Salah satu musuh terbesar umat Islam Indonesia adalah kebodohan dalam beragama dan taklid buta. Cara-cara kreatif dan inovatif untuk mendidik umat agar logis, rasional, dan kritis dalam melaksanakan dan memahami perintah agama sangat dibutuhkan. Cara-cara itu pernah dicontohkan KH. Ahmad Dahlan dalam mendidik umat, dan juga oleh Syeikh Al Maududi. Hal ini menjadi penting karena sudah selayaknya rasionalitas dalam Islam menjadi aspek kunci sebagai sifat agama Islam.
Umat Islam Jawa yang terbiasa berpikir mistis, tidak rasional, dan tidak ilmiah, dididik KH Ahmad Dahlan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang membangun rasionalitas dalam Islam. Akhirnya, usaha KH. Ahmad Dahlan membuahkan hasil manis. Di belakang generasi KH. Ahmad Dahlan, lahirlah satu generasi modern yang terdidik dan terbiasa menggunakan nalar kritis dalam beragama.
Dengan semangat memajukan rasionalitas di kalangan umat Islam Indonesia, yang kini telah banyak terpecah-belah dalam fanatisme politik, ada baiknya kita menoleh sejenak ke luar, untuk belajar Islam yang rasional, objektif, dan kritis.
Islam kritis ala Ibrahim AS, yang merenungi keajaiban alam untuk menemukan keberadaan Allah, dapat ditemui pada risalah-risalah Syeikh Abdul A’la Al Maududi. Risalah tersebut tersebar di berbagai laman internet dan buku-buku klasik karangan beliau. Ulama asal Pakistan ini sangat cocok untuk menjadi referensi dalam mengasah kapasitas rasionalitas dalam Islam.
Risalah Islam Rasional Syeikh al Maududi
Syeikh al Maududi membentangkan rasionalitas dakwah orang beriman dan orang tidak beriman terkait eksistensi Tuhan. Beliau menulisnya dalam artikel berjudul Hukm Al-Aql yang terbit tahun 1933. Kita dipaksa Syeikh al Maududi untuk memilih satu di antara dua golongan terkait dengan keberadaan Tuhan. Pilihan itu diandaikan Syeikh al Maududi didasarkan pada objektifitas dan logika yang murni hingga hasilnya tidak bertentangan dengan akal sehat dan bersifat rasional.
Pada pihak orang-orang beriman, terdapat orang-orang yang bersatu secara teori dan pandangan hidup. Orang-orang beriman ini juga terkenal jujur, amanah, dan tidak mengambil keuntungan dari seruan tauhid mereka.
Di sisi lain, orang-orang tidak beriman tidak bersatu secara teori. Segala macam pemikiran mereka didasarkan atas deduksi yang masih goyah, terkadang tidak rasional. Panca indra yang menjadi landasan pemikiran mereka bersifat terbatas. Mereka juga terbiasa mengkapitalisasi ilmu pengetahuan untuk kepentingan duniawi.
Maka sangat logis jika kita lebih mempercayai pendapat golongan pertama daripada pendapat golongan yang terakhir. Disiplin, rasional, kredibilitas, dan gaya hidup golongan pertama lebih mungkin untuk dipercaya daripada golongan kedua. Dan demikianlah pengaruh memaksimalkan rasionalitas dalam Islam.
Logika Tuhan menurut Al Maududi
Dalam makalah lain berjudul Qushur an-Nazhr yang terbit tahun 1935, Syeikh al Maududi menjelaskan cara mengantisipasi gugatan orang-orang yang tidak beriman pada takdir Allah. Takdir Allah yang dipandang tidak adil, kejam, dan egois, menurut Syeikh al Maududi, hanyalah bias pemikiran yang diakibatkan keterbatasan pengetahuan saja. Dengan hikmah, wawasan, dan cara pandang yang utuh, kita akan memahami betapa besar aspek rasionalitas dalam Islam yang terdapat dalam takdir Allah.
Syeikh al Maududi mengibaratkan takdir Allah pada mahkluk-Nya dengan hubungan pemilik kebun dengan segala macam penghuni kebun kebun di dalamnya. Sayur penghuni kebun, seringkali memiliki kepentingan yang berbeda dengan pemilik kebun. Sayur-sayuran itu hanya mementingkan keselamatan dan kesenangan mereka saja, sedangkan pemilik kebun tidak terbatas pada hal itu. Pemilik kebun harus memikirkan cara mempertahankan ekosistem kebun agar tetap seimbang.
Saat penghuni kebun merengek dengan rengekan, “Alangkah kejam tukang kebun ini. Betapa zalimnya! Dia memotongi anggota tubuh kami, membunuh anak-anak kami (bunga-bunga dan buah-buah) lantas disanderanya. Kadang-kadang ia mencabuti teman kami, yang usianya bahkan belum sempat melewati satu musim” adalah gambaran betapa sempit dan egois pandangan mereka.
Pemilik kebun yang memiliki wawasan luas bisa menjawab rengekan itu dengan jawaban lugas; “Pepohonan itu tidak memiliki cakrawala pandangan yang jauh, yang senangtiasa menjaga kepentingan kebun. Sementara mereka hanya sayang pada bunga, buah, dan dahan dan daunnya sendiri. Akan halnya saya, saya memiliki cakrawala pandang yang jauh, yang senantiasa menjaga kepentingan kebun.”
Tulisan-tulisan Syeikh al Maududi lain seperti ats-Tsubut al-‘Agl li ar-Risalah (terbit 1937), Kebangkitan dan Kematian (disampaikan 1941), dan Paksaan dan Ikhtiar (disampaikan 1943) juga memiliki nafas yang sama dalam menghidupkan rasionalitas dalam Islam. Iman yang dilandasi akal sehat adalah iman yang akan membawa umat pada islam berkemajuan.
***
Kesimpulan dari perspektif di atas adalah takdir yang terlihat buruk dan kejam sesungguhnya hanya disebabkan oleh keterbatasan ilmu kita sebagai manusia. Takdir jika dipikirkan secara rasional adalah cara Allah menjaga seluruh hukum esistensi keberadaan semesta. Semua itu adalah rencana Allah dalam menjaga keseimbangan Allah.
Syeikh al Maududi dan tulisan-tulisannya adalah oase yang bisa kita teguk untuk menjernikan spirit rasionalitas dalam Islam kita. Semoga dengan membaca banyak risalah Syeikh al Maududi, umat Islam Indonesia akan terhindar dari fanatisme dan kejahiliyahan modern.
Editor: Shidqi Mukhtasor/Nabhan