Ketika Perang Dunia I pecah, keadaan Jazirah Arab sebagai bagian dari kerajaan Turki, telah terpecah-belah menjadi beberapa kerajaan kecil. Tanah Hejaz diperintah oleh Syarif Husein Ali Ibnu Aun yang berkedudukan di Makkah. Wilayah Nejed terbagi dua. Keturunan Rasyid menguasai daerah Shammar dengan kedudukan di Hail. Keturunan Muhammad ibnu Sa’ud berkuasa di Riyad.
Syarif Husein ini sejak tahun 1893 berada di Istambul sebagai tamu dari Sultan Abdul Hamid. Ia dibawa ke Istambul karena dianggap berbahaya bagi Turki jika menetap di Arabia. Ketika organisasi Turki Muda memegang kekuasaan pada tahun 1908, Syarif Husein dipulangkan ke Makkah.
Syarif Husein kembali ke Makkah
Pada tahun 1914, ia mencari hubungan dengan Komisaris Tinggi Inggris di Mesir melalui putranya, Abdullah, dengan maksud meminta untuk memerdekakan Arabia dan Turki. Ketika Turki terlibat dalam Perang Dunia I, Syarif Husein menegaskan tidak akan mengikuti penggilan Syaikhul Islam untuk menyertai Turki melawan Inggris.
Inggris berkeinginan agar Syarif Husein berpihak kepadanya memerangi Turki. Pada tanggal 15 Juli, Syarif Husein berkirim surat kepada Komisaris Tinggi Mac Mahon atas nama bangsa Arab. Ia menawarkan bantuannya asal Inggris mau memberikan kemerdekaan kepada bangsa Arab. Kemerdekaan atas seluruh wilayahnya sampai ke perbatasan dengan Persia dan Samudera Hindia serta menyetujui adanya Khalifah untuk bangsa Arab.
Surat itu dijawab oleh Sir Henry Mac Mahon pada 10 Agustus menyatakan pemerintah Inggris tidak berkeberatan berdirinya Khalifah di tangan seorang keturunan Nabi. Hanya batas kekuasaan negara Arab merdeka sampai berapa jauh luasnya belumlah sampai waktunya. Pada intinya, Mac Mahon menyatakan bahwa Inggris bersedia memerdekakan tanah Arab.
Rasyid Ridla Mendukung Syarif Husein
Rasyid Ridla dengan Al-Mannar-nya mengikuti terus segala perkembangan itu dari awalnya dan dapat menyetujui langkah Syarif Husein. Demikianlah Syarif Husein, didorong oleh kekejaman Gubernur Turki di Damascus, Jamal Pasya, dan untuk mencapai cita-citanya mewujudkan Negara Arab yang merdeka. Juga atas janji yang dinyatakan Inggris melalui Mac Mahon; ia berpihak kepada Inggris melawan Turki.
Tetapi setelah Perang Dunia I berakhir dengan kekalahan Turki dan kawan-kawannya, Inggris tidak menepati janjinya kepada Syarif Husein dengan pelbagai alasan. Di luar itu, Inggris telah mengadakan perjanjian dengan sekutunya, Prancis.
Dalam perjanjian itu, Inggris diwakili oleh seorang ahli tentang Timur Tengah yang bernama Mark Sykes. Dari Prancis diwakili oleh bekas Konsul Jenderalnya di Beirut, F.G. Picot. Perjanjian itu membagi-bagi daerah takluk Turki, Iraq, Mesopotamia, dan Palestina untuk Inggris: Syria dan Libanon bagi Prancis. Tentang Hijaz diakui sebagai negara merdeka dan Syarif Husein selaku rajanya, tetapi tetap tunduk kepada Inggris.
Inggris Ingkar Janji
Bukan main kecewa dan sakit hatinya Syarif Husein. Kedua putranya, Faisal dan Abdullah dengan tentaranya, telah membantu Inggris mengenyahkan kekuasaan Turki dari Arabia. Maka pada tahun 1916, sementara kedua putranya sedang berada di medan pertempuran, dilaksanakannya penobatan dirinya sebagai Raja Arabia. Tetapi alangkah kecewanya setelah ternyata bahwa Inggris, Prancis dan Italia hanya mengakui dia sebagai Raja Tanah Hijaz.
