Review

Kisah 4.000 Tahun Pencari Tuhan dalam Agama-Agama Manusia

3 Mins read

Karen Amstrong telah mengulas secara komperehensif idea atau gagasan mengenai Tuhan. Pada sejarahnya, Tuhan menjadi pembicaraan pokok bagi suatu kehidupan. Karen Amstrong mencoba merakit sejarah tentang Tuhan mulai dari animisme, dinamisme, dewaisme, hingga ketuhanan agama Samawi dan juga termasuk yang berkembang di kalangan pengikut filsafat, misitik dan reformis, yang menjadi persepsi masyarakat sejak mula pertama.

Dalam diskursus wacana filsafat agama, muncul beberapa proposisi argumentatif dengan beberapa karakteristik dalam upaya membuktikan keberadaan Tuhan. Di antaranya adalah argumen ontologis, kosmologis, teleologis, dan argumen moral (Suhermanto Ja’far, 2014: 182). Sementara Karen Amstrong, dalam pencarian Tuhan, ia melalui beberapa pendekatan,  di antaranya; dengan pendekatan agama (kitab suci) dan disiplin berbagai ilmu terutama pada pendekatan antropologi, filsafat, mistik, dan reformis.

Dari gagasan ketuhanan, terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan dan kemajuan manusia. Semua bermuara pada adanya Tuhan Yang Maha Esa dalam konsep yang berbeda-beda antara pemeluk agama Yahudi, Kristen, dan Islam serta pada kalangan failosof, mistikus, dan reformis.

Namun di sini, ia lupa bahwa dalam sejarah manusia, juga terdapat beberapa keyakinan kepada Tuhan. Ada yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu ada (Theisme) dan ada pula yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu tidak ada (Atheisme) (M. Baharudin, 2015: 98).

Karen Amstrong mengulas sejarah Tuhan secara sepihak dan secara khusus hanya untuk meneliti tiga agama besar di antaranya: Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiga agama tersebut berhubungan erat dengan sosok Nabi Ibrahim. Jika dalam agama Yahudi dan Kristen namanya adalah Abraham. Nama ini termaktub di dalam Al-Kitab dan Tanakh. Di sini, Nabi Ibrahim mempunyai kedudukan agung di sisi ketiga agama tersebut.

Baca Juga  Seabad Muhammadiyah Membangun Kesehatan Bangsa
***

Nabi Ibrahim juga disebut-sebut sebagai bapak monotheis seperti yang telah di akui oleh semua agama samawi. Yakni karena telah mengumandangkan “Hai manusia, Tuhan yang kamu sembah adalah Tuhan seru sekalian alam, bukan Tuhan satu ras, bukan Tuhan satu kelompok atau bangsa tertentu”. Demikian juga Profesor Dr. Quraish Shihab yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah “Bapak Ketuhanan yang Maha Esa”.

Dalam sejarahnya, Nabi Ibrahim memiliki dua putra, yaitu Ishaq dan Ismail. Keduanya pun dipilih oleh Allah SWT juga sebagai Nabi seperti bapaknya. Nabi Ishaq memiliki putra bernama Ya’kub yang juga menjadi Nabi yang pada akhirnya menjadi kakek dari Bani Israel yang menjadi garis turun lahirnya Nabi Isa. Namun sebagaimana yang diuraikan oleh Karen Amstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan, pemeluk ketiga agama tersebut memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang ketuhanannya masing-masing.

Pada dasarnya, agama-agama besar itu dalam rentang sejarahnya adalah masih satu rumpun, yakni agama semitik. Oleh sebab itu, antara agama yang satu dengan yang lainnya terdapat suatu keterkaitan, bahkan tak jarang pula mempunyai kesamaan ajaran dan pandangan. Kesamaannya terletak pada nilai-nilai universal yang disampaikan oleh agama Samawi tersebut (Kunawi, 2012: 174). Di sisi lain, Karen Amstrong, kurang tegas dan eksplisit terkait perbedaan dan persamaan ketiga agama besar tersebut, meskipun ia telah mendeskripsikan sejarah agama-agama yang disajikan sangat luas dan mendalam.

