Jika ada lembaga yang lebih dari enam dekade bergerak dalam penasihatan perkawinan dan keluarga, itulah Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan yang populer disingkat BP4. Dalam Anggaran Dasar-nya ditegaskan BP4 adalah organisasi profesional yang bersifat sosial keagamaan sebagai mitra kerja Kementerian Agama dan institusi terkait baik pemerintah maupun nonpemerintah dalam mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Riwayat BP4
Berdirinya BP4 yang dirintis pertama kali sejak 1954 oleh H.S.M. Nasaruddin Latif pada waktu itu Kepala Kantor Urusan Agama Kotapraja Jakarta Raya (setingkat Kanwil sekarang) dan ARHATHA (Abdurrauf Hamidy) Kepala Kantor Urusan Agama Provinsi Jawa Barat, dilatarbelakangi tingginya angka talak dan cerai. Statistik talak dan cerai di tanah air tahun 1950-an mencapai 500.000 kasus per tahun atau rata-rata 55 persen dari jumlah pernikahan setiap tahunnya.
Organisasi yang menjadi cikal bakal BP4 yaitu Seksi Penasihat Perkawinan pada Kantor Urusan Agama Kotapraja Jakarta Raya dan disempurnakan menjadi Panitia Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (P5) terbukti bekerja secara efektif sebagai pendamai perselisihan rumah tangga untuk mencegah terjadinya perceraian sepanjang persoalannya belum dimajukan ke Pengadilan Agama. Langkah tersebut berhasil menekan angka perceraian secara signifikan di Ibukota Jakarta khususnya dan diikuti daerah lain di Indonesia.
Pembentukan BP4 sebagai organisasi berskala nasional dengan keputusan Menteri Agama terhitung mulai 3 Januari 1960 bertujuan untuk mempertinggi nilai perkawinan, mencegah perceraian sewenang-wenang, dan mewujudkan susunan rumah tangga yang bahagia sejahtera sepanjang tuntunan Islam. Selain itu ditegaskan, dalam melaksanakan tugasnya BP4 bekerja sama dengan Kantor Urusan Agama (KUA).
Dalam perjalanan sejarahnya BP4 ikut berperan mendorong lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Selama satu dasawarsa BP4 menyuarakan aspirasi umat Islam, yaitu memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan hingga terwujud di awal tahun 1974.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditegaskan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketahanan Keluarga di Indonesia
Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam, maka ketahanan keluarga muslim menjadi barometer ketahanan keluarga Indonesia. Begitu pula meningkatnya angka perceraian di kalangan keluarga muslim cerminan rapuhnya kehidupan keluarga bangsa Indonesia. Dokter H. Ali Akbar dalam buku Merawat Cinta-Kasih (1975) mengemukakan, “…usaha membina rumah tangga, membahagiakannya dan menyelamatkannya dari keruntuhan berarti menyelamatkan dan membahagiakan negara.”
Setelah lebih dari empat dasawarsa pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, bangsa Indonesia dihadapkan dengan tingginya angka perceraian. Letak permasalahannya bukan pada undang-undang perkawinan, tetapi pada perubahan dalam masyarakat yang mempengaruhi ketahanan keluarga.
Beberapa tahun terakhir, lonjakan angka perceraian cukup memprihatinkan yaitu 23,82 persen tiap tahun dari rata-rata angka pernikahan. Kondisi ini mirip dengan keadaan di masa lampau, namun BP4 ketika itu mampu dan berhasil menekan angka perceraian. Penyebab konflik rumah tangga dan perceraian dewasa ini memiliki dimensi yang lebih kompleks dibanding di masa lampau.
Menteri Agama Fachrul Razi pada Pengukuhan Pengurus BP4 Pusat masa bakti 2019 – 2024 mengatakan, “Sebuah fakta yang cukup mencengangkan, di daerah-daerah yang selama ini dikenal dengan masyarakatnya yang agamis, terjadi peningkatan angka perceraian yang signifikan. Hal itu menandakan betapa kemajuan teknologi informasi digital di era Revolusi Industri 4.0 dan pola komunikasi ala smartphone tanpa edukasi yang baik, bisa melahirkan generasi yang miskin etika dan miskin dengan penghayatan nilai kehidupan berkeluarga.”
Pergeseran nilai-nilai budaya, pola pikir dan struktur ekonomi di masyarakat berdampak pada kearifan keluarga dalam mengelola dan mengatasi konflik. Di masa lampau, apabila terjadi perselisihan antara suami-istri, maka kerabat, tetangga dan teman turut merasa bertanggungjawab terhadap keberlangsungan kehidupan perkawinan yang mengalami masalah.
Perceraian di Era Modern
Dalam masyarakat agraris-tradisional, perceraian menyebabkan seseorang kehilangan kehidupan sosialnya. Tetapi dalam kehidupan modern dengan tersedianya berbagai pelayanan di luar keluarga, perceraian tidak menyebabkan seseorang kehilangan kehidupan sosialnya. Pergeseran pola hidup masyarakat dari struktur kekeluargaan extended family (keluarga besar) kepada struktur nuclear family (keluarga kecil), keluarga konjugal atau sering disebut keluarga batih atau keluarga inti, juga menjadi salah satu faktor risiko terhadap ketahanan keluarga.
Menurut sebuah penelitian, masalah sosial, seperti munculnya kenakalan remaja, kecanduan narkoba, penyimpangan perilaku dan kelainan orientasi seksual pada anak, sebagian ditemukan berkaitan dengan pelarian dari persoalan dalam keluarga.
Kebahagiaan dan kasih sayang di tengah keluarga dan bersama orangtua yang utuh adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli dan tidak tergantikan dengan apa pun. Sebuah ungkapan melukiskan; harta yang paling berharga adalah keluarga, istana yang paling indah adalah keluarga.
Menurut konsultan dan penasihat perkawinan BP4 Pusat, Hj. Zubaidah Muchtar dalam Kapita Selekta Cinta Perkawinan dan Keluarga (2018), berbagai faktor yang dapat menyebabkan perselisihan dan perceraian, antara lain: (1) masalah moral-akhlak, seperti tak ada kejujuran, judi, minuman keras dan perzinaan, narkoba, perselingkuhan, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transeksual), KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), dan lain-lain. (2) Gangguan pihak ketiga, seperti mertua, ipar, pembantu rumah tangga, anak tiri, ibu tiri/ayah tiri, dan lain-lain, mungkin juga rekan kerja. (3) Ekonomi rumah tangga, suami tak bertanggungjawab dalam nafkah, tidak adanya keterbukaan antara suami dan istri dalam hal keuangan. (4) Tidak ada restu orangtua dalam pernikahan. (5) Perbedaan dalam agama dan ideologi. (6) Perpoligamian illegal atau nikah siri. (7) Masalah pembagian harta gono-gini/harta waris. (8) Perbedaan usia yang sangat jauh antara suami dan istri, tidak memperoleh keturunan dalam pernikahan, dan sebagainya.
Ancaman Keutuhan Perkawinan
Permasalahan yang menjadi ancaman bagi keutuhan perkawinan tidak hanya dalam lingkup hubungan antara suami-istri. Dalam waktu belakangan munculnya kasus-kasus sengketa waris menunjukkan betapa fondasi kekeluargaan masyarakat Indonesia tergerus bahaya materialisme dan individualisme.
Perubahan sosial harus dikelola dalam rangka mengantisipasi efek samping yang merugikan keberlangsungan masyarakat. Kita tidak menginginkan masa depan bangsa ditopang oleh generasi tuna moral, rendah kepekaan sosial, dan tidak mampu menyelenggarakan kehidupan keluarga dengan baik.
Pengalaman yang ditulis Zubaidah Muchtar yang telah puluhan tahun sejak 1980 sampai kini menjadi konselor perkawinan dan keluarga patut direnungkan. Bila pasangan suami dan istri yang bermasalah datang ke BP4 untuk berkonsultasi sebelum ke Pengadilan Agama, alhamdulillah apa yang menjadi sengketa dapat dipecahkan dan perkawinan yang diambang cerai dapat diselamatkan.
Tetapi bila mereka telah mendaftarkan gugat cerai di Pengadilan Agama, pada galibnya sulit untuk didamaikan, meski hakim dalam sidang pertama meminta pihak penggugat dan tergugat datang kepada mediator seperti BP4 untuk didamaikan.
Mengapa susah dirukunkan kembali? Setelah ke pengadilan, hubungan suami dan istri nuansanya menjadi lain karena sudah dalam posisi sebagai penggugat dan tergugat. Pada umumnya karena faktor gengsi dan harga diri, jarang penggugat mau berdamai atau tergugat menolak gugatan cerai. Kendati ada yang berhasil didamaikan dengan cara mencabut gugat cerai, tetapi jumlahnya lebih sedikit dibanding yang diputuskan cerai oleh hakim Pengadilan Agama.
Tantangan Rapuhnya Keluarga
Rapuhnya ketahanan keluarga adalah tantangan serius yang memerlukan respons secara tepat dan sistematis, terutama oleh BP4 dan Kementerian Agama. Respons secara tepat dan sistematis yang dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan kualitas dan intensitas bimbingan, penasihatan dan konseling keluarga.
Kementerian Agama memiliki program bimbingan perkawinan pranikah di setiap KUA. Program tersebut dapat dilaksanakan bekerjasama dengan BP4. Sebagai upaya mitigasi perceraian, ada baiknya Mahkamah Agung membuat kebijakan bahwa dalam pendaftaran gugat cerai di Pengadilan Agama terlebih dahulu melalui prosedur penasihatan dan mediasi oleh BP4.
Organisasi BP4 di semua tingkatan harus diperkuat dan diberdayakan sebagai lembaga yang profesional. BP4 perlu memasifkan program kursus dan bimbingan pranikah dan pasca nikah, baik secara tatap muka maupun melalui media online yang bisa diakses secara lebih luas.
Satu hal yang pasti, peran dan tugas BP4 di bidang bimbingan perkawinan bagi calon pengantin dan konseling keluarga, baik sebelum menikah maupun setelah berumah tangga, memerlukan dukungan dari pemerintah. Terutama Kementerian Agama dan penguatan basis kerjasama dengan semua institusi terkait, baik pemerintah, ormas-ormas Islam, organisasi profesi, perguruan tinggi dan sebagainya.
Salah satu langkah revitalisasi BP4 ialah transformasi kelembagaan menjadi lembaga pemerintah non-struktural di lingkungan Kementerian Agama. Penguatan kelembagaan BP4 menjadi lembaga pemerintah non-struktural di bawah Kementerian Agama, artinya BP4 secara formal dibina dan bertanggungjawab kepada Menteri Agama, layak dipertimbangkan. Untuk mewujudkan hal itu perlu dukungan politik dari lembaga legislatif dan instansi terkait serta menyiapkan payung hukumnya seperti Peraturan Presiden.
Meningkatkan Status BP4
Pilihan atau alternatif mengembalikan BP4 kepada khittah awal sebagai lembaga semi-resmi di lingkungan Kementerian Agama atau meningkatkan status kelembagaannya sebagai lembaga non-struktural patut menjadi pertimbangan dalam rangka optimalisasi peran BP4 ke depan. Ketahanan keluarga dewasa ini menjadi isu nasional dan kita sedang berpacu dengan waktu.
Kementerian Agama adalah leading sector di pemerintahan yang memiliki peran strategis untuk mengawal isu ketahanan keluarga. Pemberdayaan BP4 merupakan hal strategis bagi masa depan bangsa dan kini momentum yang tepat untuk mengambil langkah.
BP4 telah memiliki infrastruktur organisasi mulai dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan yang merupakan modal organisasi untuk berperan lebih optimal. BP4 perlu membuka pusat-pusat pelayanan keluarga dan mendirikan semacam akademi manajemen rumah tangga.
Pembinaan perkawinan dan ketahanan keluarga sebagai tema sentral kehadiran BP4 harus dikawal dan diadvokasi menjadi program prioritas pembangunan nasional. Keberhasilan peran dan tugas BP4 ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana pelayanan serta media informasi dan komunikasi yang menghubungkan BP4 dengan publik.
***
Dalam buku BP4 Pertumbuhan & Perkembangan (1977), H.S.M. Nasaruddin Latif, yang dikenang sebagai “Bapak BP4”, sewaktu pelantikan pengurus BP4 Pusat periode pertama tahun 1961 menegaskan bahwa badan semacam BP4 ini diperlukan keberadaannya di samping badan-badan sosial lainnya dan di samping adanya Undang-Undang Perkawinan yang sangat diharapkan dan dinantikan.
Undang-Undang Perkawinan saja belum cukup untuk menjamin 100 persen keteguhan perkawinan dan kebahagiaan kehidupan berkeluarga. Di negara-negara lain yang sudah memiliki Undang-Undang Perkawinan seperti Amerika Serikat, angka perceraian masih tinggi. Justru karena itulah mereka berusaha mengadakan badan-badan nasihat perkawinan sebagai suatu “approach” yang dipandang bermanfaat bagi keteguhan dan kesejahteraan keluarga.
Semoga Allah SWT memberkahi semua perjuangan dan melindungi segenap keluarga Indonesia.
Editor: Nabhan