Inggris memerintahkan Kolonel Lawrence ke Hijaz membantu gerakan Faisal. General Allenby menyerang kedudukan Turki di Palestina dan mengusir mereka ke Jordan. Sesudah itu, Lawrence menerobos ke utara dan menduduki Damascus pada tanggal 30 Nopember 1918.
Di Najed, Abdul Aziz Ibnu Sa’ud tambah kuat dan menolak tuntutan Syarif Husein untuk menguasai seluruh Arabia. Dia berhasil memukul pasukan Husein di Turabah. Dengan demikian, maksud Husein untuk menaklukkan Nejed menjadi terhalang.
Kekuasaan Ibnu Sa’ud
Seorang saudara sepupu Husein yang bernama Khalid ibnu Lu’ai, karena iri hatinya, telah membantu Ibnu Sa’ud. Di samping itu, pemerintah Inggris telah mengirim ahlinya, John Philby, untuk membantu Ibnu Sa’ud dan menjadi penasihat militernya.
Wilayah Nejed yang dikuasai oleh keturunan Abdullah Ibnu Rasyid dapat ditaklukkan oleh Ibnu Sa’ud pada akhir tahun 1921. Seluruh Nejed telah berada di bawah perintahnya. Pada tahun itu juga, Faisal putra Syarif Husein, oleh Inggris dinobatkan menjadi raja Iraq.
Pemerintah Inggris telah mengirim Kolonel Lawrence, seorang perwira yang ternyata juga menjadi anggota Intelligent Service, untuk membantu Faisal mengusir Turki dari Arabia. Kemudian juga mengirim John Philby yang juga menjadi anggota Intelligent Service untuk membantu serta menjadi penasihat Ibnu Sa’ud dalam mencapai cita-citanya menjadi raja di atas wilayah Nejed dan Hijaz.
Faisal sebagai Raja Iraq
Pemerintah Inggris mengutus seorang wanita putra satu-satunya dari Sir Hugh Bell untuk menjadikan Faisal raja di Iraq. Namanya Miss Gertrude Bell, ahli dalam masalah Timur-Tengah, seperti Lawrence, dan mahir pula berbahasa Arab dalam segala dialeknya.
Setelah menamatkan pelajarannya di Oxford, ia merantau ke Timur Tengah dan sangat tekun mempelajari bahasa-bahasa Timur, terutama bahasa Arab. Keahliannya dalam bahasa itu telah menarik perhatian pemerintah Inggris dan Maskapai Minyak Inggris, The Anglo-Persian.
Miss Bell dikirim ke Cairo dan ditempatkan sekantor dengan Kolonel Lawrence. Wanita ini mengundang para Syaikh yang berkuasa di wilayah Iraq dalam satu perjamuan makan. Satu demi satu mereka dibujuk untuk berunding dengan pemerintah Inggris dan menyetujui pula rencana Miss Bell untuk mengangkat Faisal menjadi Raja Iraq. Atas dasar inilah, Faisal yang merasa berhutang budi kepada Inggris memberikan konsesi-minyak yang besar.
Akhir Kekuasaan Syarif Husein
Syarif Husein yang telah terdesak itu meminta bantuan Inggris untuk melawan Ibnu Sa’ud. Tetapi, Inggris setelah melihat kemajuan Ibnu Sa’ud lalu berbalik hatinya terhadap Syarif Husein. Inggris berpihak kepada Ibnu Sa’ud. Rupanya, nasib Syarif Husein yang buruk itu belum berhenti di situ saja. Khalid Ibnu Lu’ai merebut Makkah pada tanggal 13 Oktober 1924, dan Husein setelah menyerahkan kekuasaan kepada putranya yang tertua, Ali, melarikan diri ke Aqabah.
Awal Desember, Ibnu Sa’ud memasuki Makkah. Ali mengungsi ke Jedah hingga bulan Desember 1925 lalu pergi ke Iraq kepada saudaranya Faisal. Adapun Syarif Husein pada tahun 1926 diusir oleh Inggris dari Aqabah dan dibolehkan mengungsi di pulau Cyprus. Menjelang akhir tahun 1930, ia pindah ke Amman dengan putranya serta meninggal dunia pada tahun 1931.
Maka kembalilah tanah Nejed dan Hijaz kepada keturunan Muhammad Ibnu Sa’ud yang pada tahun 1740 menerima kedatangan Muhammad bin Abdul Wahab sebagai saudara sepaham dan seperjuangan.
Sumber: Aliran Pembaharuan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma.
Editor: Arif