Dalam kondisi apapun, yang namanya rezeki akan selalu dicari oleh seluruh umat manusia. Tulisan ini sedikit mengulas pengalaman penulis terkait mencari rezeki di masa pandemi. Yang jelas, rezeki akan selalu ada.
Rezeki Akan Selalu Ada
Selama sepuluh tahun belakang, siapa yang tak mengenal taksi Blue Bird? Taksi yang mempunyai cabang di hampir seluruh kota besar Indonesia. Salah satunya kota penulis, Surabaya. Suatu kebetulan, pool atau pangkalan taksi ini jaraknya tak jauh dari rumah penulis. Hanya berkisar 100 meter.
Bukan hanya menjadi tetangga, hubungan penulis dan pangkalan taksi Blue Bird lebih dari itu. Warung keluarga penulis menempel di tembok depan pangkalan tersebut dengan jarak 5 meter dari pintu gerbang. Sejak pangkalan berdiri, sekitar tahun 1997 sampai saat ini, tempat itu adalah sumber penghidupan keluarga penulis.
Sabtu, 30 Mei lalu, penulis kaget ketika mendengar kabar dari sang ayah bahwa taksi tutup. Rasa kaget itu, sebelas dua belas ketika adanya kabar Glen Fredly dan Didi Kempot tutup usia. Ada rasa tak percaya yang secara otomatis memunculkan kalimat “lho iyo ta?”, dan dilanjut “kok iso?”. Tetapi, tentu saja dua pertanyaan tersebut hanya mampu dipendam sendiri. Takut menambah beban pikiran sang ayah.
Meski demikian, tanpa jawaban dari sang ayah, penulis sebenarnya sedikit paham mengapa hal ini terjadi. Persaingan dengan ojek dan taksi daring membuat pendapatan para sopir menurun. Ditambah lagi dengan datangnya pandemi COVID-19. Lengkap sudah penderitaan mereka. Lalu di mana letak kebenaran ungkapan “rezeki akan selalu ada?”
Beralih Profesi
Walau banyak yang belum bisa move on, banyak pula sopir menemukan pintu rezeki lain. Ada yang alih profesi menjadi penjual masker, memanfaatkan situasi pandemi. Ada juga yang produksi kerupuk dan menitipkannya ke warung. Ya, meski sebagian besar memang memilih pekerjaan dengan jobdesk tak jauh dari pekerjaan sebelumnya. Menjadi pengemudi taksi daring misalnya.
Sejatinya, penutupan pangkalan taksi ini tak berdampak langsung kepada pengemudi. Mereka masih bisa pindah ke pangkalan lain yang lebih strategis. Justru, yang lebih terkena dampaknya adalah para pemilik warung di sekitar pangkalan. Entah bagaimana kelanjutan warung-warung tersebut. Begitu juga dengan warung keluarga penulis. Pernah penulis menanyakan hal ini kepada sang ayah. Jawabannya sungguh di luar ekspektasi, ditertawakan.
“Ojo mikir adoh-adoh. Rejeki iku wis ono sing ngatur,” (jangan berpikir jauh-jauh, rezeki itu sudah ada yang mengatur) ungkap sang ayah saat itu.
The World of The Marriage Kearifan Lokal
Menyoal rezeki, tak akan pernah jauh dari dinamika perkeluargaan. Akhir-akhir ini, sedang ramai dibicarakan, sebuah drama dari Negeri Gingseng. The World of The Marriage, sebuah drama Korea Selatan (drakor) yang menceritakan kehidupan keluarga setelah kedatangan orang ketiga.
Sama persis dengan apa yang dialami teman penulis, seorang ibu beranak tiga. Dia bercerai dengan sang suami karena suaminya kepincut orang ketiga. Sebelas dua belas dengan drakor tersebut. Bedanya, kalau di drakor sang istri adalah seorang dokter berpenghasilan tinggi, teman penulis adalah seorang ibu rumah tangga.
Kala bercerai dengan suaminya, seakan akan pintu rezekinya tertutup. Meski demikian, ada pepatah menyatakan bahwa “Ketika satu pintu rezeki tertutup, pasti pintu rezeki lain akan terbuka”. Kejadian teman penulis sangat relate dengan pepatah tersebut. Kabar terakhir yang diperoleh penulis, bahwa sang ibu tersebut sedang mencari pegawai tambahan untuk usaha sinom yang dirintisnya mandiri.
Membuka Pintu Rezeki
Tak hanya drakor dengan kearifan lokal Indonesia. Ada sebuah cerita menarik dari teman penulis. Meski terdengar sedikit absurd dan tak masuk akal, cerita ini benar-benar terjadi. Teman penulis yang mengalami kecelakaan kerja di sebuah pabrik. Dua jari tangan kanannya putus, dan terpaksa diberhentikan oleh perusahaan. Pekerjaan yang dilakukannya memang pekerjaan kasar yang membutuhkan orang dengan jumlah jari lengkap.
Hampir enam bulan berjalan, teman penulis belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Ia terpaksa kerja serabutan. Apapun akan dilakoni untuk sekedar menjaga agar dapurnya tetap ngebul. Seolah kurang, berita kematian datang dari kakak iparnya. Seminggu sebelum hari raya Idulfitri kemarin. Diduga terkena kanker, entah kanker apa.
Nyatanya, berita mengagetkan tak hanya itu saja. Sang kakak ternyata mengasuransikan dirinya sendiri. Dan coba tebak siapa ahli warisnya? Yup, satu-satunya anak perempuan teman penulis. Uang pertanggungannya tak main-main jumlahnya. Di atas 200 juta benar-benar membuat teman penulis menjadi OKB atau Orang Kaya Baru.
Jadi, sepertinya kita memang harus setuju dan yakin dengan kalimat “Ketika satu pintu rezeki tertutup, pasti pintu rezeki yang lain akan terbuka”. Memang, mungkin akan muncul skeptisisme bahwa di masa pandemi dan keterpurukan ekonomi mustahil ada pintu rezeki lain terbuka. Atau mungkin pertanyaan dimana menemukan pintu rezeki yang lain?
Terhadap skeptisisme dan pertanyaan tersebut, penulis hanya bisa menjawab tidak tahu. Yang bisa anda dan penulis lakukan hanyalah percaya bahwa pintu itu ada. Haqqul Yaqin pokok’e wes. Anda, penulis, dan kita semua hanya perlu untuk mencarinya dengan lebih giat dan lebih sabar. Setujukah?
Editor: Sri/Nabhan