Prof M Amin Abdullah meminjam term Ibrahim Abu Rabi’ dua kategori terminologis: Official Islam dan Oppositional Islam berebut dominan. Dan bagian paling sulitnya adalah merawat ghirah pergerakan. Banyak gerakan mati layu sebelum berkembang
Official Islam saya sebut Islam mapan selalu dikaitkan dengan Muhammadiyah, NU, Persis, Nahdhatul Ummah dan gerakan moderat lainnya yang memberi corak wajah Islam di Indoenesia. Kehadiran FPI merubah wajah Islam (Official Islam) yang tidak didapatkan pada Islam mapan.
Proses dialektik adalah sunatullah. Termasuk Gerakan FPI yang merevisi Official Islam yang dikesankan damai atau dingin yang kemudian lebih dikenal term moderat. Ke depan, FPI bisa saja menjadi arus utama pergerakan Islam konservatif yang memposisikan sebagai lawan. Opositional Islam dalam arti positif.
Arus utama pegerakan Islam bisa berubah dan 212 cukup siginifikan memberi corak dan warna dari yang semula moderat menjadi progresif meski dengan potensi dasar konservatif. Bagaimanapun, 212 masih punya daya pikat meski tak sebesar menjelang Pilpres karena pilihan diksi yang mudah dan sesuai kebutuhan saat itu.
***
Pikiran progresif konservatif inilah yang kemudian menjadi perekat meski bermula dari pergerakan primordial. Konservatifisme inilah yang kemudian menjadi tenaga yang menggerakkan. Saya memang belum tahu, bakal seperti apa gerakan ini ke depan; apakah sukses mendapat bentuk baru atau malah gagal dan ditepikan karena dianggap enemy politik.
Sebagai sebuah pergerakan, 212 masih sangat menarik dan relevan meski mengalami banyak masalah dan perubahan, baik internal maupun eksternal. Sebut saja, belum pulangnya imam besar HRS. Berikut semua masalah yang melekat adalah soal krusial di internal yang terus melemahkan. Pun dengan perubahan peta politik pasca Pilpres 2019 adalah ujian berat terhadap kekokohan dan soliditas ideologi yang di usung.
Tidak sedikit yang mempersepsi 212 sebagai kanal alternatif di tengah buntu. Sebab gerakan Official Islam mengalami kebekuan dan terjebak rutinitas. Pikiran subyektif saya mengatakan demikian meski harus diuji. Pada titik tertentu, kekuatan ideologi Islam mengemuka dan menemukan ruang pada pikiran dan gerakan konservatif progresif 212.
Titik lemah 212 adalah pada aktifitas politik praktisnya yang menurut saya kebablasan. Sekaligus emosional meski dibungkus ghirah. Mestinya, 212 menjadi milik umat Islam dengan tidak membedakan golongan atau manhaj dan bukan gerakan partisan dan berpihak pada partai politik tertentu.
Bagaimanapun, ini adalah tantangan sekaligus ikhtiar membangun model gerakan Islam natural dan generik dan melepas diri dari kepentingan politik kekuasaan yang melelahkan. Saya tetap berharap 212 menjadi episentrum pergerakan Islam yang melampaui. Selamat reuni.