Perbincangan mengenai Hamka dan komunisme secara spesifik termasuk tema yang relatif sedikit mendapat perhatian kita dibanding dengan misalnya, pemikiran Hamka tentang negara, demokrasi, maupun politik. Padahal, persinggungannya dengan komunisme menjadi bagian penting perjalanan hidup dan warna pemikiran ulama prolifik kelahiran Maninjau, 17 Februari 1908.
Persinggungan Hamka dengan komunis mendapat perhatian serius guru besar bidang sejarah Arizona State University, James R. Rush, dalam karya fenomenalnya, Hamka’s Great Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia. Rush menceritakan, selama tahun 1950-an Partai Komunis Indonesia (PKI) menguat sehingga pengaruh dan pengikutnya bertambah besar.
Sektor politik dan budaya menjadi salah satu medan pertempuran PKI dengan partai Masyumi yang Hamka berada di dalamnya. PKI menyebut kelompok Muslim modernis baik Muhammadiyah maupun Masyumi sebagai kelompok borjuis komprador, rentenir, antinasional, dan pro-Barat.
Hamka sendiri diserang oleh simpatisan PKI dari berbagai sisi, seperti tuduhan plagiarisme dalam novelnya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang dianggap mencontek novel Magdalena karya penulis Mesir, Musthafa Luthfi al-Manfaluthi.
Koran Bintang Timurpada tahun 1962 menerbitkan beberapa edisi yang memuat serangan terhadap Hamka baik atas karya maupun pribadinya. Ayah Hamka, Haji Rasul, juga sempat berpolemik dengan murid-muridnya yang terpengaruh komunisme pada tahun 1920-an sehingga mendapat berbagai tuduhan penuh kebencian.
Tafsir Al-Azhar dan Komunisme
Di antara peristiwa penting yang Hamka alami adalah penahanan dirinya saat komunis memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan Indonesia pada tahun 1964. Di dalam penjara, Hamka dipaksa untuk mengakui berbagai macam tuduhan yang tidak pernah ia lakukan. Overste Nasuhi, salah seorang kawan Hamka yang lebih dahulu ditahan mengatakan bahwa ia dan banyak orang lainnya telah difitnah oleh orang komunis yang ingin menyingkirkan mereka dari tengah masyarakat.
Pada masa penahanan, Hamka menjadi tekun belajar dan menulis yang ia akui seandainya tidak ditahan selama lebih dari dua tahun, ia tidak akan mampu menyelesaikan karya tafsirnya. Ia mengaku telah hampir menyelesaikan penafsiran Al-Qur’an 30 Juz beberapa hari sebelum ia dipindahkan menjadi tahanan rumah.
Dalam Tafsir al-Azhar, Hamka banyak menyisipkan keterangan tentang komunisme, termasuk berbagai pergerakannya di Indonesia, guna memperjelas maksud ayat.
Bahkan, Hamka mengakui peningkatan keyakinannya atas pemahaman QS. Al-Baqarah [2]: 214 yang pada ujung ayat menyatakan “Ketahuilah! Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” saat komunisme di Indonesia mengalami kejatuhan.
Islam Vis a Vis Komunisme
Hamka memperhadapkan Islam di zaman modern dengan dua ideologi besar yaitu komunisme dan kapitalisme. Islam mendasarkan semua hal pada kepercayaan atas Tuhan yang menguasai seluruh alam. Sedangkan, komunisme dan kapitalisme mendasarkan ideologinya pada materi. Hamka menjelaskan perbedaan mendasar antara ruh sosialisme dan Islam berkaitan dengan pemerataan keadilan sosial ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 177.
Hamka mengatakan bahwa ajaran Marx mengenai sosialisme tidak mengakui adanya jiwa dan pribadi manusia yang berakar dari pengingkaran atas keberadaan Tuhan. Sosialisme memusatkan pada (1) masyarakat sebagai pengendali hajat hidup tiap pribadi, (2) pemegang tampuk pemerintahan dan, (3) penguasaan negara atas alat produksi.