Kemudian, untuk usaha pencarian Tuhan di kalangan para failosof sebagaimana buku Sejarah Tuhan, Karen Amstrong mengatakan bahwa jika hanya melalui pendekatan akal, maka akan sia-sia saja dalam melihat Tuhan. Karena hal ini merupakan terkait Dzat, sifat, dan perbuatan Tuhan yang tidak bisa dirasionalkan. Namun, demikan tak kurang-kurang usaha para failosof dalam merenungkan Tuhan. Seperti Al-Kindi yang merupakan failosof muslim pertama, ia mencoba mengungkapkan dalil-dalil tentang keberadaan Tuhan.

Baca Juga  Selimut Debu dan Impian Negara Islam
***

Dengan banyak merujuk kepada pemikiran filsafat Aristoteles, Al-Kindi berusaha tetap konsisten pada ajaran Al-Qur’an sebagai landasan pemikiran filsafatnya. Ia berkeyakinan bahwa filsafat juga berperan penting dalam mendampingi agama. Menurut al-Kindi, kebenaran yang dicari oleh para filsuf tidak berbeda dengan kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW (Abu Bakar Madani, 2015: 111). Dalam membuktikan adanya Tuhan, ia mengemukakan dalil-dalil yang lazim digunakan para Teolog, yakni dalil baharunya alam, dalil keragaman dan kesatuan, dan dalil pengendalian alam dalam keteraturan.

Sayangnya, dalam ulasan buku Sejarah Tuhan, Karen Amstorong justru menolak al-Kindi sebagai seorang filsuf dengan alasan karena tidak sesuai dengan filsafat Yunani yang terkait pada penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo).

Al-Kindi memang berpaling dari pemikiran Yunani serta berpisah dari Aristoteles terkait awal penciptaan alam. Karena, ia mengetengahkan doktrin Al-Qur’an. Al-Kindi memang mengikuti Aristoteles, akan tetapi tidaklah sama persis pemikirannya sama dengannya. Di sinilah sebenarnya letak orisinalitas atau ke-autentikan al-Kindi sebagai seorang failosof (Achmad Khudori, 2016: 50).

Persepsi akan Tuhan akan terus bergulir dalam bentuk siklus keimanan dalam kehidupan.  Akan tetapi, pada akhirnya yang haq adalah yang sesuai dengan firman Allah SWT, yang termaktub dalam kitab suci yang masih autentik diturunkan kepada Rasul-Rasul-Nya.

Tentu akan jauh menyimpang sebuah ajaran jika telah tercampuri oleh kepentingan para pemuka agama, seperti konflik antara kelompok Arius dan kelompok Athanasius dalam ke-Kristenan karena saling menyalahkan kebenaran kitab suci mereka pada tahun 325 Masehi.

Sama halnya aliran kalam dalam tradisi Islam seperti pada pembahasan tentang usaha dan takdir Tuhan. Menurut Karen Amstrong, Al-Qur’an kembali kepada gagasan semitik tentang ke-Esa-an Sang Ilahi dan ia menolak pada gagasan Trinitas Kristiani, yakni Tuhan dapat memperanakkan putra “Isa Al-Masih” atau Yesus dalam agama Abrahamik. Gagasannya sama seperti yang termaktub dalam surah Al-Ikhlas ayat pertama dan ketiga yang berbunyi, “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah Yang Maha Esa. (Allah) Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan”.

***

Sistem nilai tauhid dalam Islam telah terangkum pada sebuah formulasi frase “La Ilaha Illa Allah” yang artinya tidak ada tuhan selain Allah. Pengikraran kalimat tersebut menurut Karen Amstrong bukan hanya sekeder penegasan atas eksistensi Tuhan, tetapi juga sebuah pengakuan bahwa Allah merupakan satu-satunya realitas yang tertinggi dan sejati.

Baca Juga  Mengkaji Ulang Ayat Makkiyah-Madaniyah Lewat Sosiologis-Historis

Wallahu A’lam Bishawab.

Editor: Yahya FR

Muhammad Habibullah
18 posts

About author
Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *