Perspektif

Bisakah Ramadhan Menyelamatkan Indonesia?

5 Mins read

Datangnya Ramadhan

Tantangan dan ujian terasa sudah menyatu dengan kehidupan. Tak ada hidup tanpa di dalamnya juga terisi dengan problematika. Kita yang ditakdirkan menjadi manusia-manusia Indonesia, juga tak bisa bohong betapa bertubi-tubi masalah kita hadapi. Yang paling terasa biasanya dalam sektor ekonomi.

Kita semuanya setidaknya punya satu profesi. Profesi yang darinya kita menerima gaji, pendapatan, pemasukan yang dengannya kita sambung-menyambung hidup. Negara agraris dan maritim macam Indonesia dipenuhi juga orang-orang dengan profesi petani, pekebun, dan nelayan. Tak sedikit kita tahu bahwa keadaan ekonomi rumah tangga mereka tak sepi dari keluh, sedih, dan gundah.

Dalam keadaan serba tak mudah ini, belum lagi ditambah soal-soal pelik macam degradasi moral, intoleransi dan meningkatnya kriminalitas, kita pun lagi-lagi dihampiri tamu yang tiap tahun berkunjung. Datang juga Ramadhan ini.

Ramadhan kedua di era Covid-19. Hari di mana semakin banyak penganggur, pemuda yang takut akan nasib buruk masa depannya, dan kaum tani yang tak pasti pendapatannya. Keadaan gundah hati kita, coba dihibur oleh Ramadhan.

Muslim Indonesia dan Ramadhan

Santri, abangan, dan priyayi; setidaknya itulah segmentasi Muslim Indonesia di muka bumi Nusantara. Kita berutang pada Clifford Geertz akan analisa ini. Kita sendiri sering tak terlalu menggubris perbedaan sosio-antropologis tersebut.

Kita serasa menyatu; sebab agama kita ujung-ujungnya sama saja. Ada yang selalu sarungan dan pecian, yang lain jarang tahlilan, yang lain lagi lebih senang dengan hiburan; tapi jika ditanya apa agamanya, Islam pula dengan bangga ia nyatakan.

Lebih-lebih dalam soal Ramadhan. Semua kita melebur, merasa bahagia akan hadirnya, padahal ia datang dengan perintah supaya kita berlapar-lapar. Siapa yang mau lapar-lapar? Manusia itu butuh makan, minum, untuk energi dia hidup.

Tapi, tak ada dari kita yang benci dengan ajakan Ramadhan. Justru sebaliknya, kita sambut dengan gembira, kita berlapar dengan suka ria. Buat biologi evolusioner, ini sebuah keanehan nyata. Kita rela menekan kebutuhan biologis demi sesuatu yang tak bisa dicerap mata.

Ratusan tahun sudah lamanya Islam dan Nusantara seperti berkawin, saling menyuburkan satu sama lain. Negeri-negeri bermartabat di tanah ini adalah yang pernah merasakan pimpinan Islam atasnya. Tak ayal, manusia-manusia berkualitas juga lahir dan tumbuh.

Kelas intelektual menjamur, kelas pedagang makin maju, petani dan nelayan punya lahan dan laut dengan hasil produksi yang bebas mereka dagangkan di pasar. Sejak dari Pasai di Sumatera, hingga Tidore di timur sana, Islam dibina menjadi peradaban Nusantara.

Baca Juga  Menjernihkan Pikiran Kita dari Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif

***

Dan bagi kita di Indonesia, Ramadhan tak pernah kita bosan menyambutnya. Energi kita untuk hidup mulia menjalankan perintah Tuhan, ibadah siang dan malam, justru semakin menjadi-jadi di bulan yang penuh rasa lapar ini.

Entah mengapa? Barangkali, sebab di bulan ini saudara-saudara kita yang kekurangan, yang miskin dan papa, mereda juga rasa gundah di dadanya akibat ia tahu bahwa Muslim yang lain juga merasakan lapar yang sama.

Muslim Indonesia begitu akrab dengan Ramadhan. Ramadhan dirayakan dengan meramaikan masjid, menghias rumah, menyajikan buka puasa yang berwarna-warni, dan membuat rumah-rumah sahut-menyahut melantunkan ayat suci Al-Quran.

Sebuah tradisi indah yang harus dijaga. Saya empat tahun tinggal di Turki, namun di sana tak ada yang namanya ziarah kubur sebelum masuk Ramadhan, silaturahmi ke kerabat untuk meminta maaf, menghias rumah menjelang Ramadhan, atau bahkan buka puasa bersama di masjid, ataupun di kantor.

Bangsa ini pun sangat kuat menghadapi Ramadhan. Terik dan panas di siang hari, yang tetap tak boleh jadi alasan puasa dilanggar dan dikhianati, tak membuat perjuangan para pejuang kemerdekaan bangsa kita redup.

Kita tahu, hari-hari menegangkan sebelum Proklamasi berkumandang adalah Ramadhan. Cerahnya Ramadhan juga yang menaungi pembacaan Proklamasi kita. Puluhan Ramadhan telah mendidik dan menempa jiwa-jiwa pemimpin bangsa. Siapa tahu di antara mereka ada yang benar-benar sudah mendapatkan barakah Laylah al-Qadr. Siapa tahu?

Panggilan Ramadhan

Ramadhan ini unik, seunik spesies manusia itu sendiri. Seperti halnya Allah membedakan kita dari makhluk-Nya yang lain, begitu pula Dia bedakan dan khususkan Ramadhan dibandingkan bulan yang lain. Coba Anda pikir, apa kira-kira ciri khas Ramadhan?

Pertama, pasti yang lewat di kepala adalah puasa. Artinya menahan diri dari makan, minum, hubungan suami-istri sejak dari fajar hingga tenggelamnya surya. Kedua, bisa jadi tarawih yang meriah. Ketiga, pasti yang lewat di kepala adalah zakat dan sedekah.

Itulah semua panggilan Ramadhan bagi kita. Ramadhan memanggil kita untuk berpuasa, untuk bertarawih, dan untuk bersedekah. Puasa adalah ibadah yang bagi Allah hanya Dia yang tahu tentang ganjarannya. Tak ada yang tahu kualitas puasa seseorang kecuali Allah dan si pelaku.

Malaikat yang dekat dengan Allah saja tak bisa mencuri dengar dan mencuri pandang tentang apa yang terjadi pada puasa kita. Ada ketulusan dan keikhlasan dalam puasa. Ada kejujuran yang Allah awasi setiap saat. Puasa adalah bentuk paling nyata tentang takwa di dada kita.

Baca Juga  Inilah Doa-Doa yang Bisa Dibaca Ketika Mudik Lebaran

***

Tarawih selalu semarak di bulan penuh ampunan ini. Kata Nabi Muhammad dalam haditsnya memang Ramadhan adalah bulan ampunan dan kasih sayang. Itulah mengapa Muslim Indonesia ramai dan giat sekali mengunjungi masjid di bulan ini.

Mereka yang jarang ingat shalat lima waktu karena sawah dan ladang menyita seluruh perhatiannya; di bulan ini justru berpakaian rapi dan wangi menjenjeng sejadah untuk tarawih berjamaah. Setiap langkah yang diayun penuh harap akan ampunan atas semua dosa di bulan-bulan yang lalu.

Sedekah juga panggilan Ramadhan. Karena kita tahu bagaimana rasanya lapar; karena kita tahu bagaimana hidup tanpa keleluasaan ekonomi yang bisa membuat kita makan apa pun yang disuka; maka kita pun mulai menatap saudara-saudara miskin kita secara lebih berhati dan berempati.

Seribu dua ribu tak susah kita keluarkan, masukkan ke dalam tromol-tromol masjid, atau langsung kita belikan makanan berbuka untuk saudara miskin kita. Itu semua fakta yang terjadi. Di akhir Ramadhan nanti, ada zakat fitrah yang wajib kita keluarkan untuk menyempurnakan puasa ini.

Dimensi Keadilan Ramadhan

Jarang sekali kita ingat bahwa Ramadhan mengajarkan kita keadilan. Adil adalah tugas utama kita di muka bumi. Menjaga keseimbangan hidup, baik itu sektor ekonomi, sosial, politik, maupun pendidikan; adalah kewajiban utama kita selaku makhluk-Nya yang berakal dan beriman.

