Kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah Sebagai Budak
Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah, sufi perempuan ini lahir sekitar tahun 95 H/99 H (717 M) di Basra dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Kota tersebut.
Ia wafat pada tahun 185 H (801 M) dan dikebumikan di Basra. Menurut Attar, Rabi’ah terlahir di kondisi keluarga yang miskin.
Saat mencapai usia remaja, Ayahnya meninggal dan ia menjadi yatim. Kondisi yang sangat sulit menyebabkannya harus berpisah dengan saudara-saudaranya. Kemudian dalam kesendirian, ia bertemu dengan seseorang yang menjualnya sebagai budak.
Kehidupan Ra’biah setelah menjadi budak memaksanya selalu bekerja keras untuk melayani keluarga tuannya sepanjang hari, namun pada malam harinya Rabi’ah masih menyempatkan untuk bermunajat kepada Allah SWT.
Pada suatu malam terjadi suatu peristiwa aneh yang merubah jalan hidupnya. Pada saat itu, tuannya terjaga dari tidurnya dan melalui jendela melihat Rabi’ah sedang beribadah dan sujud. Di atas kepalanya, nampak cahaya yang menerangi seluruh rumahnya, dalam ibadahnya, Rabi’ah berdoa:
“Ya Allah Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat memenuhi perintah-Mu. Jika Engkau dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat sekejappun dari mengabdi kepada-Mu.” Melihat kejadian tersebut, sang tuan merasa takut dan tidak dapat memejamkan matanya hingga menjelang fajar.
Pada pagi harinya, ia memanggil Rabi’ah al-Adawiyah dan memerdekakannya. Setelah menjadi wanita merdeka, ia pergi ke gurun dan tinggal di sana beberapa waktu. Kemudian kembali ke Basra dimana pengalaman sufistik cintanya semakin mendalam.
Konsep Mahabbah Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi’ah meraih derajat kejernihan rohani secara bertahap hingga pada tahap paripurna. Pencapaiannya ini tak didasari taklid. Akan tetapi merujuk pada tabiat anugerah Ilahi. Rabi’ah dinilai oleh M. Smith sebagai orang pertama yang mengenalkan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah.
Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsep baru di kalangan para sufi kala itu. Konsepsi Rabi’ah tentang al-hubb dapat ditemukan dari baitnya tentang cinta.
Suatu ketika, Rabi’ah ditanya pendapatnya tentang batasan cinta. Ia menjawab: “Cinta berbicara dengan kerinduan dan perasaan. Mereka yang merasakan cinta saja yang dapat mengenal apa itu cinta.
Cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tak mungkin orang dapat menjelaskan sesuatu yang belum dikenalnya. Atau mengenali sesuatu yang belum pernah digaulinya. Cinta tak mungkin dikenal lewat hawa nafsu terlebih bila tuntutan cinta itu dikesampingkan.
Cinta bisa membuat orang jadi bingung, akan menutup untuk menyatakan sesuatu. Cinta mampu menguasai hati”.
Pada kesempatan yang lain, ada juga orang yang menanyakan cinta kepada Rabi`ah. Rabi`ah juga menjawab, bahwa: “Cinta muncul dari keazalian (azl) dan menuju keabadian (abad) serta tidak terlingkupi oleh salah satu dari delapan belas ribu alam yang mampu meminum hatta seteguk serbatnya”.
Dalam dialog lain, ada dua batasan cinta yang sering dinyatakan Rabi`ah. Pernyataan pertama, sebagai ekspresi cinta hamba kepada Allah, maka cinta tersebut harus menutup selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta.
Dengan kata lain, dia harus memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya. Kedua, dia harus memisahkan dirinya sesama makhluk ciptaan Allah, supaya dia tak bisa menarik dari Sang pencipta. Tambahnya ketiga, dia harus bangkit dari semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan dan kesengsaraan.
Karena kesenangan dan kesengasaraan dikhawatirkan mengganggu perenungan pada Yang Maha Suci. Terlihat sekali, Tuhan dipandang oleh Rabi`ah dengan penuh kecemburuan sebagai titik konsentrasinya, sebab hanya dia sendirilah yang wajib dicintai hamba-Nya.
