Pada hakikatnya, Ramadan adalah bulan kemanusiaan. Banyak yang belum menyadari hal ini dan menganggap bahwa pada bulan Ramadan yang ditingkatkan hanyalah hubungan manusia dengan Tuhannya. Padahal dibalik ibadah-ibadah yang disyariatkan, terdapat pesan-pesan agar kita lebih peka terhadap persoalan kemanusiaan.
Dalam ibadah puasa, diri kita dilatih untuk mempunyai solidaritas kemanusiaan. Masih banyak manusia di berbagai belahan dunia yang menderita kelaparan. Banyak juga di sekitar kita orang yang masih kesulitan mendapatkan mata pencaharian. Puasa berupa tidak makan dan minum dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari mengingatkan kita pada penderitaan orang yang tak seberuntung kita.
Dalam fikih, jika ada seorang pasangan suami istri yang sengaja berhubungan di siang hari Ramadan, maka hukumannya adalah melaksanakan kafarat. Kafarat bagi mereka adalah membebaskan budak, puasa dua bulan atau memberi makan 60 orang miskin. Dalam kafarat membebaskan budak dan memberi makan 60 orang miskin terkandung nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial.
Pada Bulan Ramadan disyariatkan pula zakat fitrah, yakni mengeluarkan sebagian harta kita untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Besar zakat fitrah adalah 3,5 liter atau 2,7 kg beras. Zakat fitrah bertujuan agar pada hari raya tidak ada satupun umat Islam yang mempunyai makanan. Hari raya harus dirayakan oleh semuanya. Lagi-lagi kita bisa melihat dimensi kemanusiaan dalam syariat zakat fitrah.
Bulan Ramadan juga momentum untuk memperbanyak sedekah dan berbagi kepada sesama. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa siapa yang memberi makanan kepada orang yang berbuka puasa, maka dia akan mendapatkan pahala puasa orang yang dia beri, tanpa mengurangi pahala darinya sedikitpun. Sedekah tentu mengandung dimensi kemanusiaan, pada bulan Ramadan pahalanya digandakan berlipat-lipat.
***
Spirit dan aksi kemanusiaan harus lebih ditingkatkan pada bulan Ramadan tahun ini. Mengingat kita sedang bersama-sama diuji oleh Allah SWT dengan virus COVID-19. COVID-19 menguji solidaritas kemanusiaan kita, apakah hanya sebatas slogan atau diwujudkan dalam aksi nyata. Ramadan kali ini banyak yang terdampak COVID-19 baik kesehatannya maupun perekonomiannya. Mereka adalah sasaran aksi kemanusiaan yang harus lebih diintensifkan selama Ramadan.
Kolaborasi dalam melakukan aksi-aksi kemanusiaan sangat penting. Tanpa kolaborasi, aksi-aksi yang dilakukan boleh jadi tidak akan berdampak signifikan. Kolaborasi juga merupakan ajaran Islam yang disebut dengan ta’awun. Allah SWT memerintahkan kita untuk melakukan ta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah SWT melarang kita untuk melakukan ta’awun dalam dosa dan permusuhan.
Ada pepatah yang sejak kecil sudah diajarkan kepada kita. Bunyinya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Pepatah sederhana ini berisi ajaran agar kita melakukan kolaborasi jika ingin ringan dalam menyelesaikan sebuah masalah. Spirit kolaborasi juga sudah tertanam dalam alam bawah sadar bangsa kita dengan konsep gotong royong. Menurut Bung Karno gotong royong adalah intisari dari pancasila.
Kolaborasi kemanusiaan sangat tepat dilakukan pada Bulan Ramadan mengingat spirit kemanusiaan yang terkandung pada bulan ini. Tentu bukan berarti di bulan lainnya kolaborasi kemanusiaan tidak penting. Namun kita perlu memanfaatkan momentum Ramadan sebagai bulan kolaborasi kemanusiaan terlebih dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk meringankan penderitaan sesama karena COVID-19. Pertama bagi kita yang masih diberi keberuntungan berupa masih adanya pemasukan dari gaji, mari selama bulan Ramadan ini kita konsumsi kita. Puasa seharusnya mengurangi jumlah makanan dan minuman yang kita konsumsi. Karena asalnya kita makan dan minum tiga kali sehari, saat puasa menjadi dua kali sehari.
***
Namun ironisnya justru terjadi lonjakan konsumsi saat bulan Ramadan, karena banyak diantara kita yang berbuka dengan berlebihan. Pada masa pandemi ini mari kita kurangi jumlah konsumsi kita. Dana yang biasanya kita habiskan, kita simpan untuk dana cadangan. Menyimpan dana cadangan membuat kita siap dalam menghadapi krisis, sehingga minimal kita tidak menjadi beban bagi orang lain.
Sayangnya kesadaran untuk menyiapkan dana cadangan masih minim di kalangan masyarakat kita. Sehingga banyak yang tidak siap dalam menghadapi krisis yang datang secara tiba-tiba. Selanjutnya dana yang disimpan dari mengurangi konsumsi bisa digunakan juga untuk zakat infak dan shadaqah.
ZIS dalam masa pandemi merupakan jejaring pengaman sosial yang efektif. Masjid bisa menjadi pusat penyaluran ZIS selama COVID-19. Sehingga walaupun Masjid tidak bisa dipakai ibadah atau kajian berjamaah, namun bukan berarti Masjid non aktif. Masjid justru tetap menjadi garda terdepan dalam melawan COVID-19.
Mengurangi konsumsi, menyiapkan dana cadangan dan menyisihkan sebagian harta yang kita punya untuk disalurkan kepada warga terdampak COVID-19 merupakan bentuk kolaborasi kemanusiaan dalam menghadapi pandemi COVID-19 di bulan Ramadan. Bahkan tak hanya Ramadan, kebiasaan ini harus dipertahankan dalam bulan-bulan selanjutnya.
Jika strategi ini dilakukan sampai beberapa bulan ke depan, sepertinya kehidupan masyarakat bisa lebih ringan dan selamat tanpa harus mengharapkan bantuan dari pemerintah. Strategi ini juga dapat menguatkan rasa solidaritas sosial dan kemanusiaan diantara sesama kita.