Setiap pemikiran manusia itu selalu berbeda-beda, bahkan memang segala perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Maka sebelum saya paparkan penjelasan mengenai buku Sains Religius Agama Saintifik, saya ingin menegaskan bahwa tulisan ini adalah sebagian dari pemahaman saya setelah saya membaca buku tersebut. Artinya bukan berarti semata-mata pemahaman saya itu benar atau juga salah, tetapi relatif dari sisi mana sudut pandang kita melihat.
Di dalam buku Sains Religius Agama Saintifik ini, Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla ingin mencoba menyatukan antara sains dan agama. Dari realitas yang ada, banyak dari kalangan mencoba untuk memisahkan antara sains dan agama. Kalimat yang perlu kita telaah di pendahuluan adalah,
“Belakangan kita dapati klaim bahwa metode ilmiah sebagai satu-satunya metode perolehan pengetahuan mendapatkan gugatan yang serius.”
Konteks tersebut dapat kita lihat dari beberapa kejadian. Seperti di saat adanya pandemi ini, banyak orang Indonesia yang tidak percaya dengan sains “ilmu kedokteran”. Ketika pemerintah dan juga dokter, angkat bicara untuk tidak melaksanakan salat berjamaah di masjid saat masih pandemi. Malah ditentang dengan mengatakan kalau hidup dan mati itu sudah takdir Allah Swt. Jadi kalau sudah waktunya, ya kita tidak bisa menghindar. Cara berpikir keliru ini adalah motivasi Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla menerbitkan buku ini.
Sains Religius Agama Saintifik: Sains dan Agama adalah Satu Kesatuan
Jika kita melihat tulisan beliau di awal terkait ekstremis agama sudah lumrah. Ekstremisme sains waduh. Di situ beliau mengatakan bahwasanya, “…sains itu mengandung kebenaran itu sudah pasti. Bahkan sains banyak sekali mengandung kebenaran, khususnya jika dikaitkan dengan ihwal alam empiris dan pragmatis. Saya tidak ragu sama sekali untuk mengatakan bahwa manusia tidak akan pernah hidup sebagai manusia sebaik ini tanpa sains.“
Di sisi lain, Haidar Bagir tidak hanya memasukkan data-data terkait kebaikan-kebaikan dari sains dan agama, tetapi juga beliau memasukan data terkait keburukan agama dan sains dengan upaya bahwa memang antara keduanya itu seharusnya tidak boleh saling menafikkan.
Seperti kutipan di buku tersebut, bahwa: “Dawkins, seorang ahli biologi yang menulis banyak buku yang menolak agama, namun daftar referensi yang dibacanya tanpa memasukkan buku filsafat agama.”
Jelas, sifat yang tidak objektif adalah sebuah kesalahan besar. Hal yang perlu diperhatikan ketika kita ingin menulis buku adalah mencantumkan beberapa referensi dari kalangan pemikir.
Contohnya ketika kita ingin menulis tentang Syiah, kita juga harus mengutip buku-buku dari orang-orang Syiah. Begitu juga sebaliknya. Jika ingin menulis tentang Sunni, kita juga harus mengutip buku yang ditulis orang orang Sunni. Artinya, kita harus objektif dalam menanggapi segala hal.
Selain itu, kutipan Haidar Bagir yang perlu kita renungi,
“Di sinilah repotnya, di satu sisi kita kewalahan dengan pengikut agama yang mau menang sendiri dan mengafir-ngafirkan sains dan filsafat, tetapi di sisi lain kita dapati ada juga pemuja sains yang menafikan filsafat dan membodoh-bodohkan pemikiran agama.“
Menurut saya, kutipan tulisan ini sangat penting sekali kita renungi. Sebab, tidak sedikit orang yang tidak ingin tahu tapi menyalahkan, dan tidak mau tahu untuk tercerahkan.
Semua di dunia ini memang sikapnya relatif. Ada yang menganggap kebenaran menjadi sebuah kesalahan, dan ada juga yang menganggap kesalahan sebagai kebenaran.
Namun, semakin banyaknya kerelatifan tersebut, akan sangat sulit untuk menyatukan manusia.
Sains Modern Penyumbang Ilmu Terbanyak
Dalam buku Intimations of Reality, Peacoks menggambarkan sains dan agama sebagai suatu entitas yang memiliki persamaan dan perbedaan, dan relasi antara keduanya terjadi hanya dalam tataran intelektual. Hal ini didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa manusia saat ini sedang menjalani hidupnya dalam konteks lain. Artinya, segala pola pikir dan tingkah laku manusia dalam hidupnya telah dikuasai oleh cara pandang lain terhadap dunia.
Kutipan yang menarik saya baca juga adalah, “Feyerabend dan Thomas Kuhn menunjukan bahwa setiap aliran sains ditentukan oleh paradigma yang dipakai oleh saintis atau masyarakat ilmiah yang memperkenalkan suatu teori dalam sains. Pandangan-pandangan seperti ini mendemonstrasi bahwa situasi dan kondisi historis sosiologis, budaya, dan psikologis suatu masyarakat menentukan arah kebenaran kemudian dikodifisasi sebagai sains yang diandaikan bersifat obyektif maka dikatakan sains itu relatif juga.”
Sains itu tidak juga selalu benar, sebab terkadang kala ada dari beberapa masyarakat yang juga mempengaruhi kegiatan sains. Adakalanya untuk mencoba mendeskripsikan sebuah keadaan yang ada atau wujud memang harus berpangkal juga pada pola pikir atau rasionalitas.
Kemudian dari sisi inilah bahwa saya mengatakan antara empirisme serta rasionalisme itu harus sama-sama memperkuat dan seimbang, agar terjadinya pola pikir yang objektif.
Ketidaksinambungan antara empirisme dan rasionalisme akan membuat beberapa dampak pada cara pola pikir yang ekstremisme. Kejanggalan berpikir inilah yang tanpa sadar kita lihat bahwa manusia sudah ada pada problematika pribadi.
Rezeki, Takdir, dan Al-Qur’an sebagai Petunjuk
Ketika manusia sudah mengalami keadaan seperti ini, biasanya akan sangat sulit untuk tercerahkan, dengan sikap yang merasa benar sendiri serta sulit untuk menerima Ilmu baru yang masuk.
Padahal jika kita kendati pada sains dan agama ini sebenarnya awalnya tidak seganas ini. Namun, karena seiring perkembangan zaman dan semakin banyak pemikir, munculnya konflik itu sudah menjadikan biasa dan lumrah.
Saya juga tertarik dengan argumen Haidar Bagir pada prakata penulis. Di situ beliau mengatakan, “…pada nasehat ilmu kedokteran dalam hal protokol pencegahan penularan dan lebih memilih untuk pasrah kepada tuhan. Mereka bahkan lebih memilih untuk berkerumun dalam melakukan ibadah-ibadah berjamaah dengan berpendapat bahwa kalau tuhan mau mereka tidak tertular, pasti tidak tertular. “
Dalam pembicaraan mengenai konteks takdir itu, bukan semata-mata kita tidak ada usaha. Kalau saya analogikan, itu sama saja seperti kita hidup di dunia dengan material kaya atau miskin. Sudah ditakdirkan rezekinya oleh Tuhan, tapi dengan hal itu bukan berarti lalu kita tidak mau bekerja, tidak mau berusaha dan lain-lain. Artinya memang Tuhan punya skenario yang lebih bagus untuk kita, maka skenario itulah yang perlu kita muliakan dengan cara berusaha.
Malah yang seharusnya terjadi adalah sains itu dapat membantu kita untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar sumber utama untuk manusia. Dan juga sebaliknya, Al-Qur’an juga dapat memberikan petunjuk bagi para sains dengan tata caranya yang baik.
Manusia Membutuhkan Agama dan Sains!
Pada dasarnya, cara kerja sains adalah mencari hubungan sebab akibat atau mencari pengaruh suatu terhadap pengaruh yang lain.
Sains tidak memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tak sopan, indah atau tidak Indah, sains hanya memberikan nilai benar atau salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan ada orang yang menyangka bahwa sains itu netral.
Walaupun begitu juga, ilmu di dunia ini relatif. Seperti ilmu sains, terkadang juga banyak hal-hal yang masih banyak perselisihan maupun perdebatan. Contoh dalam hal teori-teori tentang sains masih banyak yang diperdebatkan.
Didalam penyataan Haidar Bagir, beliau mempertegas bahwa, “Saya ulangi sekali lagi apa yang sudah saya sampaikan sejak awal: sains modern dalam segenap kerapuhannya yang sebenarnya normal saja, telah menyumbang amat banyak kepada manusia.”
Pada intinya bahwa memang segala hidup manusia selalu membutuhkan sains, namun juga tidak bisa dipungkiri juga bahwa manusia senantiasa membutuhkan agama. Kedua hal ini seharusnya tidak bisa dipisahkan karena saling berterikatan.
Editor: Zahra