guru dan sekolah untuk mengakomodir kegelisahan orang tua sebagaimana dikeluhkan KPAI tersebut, sebab minimnya tatap muka, perbedaan kapasitas intelektual dan kemampuan orang tua membagi waktu bekerja dan mendampingi anak belajar sangat mempengaruhi kesabaran orang tua dalam mengikuti pola belajar anak di sekolah.

Pasca diberlakukannya home learning, rerata orang tua merasa puas dengan skema pembelajaran yang coba kami terapkan. Mereka sangat terbantu dengan pijakan yang diberikan oleh sekolah. Meski demikian, sebagian kecil orang tua merasakan kesulitan pendampingan anak, pasalnya anak lebih manja dalam dekapan orang tuanya. Tak ayal, mereka meminta wali kelas anaknya untuk sekedar menyapa anaknya melalui video call ats sejenisnya guna memberikan semangat atau motivasi agar anaknya tetap semangat belajarnya tetap menggelora.

Baca Juga  Mengapa Sikap Intoleransi Masih Terjadi di Indonesia?

Jika demikian, berat pula bagi si guru, pasalnya guru juga merupakan orang tua bagi anak-anaknya di rumah, sama seperti anak lainnya, mereka membutuhkan perhatian orang tuanya ketika belajar di rumah. Oleh karena itu, perlu dicarikan jalan tengahnya, home learning itu prinsipnya memudahkan dan menyenangkan, sebab belajar bersama orang tua itu harusnya lebih menyenangkan, kembali ke fitrah orang bilang. Hemat penulis, home learning itu cukup difokuskan pada dua aspek saja, yakni; pembangunan karakter anak dan pembelajaran berbasis projek.

Pembangunan Berbasis Karakter

Dr. Abdullah Nashih ‘Ulwan dalam bukunya Tarbiyyatul Aulād Fil al-Islām menyebutkan bahwa tanggung jawab pendidikan iman, moral, fisik, akal, kejiwaan, sosial, dan seks adalah tanggung jawab orang tua. Beliau menyebutkan pendidikan moral atau karakter setelah pendidikan iman atau aqidah, ini menunjukkan betapa pentingnya karakter bagi tumbuh kembang anak.

Syaikh Jamāl Abdurrahmān dalam Athfālul Muslimīn; Kaifa Robbahum Nabiyyul Amīn menyebutkan bahwa mendidik dan mengajar merupakan hadiah terbaik dan perhiasan terindah yang diberikan orang tua kepada anaknya, nilainya lebih baik dari pada dunia dan seisinya, keikhlasan adalah kuncinya. Beliau menyebutkan bahwa kegiatan mendidik, salah satunya pendidikan karakter, merupakan hadiah dari orang tua terhadap anaknya, artinya orang tua memiliki peran penting dalam pendidikan karakter tersebut. Bahkan, Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid dalam Manhāju at-Tarbiyah an-Nabawiyyah li at-Thifl tak lagi menyebut hadiah, melainkan hak. Pendidikan karakter adalah hak yang harus ditunaikan oleh orang tua terhadap anaknya, apabila tak tertunaikan, maka orang tua bisa disalahkan atas kelalaiannya itu.

Lantas, kapan dan bagaimana karakter itu dibentuk di lingkungan rumah?

Pendidikan karakter itu sangat luas cakupannya, pendidikan karakter disini berarti pendidikan keteladanan, keteladanan sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw., mulai terjaga sampai terlelap, kegiatannya berupa; pembiasaan salat lima waktu, salat sunnah, tilawah Alquran, murōja’ah, hafalan doa-doa, pembiasaan bina diri (mandi, makan, mencuci piring, mencuci pakaian, menjaga kebersihan sekitar rumah, merawat tanaman dan hewan peliharaan), bersedekah terhadap kerabat dan tetangga dekat, dan aneka aktivitas positif lainnya.

Baca Juga  LiteraTour: Membentuk Kader Perdamaian dengan Metode Literation Cycle

Aktivitas tersebut perlu mendapatkan proporsi yang seimbang agar anak benar-benar memahami perannya sebagai manusia. Kedisiplinan, kemandirian, tanggung jawab, dan keikhlasan kelak terbangun pada anak, ketaqwaan dan keimanan tak lagi abstrak buat mereka, sebab mereka tak sekedar belajar pada aksentuasi formalistik-ritualis, tetapi juga sudah mempraktekkan kesalehan sosial dengan bimbingan kedua orang tuanya meski tak ada embel-embel “nilai” seperti yang mereka rutinkan di sekolah.

Pembelajaran Berbasis Proyek

Selain pembangunan karakter, home learning sebaiknya fokus pada projek saja. Saat ini pembelajaran formal tengah memasuki paruh kedua di semester 2, artinya sudah banyak materi yang diserap anak dan orang tua pun lazimnya memahami indikator pencapaian anak berpijak dari tema dan sub-tema yang diberikan sekolah di awal tahun ajaran atau di awal semester.

Pembelajaran berbasis projek (project based learning) bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan, ia telah lama diimplementasikan di berbagai sekolah dan jenjang sesuai tingkat kompleksitas masing-masing. Kelebihan pembelajaran ini adalah anak terstimulasi untuk bereksplorasi, menilai, menginterpretasi, mensintesa, dan mendapatkan informasi secara mandiri (discovery learning) untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Hal ini sejalan dengan salah satu konsep pembelajaran yang mendorong anak untuk belajar mandiri (learning by doing) dengan orang tua sebagai model belajar (learning by modeling) dan guru sebatas memberikan pijakan (learning by scaffolding) dan syarat keberhasilan belajar (compliance).

Home learning ini merupakan saat yang tepat bagi sekolah untuk—semacam—mengembalikan kepercayaan kepada orang tua. Guru cukup memberikan rambu-rambu, aturan, dan pijakan tugas/projek anak sesuai dengan tema yang telah dan akan dipelajari sesuai dengan interval waktu yang terdapat dalam kalender akademik. Pastikan projek tersebut tepat guna, mudah didapatkan, dan akrab dengan anak maupun orang tua. Beri keleluasaan orang tua untuk berkreasi, yakinkan bahwa mereka mampu bekerja sama dan berkolaborasi untuk menuntaskan projek yang ditugaskan oleh sekolah. Selama pengerjaan projek, guru cukup memberikan informasi sesuai yang diminta oleh anak melalui orang tuanya.

Baca Juga  Tak Selamanya Surga Diraih dengan Susah Payah

Sekira kedua aspek tersebut menjadi fokus semua yang terlibat dalam aktivitas home learning ini, maka kelak terpenuhi keseimbangan kebutuhan pendidikan anak mulai dari pendidikan rohani (at-Tarbiyah ar-Ruhiyah), pendidikan jasmani (at-Tarbiyyah al-Jasadiyah), dan pendidikan akal (at-Tarbiyah al-Aqliyah). Selain itu, para guru memiliki waktu yang cukup untuk menambah wawasan dan khazanah keilmuannya melalui kegiatan (banyak) membaca dan menulis sesuai dengan tuntutan dan kebutuhannya sebagai pendidik.

Wallahu a’lamu bi al-Shawwāb.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *