Sebelumnya, tidak pernah terbayang bahwa gerakan 212 dan serial demonstrasi yang sesudahnya akan terus berlanjut. Serial demonstrasi yang dilakukan untuk menentang Ahok dan mengafirmasi keputusan MUI yang dilakukan oleh GNPF-MUI pada tahun lalu tampaknya terus berlanjut. Modusnya masih sama, yaitu pengalangan massa di berbagai daerah untuk berkumpul di Masjid Istiqlal atau Monas, di Ibu Kota Negara, Jakarta. Dalam aksi masa tersebut, beberapa tokoh politik dan kegamaan akan bergantian memberikan orasi. Sebagian tokoh berbicara masalah normatif tentang kebangsaan, sebagian lain menyampaikan tuntutan mereka yang lebih spesifik.
Dalam reuni 212 2018 kali ini, modelnya pun sama. Yang berbeda adalah tokoh-tokohnya sebagian sudah berganti. Tentu narasi yang dibangun pun tidaklah seluruhnya sama dengan aksi yang serupa setahun lalu. Yang paling kasat mata adalah, sosok yang berbicara dalam forum 212 tahun lalu dan reuni 212 kali ini, peran kehadiran tokoh agama yang duduk di altar dan memberikan orasi. Dulu, tampak sekali Kyai Ma’ruf Amien berada di panggung utama. Waktu itu, beliau masih menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia dan sosok yang paling berperan dalam memberikan putusan tentang kasus Ahok.
Kini, Kyai Ma’ruf yang statusnya saat ini adalah Calon Wakil Presiden untuk mendampingi Ir. Joko Widodo di Pemilu tahun depan (2019) tidak tampak dalam forum tersebut. Habib Rizieq Shihab adalah tokoh lain yang tidak hadir pada reuni kali ini. Setelah memimpin serial demonstrasi menentang Ahok dan gerakan 212 serta variannya. Rizieq Shihab “memilih” tinggal di negara Saudi Arabia setelah diterpa masalah tuduhan kasus yang berbau pornografi.
Narasi dan wacana yang dibangun dan dikembangkan pada saat gerakan 212 tahun lalu dan kali ini, tentu agak sedikit lain auranya dengan ketidakhadiran HRS secara fisik dan ketidakhadiran Kyai Ma’ruf Amien. Meskipun semangat yang dibangun mungkin tidak berganti, yaitu sebuah perubahan iklim politik di Indonesia.
Pasca Gerakan 212 yang pertama, kita tahu bahwa muncul varian gerakan yang melibatkan jumlah massa lebih kecil, yaitu gerakan 2019 Ganti Presiden yang dikelola oleh aktor-aktor yang juga menjadi bagian dari 212. Berbeda dengan gerakan yang 212, tampaknya unsur keislaman gerakan 2019 Ganti Presiden tidak terlalu kental, meskipun orang-orangnya dari kalangan yang sama.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa Monas dan Jakarta? Apakah gerakan 212 dan reuni sesudahnya akan konstelasi politik baru yang mengubah komposisi politik kepartaian? Apakah gerakan 212 dan reuni-reuninya merupakan gerakan protes semata ataukah sebuah gerakan politik yang terkait dengan perebutan kekuasaan?
Gerakan 212 Bukan Gerakan Protes?
Tahun lalu, ketika membaca gerakan 212 yang pertama dan dua demonstrasi yang sesudahnya, saya masih membacanya sebagai sebuah gerakan protes (protest movement). Sebuah gerakan protes muncul sebagai bentuk kekecewaan dan sikap resistensi yang dibangun terhadap sebuah rezim politik yang kebijakan-kebijakannya dianggap “tidak sesuai harapan” atau sebagai bentuk preservasi terhadap harapan masa lalu pemrotes yang tidak terpenuhi. Kita tahu, pada pemilihan presiden tahun 2014, jarak perolehan suara antara Jokowi dan Prabowo tidaklah terlalu besar (53.15% berbanding dengan 46.85%). Tapi, sifat dari sebuah gerakan protes, biasanya instan, tidak berjangka panjang, dan berhenti bila sudah terpenuhi tuntutannya, baik sebagai atau keseluruhan. Namun, tampaknya melabeli gerakan 212 sebagai gerakan protes tidaklah cukup. Pasalnya, gerakan terus menggelinding dan menyentuh isu-isu politik lain yang lebih besar, yaitu masalah kepemimpinan nasional.
Bisa kita bandingkan, misalnya, dengan kekecewaan-kecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah atau perilaku politik dalam konteks lokal? Sepengetahuan saya, tidak banyak aksi demonstrasi besar yang digelar di sebuah provinsi atau kabupaten betapapun mereka kecewa dengan kebijakan gubernur atau walikota/bupati ataupun kekecewaan yang sangat ketika para anggota dewan dan para bupatinya ketangkap tangan oleh KPK atau dituntut oleh Kejaksaan karena kasus korupsi. Tidak banyak pula aksi demonstrasi yang terus menerus ketika seorang politisi yang menjadi “jagoan” atau calon dari kelompok-kelompok partai yang kalah dalam pemilihan gubernur dan bupati. Satu dua demonstrasi protes terhadap keputusan KPU di provinsi dan kapubaten memang terjadi. Tapi, tidak ada yang serial!
Mungkin ada gerakan protes lain yang bisa menjadi pembanding dari gerakan 212, yaitu gerakan protes yang dilakukan mahasiswa dan gerakan gerakan yang digelar buruh. Gerakan protes yang digelar oleh mahasiswa dalam bentuk aksi bisa dilihat di hampir semua rezim politik. Namun, umumnya aksi protes mahasiswa mengangkat isu yang spesifik, mislanya kekecewaan terhadap pemerintah yang menaikan harga BBM dan listrik, pendampingan terhadap kaum petani atau warga masyarakat yang lahannya tergusur, atau korupsi yang kasat mata dilakukan oleh seorang pejabat, dan sebagainya. Salah satu demonstrasi atau aksi serial yang dilakukan organisasi kemahasiswaan di Indonesia yang paling mudah kita ingat terjadi pada masa rezim Orde Baru, sampai bermuara menjadi sebuah “revolusi damai dan konstitusional” dengan turunnya Presiden Suharto. Demikian halnya dengan aksi para buruh atau pekerja di Indoensia dan bahkan di seluruh dunia. Aksi demonstrasi digelar setiap tahun seiring dengan hari Hari Buruh Internasional setiap 1 Mei. Tuntutannya pun tidak berubah, seperti meningkatkan kesejahteraan buruh, upah minimum regional (UMR), dan regulasi perburuhan. Pasti, ada beberapa aksi buruh lainnya yang digelar, tetapi intensitasnya tidak sama dengan May Day (Hari Buruh Internasional).
Saat ini, ketika membaca fenomena 212, saya tidak lagi menggunakan perspektif aksi protes. Tetapi pada saat yang sama tidak bisa sepenuhnya menggunakan apa yang disebut oleh sosiolog Asef Bayat dengan gerakan yang merepresentasikan “power-seeking political parties”, meskipun di dalam 212 banyak aktor dari partai yang terlibat. Setidaknya, saya belum dapat memahami kekuasaan politik seperti apa yang dicari. Saya juga agak sulit atau pesimis melabeli gerakan 212 dan variannya sebagai “gerakan sosial” (social movement) yang bisa konsisten dan bertahan puluhan tahun dengan tujuan yang sama. Apalagi membaca 212 dengan sebuah “gerakan revolusi”, saya masih sangat ragu, meskipun jumlah massanya disebut-sebut berjumlah jutaan. Apalagi militer tidak berada dalam sisi yang sama dengan 212. Inilah tantangan bagi akademisi seperti saya untuk memahami apa yang terjadi.
Bila kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada saat “Musim Semi” di beberapa negara di Timur Tengah (Arab Spring) yang berujung pada revolusi, konflik terbuka, atau jatuhnya sebuah rezim politik, seperti yang terjadi di Tunisia, kemudian Libya, Mesir, Yaman, Syiria dan lain-lain, tentu yang terjadi di Indonesia saat ini eskalasinya berbeda. Hampir bisa dipastikan, gerakan ini tidak akan bermuara pada sebuah revolusi. Demonstrasi atau aksinya melalui proses yang legal, berizin polisi, diorganisasi oleh sebagian elit-elit partai politik, ormas-ormas keagamaan, dan bahkan dihadiri oleh pejabat baik gubernur, dan aksi sebelumnya bahkan dihadiri oleh Panglima TNI. Yang menarik adalah, bila dulu Presiden Joko Widodo sempat ikut hadir pada salah satu aksi massa, kali ini panitia menyatakan tidak mengundang Presiden. Karena itulah, mungkin fenomena 212 ini bisa saya sebut dengan gerakan protes tanpa revolusi (protest movement without revolution). Istilah itu saya pinjam dan modifikasi dari apa yang digambarkan oleh Asef Bayat tentang fenomena di Iran dan Mesir dalam artikelnya, “Revolution without movement, movement without revolution”. Aksi-aksi serial yang terkait 212 merupakan sebuah aksi untuk memberikan “pesan” kepada rezim yang berkuasa dan sebuah arena konsolidasi kekuatan politik di luar jalur kepartaian yang normal.