Adil adalah perintah Allah bagi Rasul-Nya dan bagi kita juga. Tak ada Nabi yang dikirim Tuhan kecuali dengannya ia menitipkan pesan keadilan. Fir’aun dan Namrud adalah simbol kezaliman. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah simbol serupa. Belanda dan penjajah adalah pelaku kezaliman juga.

Maka demikian pula Ramadhan, ia tak lain adalah wujud daripada rasa keadilan itu. Dalam psikologi dan metafisika Aristotelian yang diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina, dikatakan bahwa inti dari kemanusiaan kita bukanlah jasmani, fisik, dan tubuh biologis ini. Inti kemanusiaan itu adalah sesuatu yang tak kasat mata, tak bermateri, dan tak berwujud rupa.

Ia ada di dalam, yang menggerakkan seluruh diri ini, yang merasakan pahit dan manis kehidupan, yang akan kembali untuk diminta pertanggung jawaban. Ia adalah jiwa, atau ruh. Ia inti dari identitas setiap individu manusia.

Baca Juga  Memaknai New Normal Pasca Ramadhan

Ramadhan ingin supaya kita kembali ingat akan inti kemanusiaan kita itu. Itulah mengapa Ramadhan menyuruh kita menahan lapar dan dahaga, dan tak menggubrisnya walau ia meronta minta puasa dibatalkan.

Ramadhan datang dan berkata pada Anda: “Kamu itu bukan perut, bukan mulut, dan bukan kelaminmu. Kamu adalah jiwamu. Belajarlah untuk tidak menuruti semua keinginan perut, mulut dan kelaminmu. Hanya ketika itu kamu dapat menemukan kembali jiwa sejatimu.” Itulah mengapa juga Ramadhan disebut sebagai bulan penyucian diri. Kita betul-betul membersihkan diri di bulan ini.

Dan ini semua tidak lain adalah dimensi keadilan Ramadhan. Sebelum kita mampu berbuat adil terhadap orang lain, maka pertama-tama kita harus adil dalam mengelola diri kita sendiri. Dan langkah pertamanya adalah dengan mengakui bahwa kebutuhan biologis, tidak lebih utama daripada kebutuhan rohani.

***

Ramadhan juga adil, karena ia bukannya menyuruh Anda untuk lapar seharian dan semalaman penuh. Ia hanya meminta kita lapar di siang hari saja. Ini adalah adil. Sebab adil berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. Demikian kata Imam Al-Ghazali dalam Kimya-i Sa’adat.

Maka, bisakah Ramadhan menyelamatkan kita? Tentu saja. Justru ia memang datang untuk itu. Ia datang untuk menyelamatkan kita dari dimensi kebinatangan dan hewaniah yang tanpa sadar kita kira sebagai identitas utama diri ini.

Kembali mengutip Al-Farabi dan Ibn Sina selaku dua guru utama dalam pemikiran filosofis dan spiritualitas Islam, mereka mengatakan bahwa kesempurnaan manusia hanya dapat terjadi tatkala pengetahuan kita mewujud dalam bentuk amal-amal kebajikan. Takwa adalah pengetahuan. Tapi, tak akan sempurna tanpa amalan. Puasa itulah yang menyempurnakan.

Kalau begitu, bisakah juga Ramadhan menyelamatkan Indonesia? Coba kita tanya pada nurani kita bersama; sebenarnya apa yang membuat kita tak kunjung bisa lepas dari problematika ketidak-adilan ekonomi dan pendidikan, ketidak-adilan sosial, dan politik yang buas yang saling menerkam satu sama lain?

Jika Anda tanya pada mahaguru seperti Ibn Sina dan Al-Ghazali, maka jawabnya adalah sebab kita tak kunjung mampu meredam nafsu hewani, dan akhirnya tak mampu memihak pada hati nurani. Masalah ketidakadilan di negeri ini, tak melulu soal sistem. Tapi juga soal rohani yang tak lagi dilihat sebagai inti kepribadian insani.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds