Opini

Rasyid Ridha, Jalan Sunyi Sang Pena Peradaban dari Timur

4 Mins read

Dalam Islam, jihad bukan semata pertempuran fisik. Ia juga berarti usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan kebenaran, memperbaiki kerusakan, dan menyampaikan cahaya kepada yang masih terperangkap dalam gelap. Dalam hal ini, maka jurnalisme menjadi salah satu medan jihad, tempat di mana umat beriman tidak tinggal diam, tetapi menulis, menyuarakan, dan mempengaruhi arah umat.

Ketika fitnah menjadi berita, dan dusta dipoles menjadi kebenaran yang viral, maka umat Islam dituntut untuk tidak ikut tenggelam, melainkan bangkit dan mengambil posisi sebagai penjaga integritas informasi. Seorang muslim, siapapun dia, harus hadir bukan untuk membela golongan, tetapi untuk membela nilai; nilai keadilan, amanah, dan rahmah yang menjadi inti dari risalah kenabian. Sebuah tindakan yang telah dicontohkan oleh salah seorang tokoh pembaharu Islam era kontemporer.

Perjalanan Awal Sang Reformis dari Syam

Dalam riuh rendah zaman kolonial, ketika dunia Islam terpuruk dalam cengkeraman penjajahan dan kejumudan berpikir, muncullah seorang tokoh pembaharu dari Timur yang membawa cahaya lewat bait kata. Di sebuah desa kecil bernama Qalamun, tak jauh dari kota Tripoli di wilayah Suriah (kini Lebanon), pada tanggal 23 September 1865, lahirlah seorang anak yang kelak mengguncang dunia Islam dengan pemikirannya yang tajam dan tinta jurnalistiknya yang lantang. Muhammad Rasyid Ridha namanya.

Muhammad Rasyid Ridha tumbuh dalam keluarga religius. Sejak kecil, ia telah dibimbing untuk mencintai Al-Qur’an dan hadits, serta menghormati ilmu pengetahuan. Semangat belajarnya membara, melebihi batas-batas geografi. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Ridha melanjutkan studinya di Madrasah al-Wataniyyah al-Islamiyyah di Tripoli. Namun, jiwanya yang kritis tak sepenuhnya merasa puas dengan metode pendidikan tradisional yang hanya menekankan hafalan dan taklid. Ia ingin lebih: pemahaman, pemikiran, dan pembaruan.

Baca Juga  Kartini Bukan Tentang Kebaya, Tapi Tentang Cara Kita Berpikir

Sebagaimana ditulis oleh Fazlur Rahman dalam bukunya “Islam dan Modernitas: Transformasi Tradisi Intelektual”, pertemuan Ridha dengan pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh menjadi titik balik dalam hidupnya. Melalui majalah dan buku-buku, Ridha muda mulai mengenal semangat reformasi, perlawanan terhadap kolonialisme, dan pentingnya ijtihad dalam Islam modern. Terpesona oleh kecemerlangan pemikiran Abduh, Ridha meninggalkan tanah kelahirannya dan berhijrah ke Mesir pada tahun 1897, demi bertemu langsung dengan sang guru.

Al-Manar dan Pena yang Menjadi Penggerak

Rasyid Ridha dikenal luas sebagai murid langsung dari Muhammad Abduh, tokoh reformasi Islam Mesir. Bersama gurunya, Ridha mempelajari bukan hanya ilmu-ilmu keislaman klasik, tetapi juga filsafat modern, pemikiran politik, serta teknik komunikasi massa. Di bawah asuhan Abduh, ia menyadari bahwa dakwah dan pembaruan umat tidak cukup dilakukan di mimbar-mimbar masjid, tetapi harus disebarkan melalui media cetak, agar dapat menjangkau akal dan hati umat yang tersebar di seluruh dunia Islam.

Pada tahun 1898, di Kairo, Ridha mendirikan sebuah majalah bernama Al-Manar, yang kelak menjadi ikon jurnalistik reformis dalam dunia Islam. Al-Manar bukanlah media biasa. Ia adalah lentera intelektual yang menyinari perdebatan keilmuan, menyuarakan semangat kemerdekaan, dan mengkritik praktik keagamaan yang tak lagi relevan dengan semangat zaman.

Dalam lembar-lembar Al-Manar, sebagaimana yang tertuang dalam karya tulis Harun Nasution berjudul “Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan”, Rasyid Ridha menyuarakan ijtihad, menolak taklid, dan mendorong kaum Muslim untuk berpikir rasional, kontekstual, dan progresif. Kontribusi Ridha dalam dunia jurnalistik tak hanya terletak pada produksi tulisan, tetapi juga pada kekuatan naratif dan keberanian editorialnya.

Ia menjadikan Al-Manar sebagai panggung terbuka bagi para pemikir Muslim dari berbagai belahan dunia. Majalah ini memuat tafsir, opini, kritik sosial, pemikiran politik, dan bahkan isu-isu dunia internasional. Ridha memadukan gaya bahasa ilmiah dengan narasi moral yang menggugah, sehingga Al-Manar dapat menjangkau kalangan intelektual sekaligus masyarakat umum.

Baca Juga  Rasulullah Mengajarkan Kita Hidup Sederhana, Tak Berarti Miskin

***

Salah satu kontribusi paling monumental Ridha melalui Al-Manar adalah proyek “Tafsir al-Manar”, sebuah tafsir Al-Qur’an yang ditulis secara berkala di dalam majalah. Tidak seperti tafsir tradisional yang bersifat filologis, tafsir Ridha bersifat sosiologis dan kontekstual, menjawab isu-isu kekinian seperti pemerintahan, keadilan sosial, pendidikan, dan kolonialisme. Ia menunjukkan bagaimana wahyu bukan sekadar teks suci, tetapi petunjuk praktis bagi pembebasan manusia.

Al-Manar menjadi media transnasional yang distribusinya menjangkau hingga ke Asia Tenggara, India, Afrika Utara, dan bahkan diaspora Muslim di Eropa. Gagasan-gagasan Ridha dikutip oleh para tokoh besar seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, hingga Hamka dan Mohammad Natsir di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa jurnalisme Ridha tidak hanya menyampaikan berita, tetapi menyemai kesadaran dan membentuk gerakan.

Peran Rasyid Ridha dalam dunia jurnalistik adalah tonggak penting dalam sejarah komunikasi Islam modern. Ia memperlihatkan bagaimana media dapat menjadi alat perjuangan intelektual dan pembebasan. Dengan tinta dan nalar, ia melawan kebekuan pemikiran dan hegemoni penjajahan. Melalui Al-Manar, ia membangun jembatan antara tradisi dan modernitas, antara teks dan konteks, antara masa lalu yang gemilang dan masa depan yang dijanjikan.

Rasyid Ridha wafat pada tahun 1935, namun jejaknya dalam dunia jurnalistik tetap hidup. Ia telah mewariskan kepada umat Islam bukan hanya karya, tetapi juga semangat untuk berpikir merdeka dan menulis dengan keberanian. Di tengah tantangan zaman, warisan itu masih relevan, mengajak kita untuk kembali menjadikan pena sebagai lentera, dan jurnalistik sebagai jalan perjuangan.

Jurnalisme: Jihad Pena yang Menembus Zaman

Dari apa yang dilakukan oleh Rasyid Ridha, setidaknya kita bisa melihat bahwa jurnalisme bukan hanya soal memberitakan. Ia adalah tanggung jawab untuk menyampaikan yang hak, dengan adab, ilmu, dan cinta. Ia menjadi lidah bagi yang dibungkam, menjadi mata bagi yang dibutakan, dan menjadi telinga bagi jerit mereka yang tak terdengar. Dalam jurnalisme, umat Islam dapat memperjuangkan isu-isu seperti, ketertindasan, kemiskinan, pendidikan, krisis moral, dan kerusakan lingkungan – semua itu adalah ladang jihad yang luas, jika digarap dengan niat dan keahlian.

Baca Juga  Hassan Hanafi dan Gagasan Teologi Universal

Dalam dunia yang kerap memuja sensasi dan kecepatan, jurnalisme yang jujur justru memilih jalan sepi – jalan klarifikasi, konfirmasi, dan kedalaman. Ia tidak mengejar sorotan, tetapi makna. Ia tidak mendewakan klik, tetapi keadilan. Ia tahu bahwa satu kalimat yang benar, bisa lebih berharga dari seribu cerita yang dibuat-buat.

Hari ini, umat Islam tidak boleh puas menjadi sekadar konsumen berita. Kita harus menjadi pembentuk narasi, penulis sejarah, dan penjaga makna. Kita harus hadir di ruang redaksi, di layar, di halaman depan, dengan membawa nilai-nilai Islam yang mencerahkan – bukan untuk menguasai, tetapi untuk menuntun. Itulah jihad di zaman ini: jihad pena, jihad pikiran, jihad informasi.

Jurnalisme adalah nyala kecil yang tak pernah padam. Karena selama dunia ini masih menyimpan kebohongan, akan selalu ada yang bersedia menyalakan cahaya. Dan bagi umat beriman, cahaya itu bukan hanya tugas, tapi ibadah yang mulia: sebuah jalan sunyi, namun penuh makna, menuju ridha Ilahi.

Editor: Soleh

Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *