Tajdida

Restorasi Makna Keislaman (2): Ketulusan dalam Beragama

3 Mins read

Sebelumnya, telah dibahas restorasi makna keislaman melalui semangat Islam Wasathiyah. Jadi menurut M. Din Syamsuddin, hakikat Islam, kerahmatan, dan kesemestaan (rahmatan lil ’alamin), berhubungan secara simbolik dengan semangat zaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan. Pencapaian cita-cita kerahmatan dan kesemestaan (dalam ungkapan lain kemaslahatan untuk semua) sangat bergantung pada penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong kehidupan yang lebih baik, lebih maju.

Dengan demikian, keuniversalan mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal justeru karena mampu menampilkan ide dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.

Islam sebagai Sistem Nilai

Di sinilah peranan Islam dalam era perubahan, yakni mampu menghadapi halangan, tantangan dan hambatan dalam kuatnya arus budaya, modernitas dan globalisasi. Nilai-nilai Islam secara universal tidak hanya berwujud simbolistik belaka, akan tetapi lebih jauh mampu menunjukan keberpihakan pada kemaslahatan umat manusia. Dengan itulah, Islam mampu memberikan kontribusi terhadap perubahan zaman ke arah kemajuan.

Sebab, perubahan akan terus berlangsung sepanjang sejarah umat manusia yang hidup di bawah kolong langit dunia ini. Selain itu, perubahan adalah keniscayaan, maka tergantung sejauhmana umat Islam mampu menunjukan konstribusi positif terhadap perkembangan zaman yang melesit dengan dahsyat tersebut.

Selain itu, watak kemutlakan Islam dapat dipahami, bahwa Islam sebagai agama berdasarkan wahyu Ilahi, Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai kebenaran mutlak (al-haq). Keyakinan ini membawa implikasi bahwa Islam adalah sistem nilai yang mengatasi sistem-sistem nilai lain (ya’ lu wa la yu’la’alaih), dan, bahkan Islam merupakan satu-satunya sistem nilai yang absah, sedangkan yang lainnya adalah absurd.

Sikap pemutlakan  di atas, secara tidak langsung mungkin menafikan kebenaran dari ideologi-ideologi modern serta segala bentuk ide serta lembaga yang melahirkannya. Pada akhirnya, sikap keberagamaan demikian menantang kemodernan dan menantangnya dengan ideologi yang dianggap Islami, baik dengan kembali ke masa lalu mengangkat “Islam sejati” (pristine Islam) seperti yang ditunjukkan oleh puritanisme atau konservatisme Islam, maupun dengan menawarkan “prinsip-prinsip” Islam seperti ditampilkan oleh prinsipalisme atau fundamentalisme Islam.

Baca Juga  Islam Berkemajuan dan Covid-19: Agama Menjadi Solusi Kehidupan

Untuk itulah sangat penting pemahaman Islam Wasathiyah, karena sikap tertutup, ekslusif, apriori dan tidak bersahabat lainnya akan menjadikan Islam dengan wajah yang “garang”.

Ketulusan Beragama

Menurut Ahmad Syafii Maarif, dalam Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah  Refleksi  Sejarah, (Bandung;   Mizan, 2009, h. 272), kunci beragama secara benar adalah ketulusan dan kejujuran.

Pengertian ketulusan dan implementasinya. Berasal dari kata tulus, ketulusan berarti kejujuran, kebersihan, dan keikhlasan. Biasa juga digandeng menjadi tulus ikhlas = suci hati, jujur. Perkataan ikhlas berasal dari bahasa Arab dengan akar kata kh l sh, yang berarti murni, suci, tidak bercampur, bebas. Ikhlash (Arab) berarti pengabdian yang tulus (sincere devotion), ketulusan, kejujuran. Perkataan sincere (Latin: sencerus) berarti suci, dipercaya, bebas dari tipuan dan kepura-puraan, jujur, tulen, murni, dan terus terang.

Ketulusan dalam berbagai bahasa di atas ternyata punya subtansi makna yang sama, di dalamnya terkandung kemurnian, kejujuran, dan kebersihan. Maka beragama yang benar haruslah memuat nilai-nilai pokok itu. Di luar itu, agama tidak lebih dari pertunjukan serimonial yang serba-simbolik, minus substansi.

Spirit yang sangat diharapkan di atas adalah, bahwa umat Islam khususnya dan umat beragama pada umumnya, harus mewujudkan rasa pengabdian pada Tuhan Yang Maha Esa dan pengkhidmatannya pada umat manusia pada umumnya harus dalam watak ketulusan dan kejujuran dengan menyampingkan latarbelakang SARA dan kemajemukan sebagai bangsa.

Bila hati dan pikiran senantiasa dalam ketulusan dan welas asih, maka autentisitas pribadi akan berwujud jiwa yang suci, dapat dipercaya, bebas dari tipuan dan kepura-puraan, jujur dalam kata, hati dan perbuatan, tulen, murni, dan terus terang. Ketulusan dalam berbagai bahasa di atas ternyata punya subtansi makna yang sama, di dalamnya terkandung kemurnian, kejujuran, dan kebersihan.

Baca Juga  Keterbukaan Menjadikan Islam Punya Peradaban yang Maju!

Maka beragama yang benar haruslah memuat nilai-nilai pokok itu. Ketulusan dalam beragama harus benar-benar terasa. Di luar itu, agama tidak lebih dari pertunjukan serimonial yang serba-simbolik, minus esensi: gersang!

Kultur Islam Wasathiyah

Dendam masa lalu, tersudutkan oleh sejarah, dan pandangan dengan “klaim” kebenaran sendiri, menyebabkan umat beragama terkadang menunjukkan sikap intoleran, bergulat dengan lingkaran pemikiran yang formalistik-simbolik. Sehingga energi umat terkuras untuk berwacana tanpa berkesudahan. Sementara, realitas kemiskinan, keterbelakangan, objek penderita dalam derap pembangunan dan globalisasi belum mampu “menggugat” kesadaran untuk bangkit melawan krisis kemanusiaan yang sangat tragis di derita oleh umat.

Selain itu, belum ada sosok pemimpin yang bisa mempersatukan umat dalam “kemajemukan” ormas dan OKP yang banyak. Sehingga masing-masing merasa besar dan merasa superior antarsesama umat. Memang ada usaha untuk bersatu dengan menjalin komunikasi, akan tetapi sering pada kegiatan masing-masing justeru memojok dan “menohok” sesama ormas keagamaan. Inilah wujud ketulusan yang tidak murni. Inilah yang harus dilakukan perubahan ke dalam, supaya antarumat dan internal umat beragama benar-benar menunjukkan watak kaum agamawan yang autentik, suci, murni dan sublim.

Saudara kandung atau saudara kembar ketulusan adalah kejujuran (shidq, honesty, truthfulness). Tanpa kecuali, semua agama mengajarkan kejujuran, sekalipun para penganut agamanya belum tentu jujur. Kejujuran adalah buah iman yang tulus. Ini adalah persoalan hati, bukan kalkulasi otak. Dalam pengalaman sehari-hari tidak jarang kita jumpai teman yang tidak seagama, tetapi kontak hati dirasakan sangat dekat. Mengapa? Karena di sana ada ketulusan, ada kejujuran. Perbedaan iman tidak menjadi penghalang untuk bertautannya dua hati anak manusia itu. Kalau demikian, ketulusan itu memang mahal.( Ibid, h. 274)

Baca Juga  Haedar Nashir: Islam Wasathiyah dan Negara Pancasila bagi Muhammadiyah

***

Cara beragama yang eksklusif, sempit, ekstrim, “klaim” kebenaran dan bentuk lainnya, selain menunjukkan wajah Islam yang “garang” termasuk juga menghilangkan wibawa penganut dan pengikut agama Islam. Namun, apabila sikap inklusif, terbuka, lapang dada, moderat, tengahan, dan welas asih, justru Islam akan dipandang sebagai agama yang membawa kemaslahatan bagi semua umat manusia.

Selain itu, cara pandang yang moderat menjadikan kehidupan antarumat beragama menjadi damai. Sehingga tidak hanya berwujud toleransi antarumat beragama, akan tetapi dapat dibangun kerja sama untuk menyelamatkan umat manusia dari krisis kemanusiaan sebagai sesama insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai sesama warga bangsa Indonesia yang majemuk adanya.

Editor: Nabhan

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds