Emansipasi Wanita Mesir
Masih berada dalam atmosfer emansipasi wanita setelah tiga hari sebelumnya pada tanghal 21 April 2021, Indonesia memperingati hari lahir R.A Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Dengan spirit yang sama, kita menilik salah seorang emansipator dari Mesir yang wafat pada tanggal 23 April 1908.
Ia adalah sosok intelektual muslim yang cukup menonjol dalam sejarah pemikiran peradaban Islam ketika era moderenisme klasik. Ia juga pelopor pelbagai pembaharuan, utamanya dalam tajuk memperjuangkan hak-hak wanita. Seperti menjadi salah satu penggagas pendirian Cairo University.
Mengenal Tokoh Qasim Amin
Qasim Amin dilahirkan pada tanggal 1 Desember 1863 di kota Iskandariyah. Ia adalah anak laki-laki pertama dari keluarga Amin. Ia berdarah campuran Mesir dan Turki. Ibunya seorang putri dari keluarga bangsa Mesir asli daerah As-Sa’id. Ayahnya Muhammad Baik Amin berdarah Turki dari suku Kurdi (Jamali Sahrodi, 2013: 14).
Sejak kecil, Qasim Amin telah mengenyam pendidikan eksklusif di madrasah terbaik Mesir masa itu. Pada tingkat pendidikan dasar (ibtida’i), ia mengenyam pendidikan di Madrasah Ra’s at-Tin. Sebuah lembaga pendidikan yang didirikan Sultan Utsmani untuk keluarga aristokrat Turki yang berada di Mesir.
Pada tingkat selanjutnya, ia belajar di Madrasah Tajhziyah al-Khrdewiya, Madrasat al-Huquq wa al-Idarah dan melanjutkan studinya di program pascasarjana Universitas Montpellier Prancis.
Menariknya, momen tersebut terjadi saat ia baru berusia sekitar 20 tahun. Tentu ini merupakan usia sangat muda sebagai seorang mahasiswa program pascasarjana.
Bahkan, diusianya yang masih sangat muda, ia pernah bekerja di salah satu kantor pengacara milik Mustafa Fahmi Pasya. Pasca belajar di Prancis, ia mulai menjabat sebagai Ketua Dewan Multikultural perwakilan Bani Suwayf. Ia pernah menjadi wakil hakim dalam Mahkamah Tingkat Rendah (pertama) hingga menduduki jabatan sebagai Mustasyar.
Modernisme Qasim Amin
Berangkat dari realitas umat Islam yang jauh tertinggal oleh bangsa Barat, banyak dari kalangan intelektual Islam menyelidiki penyebab kemunduran Islam sekaligus menawarkan solusi mengejar ketertinggalan tersebut. Era inilah yang dikenal juga sebagai periode modernise klasik di mana salah satu aktornya adalah Qasim Amin.
Qasim Amin menganjurkan umat Islam secara bersungguh-sungguh menyerap semua yang dianggap baik dari Barat, termasuk gagasan politiknya, tatanan ekonominya, sistem pendidikan dan teknologinya, sambil tetap memelihara dan melestarikan Islam. Terutama dalam bentuk ritual dan kaidah-kaidah perilaku personal (Jamali Sahrodi, 2013:71).
Seperti halnya Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905), atau Rasyid Rida (1865-1935 M), Qasim Amin juga fokus pada seruan kepada umat Islam agar menolak kejumudan berpikir (taqlid) dan mendorong untuk melakukan ijtihad dengan penalaran yang bebas dan ilmiah.
Karya Masterpiece
Selama masa hidupnya, ia juga dikenal sebagai tokoh yang aktif berkampanye dalam diskursus emansipasi wanita. Dalam dua karya magnum-opusnya yaitu Tahrir al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadidah, ia banyak memberi kritikan terhadap pendidikan Islam, budaya Islam, hingga hukum-hukum fikih yang berlaku di Mesir kala itu.
Juwairiyah Dahlan dalam bukunya yang berjudul Qasim Amin dan Reformasi Mesir menuliskan, “Keadaan wanita pada tingkatan menengah ketika itu selalu tertutup dan terpingit di rumahnya, tidak pernah dilihat oleh orang lain kecuali kerabat dekatnya. Dia tidak akan mengarahkan pandangannya keluar kecuali sekitar kamar pingitan, pintu-pintu rumah, tembok, jendela-jendela tetangga, dan gang-gang jalan.”
Menurut Qasim Amin, baik dari sisi pendidikan, budaya, dan penafsiran, hukum Islam banyak yang mendiskriminasikan kaum wanita saat itu.
Menurutnya, kaum wanita kala itu terisolasi oleh formalisme kekakuan berbudaya yang berdampak hiilangnya peran dan kontribusi wanita di tengah masyarakat dalam aktivitas reformasi kehidupan sosial.
Akhir Hidup
Qasim Amin sangat menautkan perhatian pada eskalasi pendidikan pemuda Mesir terhadap pria ataupun wanita. Baginya, pendidikan adalah upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sehinnga, di antara kontribusinya adalah dengan menjadi salah satu penggagas pendirian Cairo University pada tahun 1908 M.
Meski demikian, 2 tahun sebelum peresmian Cairo University, tepatnya 23 April 1908, Qasim Amin meninggal di usianya yang ke-45 tahun.
Ia meninggal dunia pada malam hari setelah memberi pidato pembukaan studi banding mahasiswi Eropa. Ia meninggalkan harapan besar agar kaum wanita bisa belajar sebagaimana mahasiswi-mahasiswi di Eropa.
Qasim Amin dalam Konteks Indonesia
Terkhusus pada topik reformasi Qasim Amin perihal emansipasi wanita. Dalam konteks Indonesia, kita bisa mempertahankan semangat emansipasi Qasim Amin di mana ia ingin membebaskan wanita dari kekakuan agama dan tradisi yang tidak bersandar pada ajaran Islam.
Selain itu, dalam konteks Indonesia, sangat penting untuk diteladani guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan mempertahankan semangat kerja intelektual (peran akal) agar tercipta peradaban yang tidak hanya religius namun juga saintis.
Editor: Yahya FR