Ajaran Islam bagi Hamka mendasarkan keadilan sosial pada perbaikan jiwa individu sebagai sendi masyarakat. Penanaman keimanan kepada Allah SWT dan hari kiamat dalam tiap jiwa manusia adalah basis kedermawanan dan kasih sayang.
Lebih terang lagi Hamka mengatakan bahwa keadilan sosial bersumber dari kesadaran tiap individu dalam hubungannya dengan Allah, manusia dan alam sekitar sekaligus kedudukan diri diantara ketiganya.
Setelah menunjukkan perbedaan antara Islam dan sosialisme, Hamka mengisahkan kegagalan sosialisme di Rusia dalam mewujudkan keadilan sosial sebagaimana diperjuangkan Karl Marx.
Alih-alih mewujudkan keadilan dan kemakmuran, pemerintah sosialis Rusia menghasilkan pemerataan kemiskinan, kekuasaan mutlak partai Komunis dan pertumpahan darah akibat perebutan kekuasaan.
Islam dan Komunisme di Indonesia
Jika kita lihat secara makro, posisi Hamka sebagai bagian dari komunitas muslim Indonesia memiliki percaturan yang panas dengan komunisme. Selain perebutan wacana antara Islam dan komunisme, persaingan komunitas muslim dan komunis sampai pada tahap adu fisik dan teror.
Sekalipun umumnya komunitas muslim menentang komunisme, Hamka menyatakan ada sebagian dari golongan umat Islam yang kongkalikong dengan kaum komunis. Bahkan sampai pada taraf membenci sesama muslim sehingga menimbulkan perpecahan. Keterangan ini Hamka jelaskan pada bagian penafsiran Surat Ali Imran [3]: 105 yang memuat pembicaraan mengenai perpecahan dan perselisihan.
Keterangan yang hampir sama kembali Hamka sisipkan dalam penafsiran ayat 119 disurat yang sama. Ia menuliskan,
Dan pada zaman kita terakhir di Indonesia tercatat pula dalam sejarah, ada golongan Islam sendiri sudi bekerjasama dengan kaum komunis karena bencinya kepada sesamanya Islam, di dalam berebut kedudukan dalam pemerintahan, sehingga akhirnya mereka sendiri turut handamkaram bersama komunis itu, seketika kaum komunis dihancurkan rakyat.
Sebagian orang Islam yang bergabung dengan komunis, termasuk di antaraya berstatus pemuka Agama, dalam pandangan Hamka berakar pada padamnya hati sanubari akibat syahwat kekuasaan.
Penyisipan keterangan mengenai komunisme maupun kaum komunis di Indonesia selalu Hamka kaitkan dengan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Misalnya, Hamka menceritakan kegagalan dan kehancuran komunis di Indonesia berkat pertolongan Tuhan sekalipun pada saat itu kaum muslim tidak tahu bagaimana pertolongan-Nya akan datang.
Hamka mengandaikan jika pada saat gerakan 30S PKI para ulama menjadi sasaran pertama sebelum membunuh 6 jendral dan komunis mampu menguasai negara, tentu Agama akan dihancurkan. Gerakan 30S PKI telah menghasilkan konflik berdarah antar elemen rakyat Indonesia dan berkat kekuasaan Allah pertumpahan darah tersebut dapat terhenti.
***
Menariknya, Hamka mengecam aksi pembantaian yang dilakukan kelompok PKI, tetapi juga tidak menyukai aksi balas dendam kalangan umat Islam terhadap pengikut PKI dengan cara balik membantai. Menurut pengakuan anaknya, Rusydi, Hamka merasa muak dengan pembantain tersebut namun ia tidak mampu bertindak banyak karena berada dipenjara.
Hamka memang menempatkan Islam dan Komunisme seperti air dan minyak yang tidak akan bisa bersatu. Hamka menyebutkan bahwa para penganut paham komunis tidak sekedar non-agama tetapi sekaligus membenci segala sangkut paut dengan agama.
Bahkan, Hamka telah mengalami berbagai tuduhan dan preksekusi dari kelompok komunis. Namun, ia tetap berada dalam posisinya yang adil dan bijaksana, melawan pemikiran dan membenci perilaku komunis tidak menjadikan Hamka bertindak zalim terhadap lawan dialektikanya.
Editor: Yahya FR