***
Pada hari yang lain, Rabi`ah menyatakan dua macam pembagian cinta, sebagai puncak tasawufnya dan dinilai telah mencapai tingkatan tertinggi dalam tahap cinta. Pembagian cinta tersebut, tertuang dalam lirik syairnya:
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta. Cinta yang timbul dari kerinduan hatiku dan cinta dari anugrah-Mu. Adapun cinta dari kerinduanku menenggelamkan hati berzikir pada-Mu dari pada selain Kamu. Adapun cinta yang dari anugrah-Mu adalah anugrah-Mu membukakan tabir sehingga aku melihat wajah-Mu Tidak ada puji untuk ini dan untuk itu bagiku Akan tetapi dari-Mu segala puji baik untuk ini dan untuk itu”.
Pembagian cinta ini dinilai sebagai pelengkap keteladanan awal suatu peralihan. Sejak saat itu, lambat laun mempengaruhi karakteristik sufisme, yakni pengalihan sufisme dari pola hidup protes terhadap dominasi duniawi, kepada suatu teori kemaujudan dan tatanan teosofi.
Karena tasawuf itu pada dasarnya ekstrim ruhaniyah, maka dalam pembagian cinta, Rabi`ahlah orang yang merintis untuk membelokkan ajaran Islam ke arah mistik yang ekstrim ruhaniyah.
Dialah pelopor yang memperkenalkan cinta ajaran mistik dalam Islam. Rabi`ah telah memperluas beberapa makna ataupun lingkup cinta Ilahi.
Cinta Tuhan dan Berteman dengan-Nya
Esensi dari sebuah konsep cinta ini lebih mewarnai sisi kedamaian dan ketenangan yang dialami dalam jiwa para hamba ketika mengabdikan dirinya untuk Allah sebagaimana yang dialami oleh Rabi’ah.
Begitu besar cinta yang dirasa sampai ia menolak apapun selain Allah bersemayam dalam jiwanya. Hal ini dapat dilihat pada ungkapannya, yaitu “Jika aku menyembah Allah karena takut neraka-Nya, maka dekatkanlah neraka itu padaku, jika aku menyembahNya karena ingin meraih surga-Nya, maka jauhkanlah surga itu dariku, janganlah sekali-kali beriman pada Allah karena mengharapkan upah dariNya, tapi Cintailah Dia dengan penuh keikhlasan dan ketulusan”.
Inilah pijakan dasar dari konsep cinta yang dipopulerkan oleh sang sufi perempuan tersebut.
Teori al-hubb al-ilahi (cinta sufi) inipun juga dikatakan sebagai pengaruh dari guru Rabi’ah, ‘Abd al-Wahid Ibn Zaid. Hayunah, seorang perempuan sufi Basra, yang terkenal sebagai ahli ibadah dan zuhud juga memiliki andil yang sangat besar sebagai salah satu guru spiritual Rabi’ah dan dalam mewarnai siraman Ruhaninya.
Suatu hari, Rabi’ah sedang menginap di kediaman Hayunah. Di saat malam menjelang, Rabi’ah yang kurus dan tubuhnya yang kecil nampak tidak kuasa bangun untuk beribadah malam. Ia memilih menarik selimutnya dan terbang ke alam mimpi.
Namun, dengan kesabaran, Hayunah mencoba membangunkan Rabia’h, menasehati dan membimbingnya supaya terbiasa menghabiskan waktu-waktu malam bersama sang kekasih, Allah SWT.
Sejak itulah, kehidupan rohani Rabi’ah tercerahkan, dan menjadikannya sebagai sosok penguasa waktu malam untuk mengganti tidurnya dengan selalu terjaga dan bercinta dengan Allah.
Teori al-khullah, “Berteman dengan Tuhan” adalah sebuah konsep yang ia dapati dari salah satu tokoh sufi lainnya, yaitu Riyah Ibn ‘Amr al-Qaisy.
Konsep ini berangkat dari al-hubb al-ilah, sebuah kecintaan pada Tuhan yang begitu mendalam, mendominasi seluruh jiwa, nafsu, dan hatinya. Hingga dalam tingkatan yang paling tinggi, rasa cinta ini meliputi dan menguasai seluruh jiwa raganya. Hingga Allah pun akan membalasnya dengan kecintaan yang serupa. Sehingga, jadilah hubungan antara Tuhan dan hambanya laksana teman dan sahabat karib yang saling mencintai.
Editor: Yahya FR