Monas dan Okupasi Ruang Publik
Mengapa Monas (Monumen Nasional) menjadi arena pertemuan ini? Dan apakah akan terus berlanjut sampai menjelang pemilihan presiden tahun 2019? Akankah terjadi desentralisasi kekuatan mobilisasi massa untuk aksi semacam ini di tingkat provinsi atau kabupaten? Yang kita tahu, Monumen Nasional (Monas) adalah simbol perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Monas bukan semata punya ruang publik yang luas, melainkan juga nilai historis yang bisa menjadi klaim bagi seluruh masyarakat Indonesia dari unsur apapun. Meskipun penggunaan Monas untuk kegiatan aksi bernuansa keagamaan baru dilakukan oleh kaum Muslim, setidaknya dalam beberapa dasawarsa ke belakang. Karena itu, penggunaan Monas untuk sebuah aksi massa yang bernuansa politik, pastinya membutuhkan lobi dan daya tawar yang kuat dari penyelenggara.
Saya melihat bahwa penggunaan Monas dan ruang publik lainnya sebagai arena untuk melakukan aksi protes atau ekspresi politik adalah sesuatu yang sangat wajar. Semua gerakan demonstrasi yang digelar, baik mahasiswa, buruh dan lain-lain, pastinya akan berusaha untuk berada dalam jantung negara, seperti Monas. Namun, tentu akses untuk itu tidak bisa sembarangan, karena perlu bargaining yang kuat. Bahkan, aksi buruh dan aksi mahasiswa pun, sangat terbatas untuk bisa digelar di Monas.
Tapi untuk menggelar aksi massa di banyak tempat, tidaklah mudah dan murah. Presiden Jokowi bisa turun ke daerah “kapan saja” dan ke mana saja. Posisinya sebagai petahana (incumbent) Presiden Republik Indonesia tentu memberikan keuntungan baginya untuk dapat menyapa dan berkunjung ke daerah-daerah, mulai peresmian program pembangunan, sampai penyerahan secara “simbolik” bantuan negara kepada institusi atau kelompok masyarakat. Peresmian masjid, kampus, penyerahan SK, pembagian sertifikat adalah beberapa kegiatan yang bisa memfasilitasi Presiden untuk turun ke bawah. Tentunya fasilitas negara juga tidak terlepas dari itu. Setiap daerah atau tempat yang dikunjungi akan melibatkan birokrasi negara, mulai kepolisian, TNI, dan pejabat negara di tingkat provinsi atau kabupaten. Bahkan, sebagai seorang Presiden, kunjungan Jokowi ke daerah-daerah akan mendapatkan penghargaan dari para ketua adat dan birokrasi di daerah.
Adanya gap (jarak) dalam kesempatan penggunaan fasilitas birokrasi antara petahana dan penantangnya, setidaknya akan berpengaruh pada cara penggunaan proses mobilisasi massa. Saya mengibaratkan bahwa ratusan kelompok relawan Jokowi yang telah dibentuk di berbagai daerah, akan mendapatkan perlawanan model kelompok relawan yang sifatnya lebih cair dan modal terbatas. Keterbatasan seperti ini akan mendorong kelompok-kelompok yang di luar birokrasi, khususnya yang anti Jokowi untuk menggunakan ruang-ruang publik sebagai arena untuk konsolidasi dan mempreservasi sentimen dan komitmen pilihan mereka, seperti ruang-ruang pengajian umum, aksi-aksi sporadis, perkumpulan-perkumpulan lainnya yang non-birokratik atau tidak mendapatkan dukungan birokrasi. Sifat massa 212 dan reuni 212 yang cair, lintas partai dan lintas ormas tentunya akan mengoptimalkan ruang-ruang non birokratik yang mereka miliki, yaitu ruang publik. Tantangan itu, akan dimanfaatkan dan dioptimalkan sedemikian rupa menjelang pemilihan Presiden tahun 2019. Yang akan kita tunggu bersama adalah, seberapa kuatkah kekuatan penggalangan massa seperti ini melawan kekuatan politik birokrasi? Dalam konteks di Indonesia, kekuatan politik lewat birokrasi memang sangat kuat dan efektif, tetapi bukan berarti selalu berhasil. Tergulingnya Soeharto dari tahta kepresidenan, kalahnya Fauzi Bowo pada Pilgub DKI, dan kalahnya Ahok di Pilgub DKI adalah contohnya.
Menguatnya politik massa tentu akan berpengaruh pada keberadaan partai politik. Dalam sistem Pemilu saat ini, hampir semua partai politik masuk menjadi “relawan” dari kedua calon presiden. Partai-partai politik akan berebut pengaruh dan berebut peran dengan relawan-relawan calon presiden, dan hal ini akan menimpa bukan hanya partai-partai kecil, tetapi juga mungkin partai-partai besar. Dengan kata lain, power-seeking political parties yang saat ini berusaha keras untuk memupuk eksistensi partainya, akan akan bersaing dengan gerakan politik non-partai dalam melakukan konsolidasi dan penggalangan suara dan pengaruh.
*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial