Ekofeminisme V; Pandemi Covid-19, Resiliensi, dan Regenerasi Kapitalisme adalah judul buku setebal 488 yang ditulis berdasarkan fakta di lapangan dan data yang kuat. Mayoritas penulis adalah perempuan, pun tiga editornya adalah perempuan.
Ada 22 tema tulisan dalam buku ini, sekalipun terbit tahun 2021, namun tema-tema yang dibahas sangat relevan dengan pengalaman kita sehari-hari, terutama saya sebagai laki-laki. Salah satu tema menarik yang dibahas tentang “Redefinisi Tafsir “Nafkah” dan “Perjuangan Perempuan di Akar Rumput” yang ditulis oleh Yulianti Muthmainnah dan Revoluna Zyde Khaidir.
Melalui tulisan ini, penulis mencoba mengubah pola pikir masyarakat pasca modernism, bahwa nafkah bukan hanya kata khusus yang hanya dapat disandingkan dengan kata laki-laki. Saat dunia memasuki era pandemi, banyak perempuan yang justru menjadi tulang punggung keluarga karena suaminya di PHK dari pekerjaannya.
Seperti Roro Iswati, seorang perempuan tangguh asal Lamong Jawa Timur. Ia harus bekerja sebagai pedagang sayur daring, kemit masjid, serta membuka jasa setrika baju demi kelangsungan hidup keluarga besarnya (ayah, ibu, suami, anak dan adiknya) yang tinggal serumah dengannya.
Begitu juga dengan perempuan tangguh lain yang biasa dipanggil Mbok Sih. Ia adalah seorang janda dua anak yang merantau demi merubah nasib hidupnya. Ia bekerja sebagai karyawan di pondok pesantren Al Islah Segandandung serta berjualan es lili demi menambah pengahasilan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Selain figur wanita tangguh seperti Roro dan Mbok Sih, ada juga Mpok Nur Wati yang akrab disapa Nur. Ia adalah wanita berusia 53 tahun yang tinggal di wilayah Depok, Jawa Barat. Ia adalah pedagang sayur keliling di daerah Serua, Bojong Sari.
Menurut Tan Malaka, bangsa yang tangguh lahir dari kondisi alam yang menuntu untuk bekerja keras dalam hidup. Begitu juga dengan ketiga wanita tangguh ini. Mereka bertiga adalah sosok yang terus berjuang untuk hidup meski kini tak mendapat nafkah dari sang suami.
Oleh karena alasan tersebutlah maka Yulianti Muthmainnah dan Revoluna Zyde Khaidir merasa perlu mendekontruksi kata nafkah serta melakukan pendokumentasian wanita tangguh indonesia, karena pada faktanya banyak perempuan yang berada diakar rumput yang justru menjadi kepala keluarga.
Dari ketiga contoh di atas dapat ditemukan 4 nilai utama. Pertama, tanggung jawab. Meski ditengah kondisi pandemi, mereka tetap merasa bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kedua, kepedulian. Mereka sangat peduli pada orang yang dicintai dan dikasihinya meski terpapar covid menjadi taruhan. Ketiga, membangun rasa saudara. Bagi Mpok Nur pembeli tidak hanya raja yang harus dilayani, tetapi seperti saudara yang mesti dijaga tali persaudaraannya. Keempat, kejujuran.
Selain itu, tulisan ini merupakan sebuah kritik atas ketidakberpihakan pemerintah terhadap perempuan terhadap Undang – Undangan Pajak Penghasilan pasal 8. Pasal ini secara klasik masih menganut sistem keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis. Sehingga memunculkan konsekuensi bagi istri yang bekerja, maka pajaknya lebih tinggi karena diasumsikan para istri telah diberi nafkah oleh suami.
Tindakan ini jelas merugikan hak-hak perempuan. Sehingga penulis berusaha memberi gagasan baru. Bahwa seharusnya pasal ini menggunakan prinsip kesetaraan gender bukan sistem keluarga.
Tulisan ini juga berusaha menghilangkan stereotipe yang menyatakan bahwa wanita adalah makhluk yang diciptakan untuk mengurusi segala kebutuhan rumah tangga saja. Sehingga mereka tak pantas untuk menjajakan kakinya dalam pekerjaan sektor publik.
Padahal, sejak dahulu telah dikisahkan betapa luar biasanya perempuan bernama Balqis, sang raja dari tanah Saba’, yang berhasil memakmurkan rakyatnya. Begitu juga Khadijah sang istri Nabi Muhammad SAW yang merupakan saudagar kaya di zamannya.
Begitu juga dengan kisah inspiratif yang dilakukan Muhammad Yunus dengan Grameen Banknya. Ia dan seluruh tim yang berisi perempuan tersebut berhasil mengentaskan kemiskinan yang melanda Negeri Bangladesh.
Di luar daripada itu, tulisan ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru bagi para suami dan istri yang kini sedang menempuh pendidikan di ITB Ahmad Dahlan melalui program sarjana desa agar bijak dalam mengatur rumah tangga.
Pada bagian kesimpulan, penulis memberikan beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan redefinisi kata nafkah. Pertama dengan melakukan perubahan pada kontruksi bahasa, kebijakan negara dan pemahaman agama. Kedua, melakukan pelatihan, seminar dan ceramah agama tentang gender. Ketiga, membuat program yang dapat menyentuh para penceramah agar mengerti tentang permasalahan gender.
Dari argumentasi yang dibangun oleh penulis demi meredefinisi makna nafkah maka ada beberapa hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang paling menonjol adalah argumentasi tentang realita perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, akan tetapi dalam poin ini penulis cenderung tidak proporsional dengan tidak menceritakan dari sisi laki-laki tangguh.
Selain itu, cara penulis membangun argumentasi dari fakta menuju data hingga didukung referensi yang kuat disajikan dengan cara tahap demi tahap. Kekurangan paling menonjol dalam tulisan ini adalah kelugasan bahasa yang digunakan, masih banyak kata yang sebetulnya bisa dibuang.
Tulisan ini adalah tulisan yang berhasil, karena semua pesan yang tersirat maupun tersurat dapat tersamaikan dengan baik kepada pembaca. Tulisan ini juga mencoba memberi gagasan baru terhadap makna nafkah di era modern.
Editor: Yusuf