IBTimes.ID – Tradisi tahlilan adalah sebuah tradisi umum yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam rangka mengenang peristiwa kematian. Tahlilan diyakini oleh masyarakat Jawa sebagai simbol keagamaan dan integrasi sosial.
Berbeda dengan kebanyakan warga Muhammadiyah yang menolak tradisi tahlilan, mayoritas warga Muhammadiyah di Ploso justru masih meyakini dan mempertahankan tradisi tahlilan sebagai warisan turun-temurun. Hal ini sebagaimana hasil penelitian Fransisca Aprilia, “Motif Sosial Tahlilan Masyarakat Muhammadiyah Ploso, Surabaya Jawa Timur” dalam bentuk skripsi Universitas Negeri Surabaya (2022). Praktik tahlilan masyarakat Muhammadiyah Ploso terdiri dari tiga konsep, yakni perkumpulan, isi bacaan tahlil, dan perjamuan.
Masyarakat Muhammadiyah di Ploso
Muhammadiyah seringkali dianggap anti tradisi dan tak jarang dinilai bersebarangan dengan budaya yang ada di masyarakat Jawa. Ini anggapan umum yang seringkali terdengar di telinga saat membicarakan Muhammadiyah dan tradisi tahlilan. Sebab gerakan Muhammadiyah diidentikkan dengan upaya membasmi segala bentuk TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Khurafat) yang ada di masyarakat.
Tapi benarkah semua orang Muhammadiyah itu tidak tahlilan? Fakta di lapangan jelas Fransisca, menunjukkan tidak seluruh anggota Muhammadiyah Ploso menolak tradisi dan budaya lokal. Muhammadiyah yang dikenal anti tradisi dan budaya Jawa, nyatanya tidak bisa menghilangkan unsur-unsur budaya Jawa sepenuhnya. Dimensi Jawa ternyata masih sangat menonjol dalam gerakan masyarakat Muhammadiyah.
Muhammadiyah dikenal dengan organisasi Islam dengan jumlah anggota terbanyak di Indonesia. Sekitar 50 juta jumlah warga Muhammadiyah dari jumlah total penduduk Indonesia. Mereka tersebar di seluruh wilayah di Indonesia, dari perkotaan hingga pedesaan. Bahkan, kini Muhammadiyah sudah mengepakkan sayap organisasinya ke ranah dunia. Ini bisa dilihat dari banyaknya Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) yang banyak berdiri di berbagai negara di dunia.
Dari banyaknya pengikut atau anggota Muhammadiyah, keberagaman wajah setiap individu dari daerah masing-masing anggota Muhammadiyah menjadi sebuah keniscayaan dan tak bisa dihindari, salah satunya keberagaman wajah masyarakat Muhammadiyah Ploso.
“Artinya, wajah warga Muhammadiyah tidak seragam melainkan beragam. Keberagaman tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan dan dan motif pribadi yang melatarbelakangi individu menjadi anggota Muhammadiyah,” ungkap Fransisca.
Mengutip Najib Burhani dan Munir Mulkhan, dalam penelitian Fransisca juga menemukan wajah masyarakat Muhammadiyah Ploso yang tidak homogen, melainkan heterogen.
Pertama, Al-Ikhlas. Kelompok ini tipe pengikut yang kaku, karena konsisten dalam mengamalkan ideologi Muhammadiyah. Mereka enggan masuk ke lingkungan masyarakat Muhammadiyah Ploso yang masih melaksanakan tradisi.
Kedua, Kiai Dahlan. Kelompok ini masih menaruh toleransi terhadap tradisi. Mereka tidak menyelenggarakan tahlilan, tapi sering menghadiri undangan tahlilan.
Ketiga, Muhammadiyah-NU (Munu). Kelompok ini memiliki pola hubungan yang sosial yang terbuka, sehingga bisa mengikuti dan menyelenggarakan tahlilan.
Keempat, Marhaenis Muhammadiyah (Marmud). Kelompok ini meyakini dan menyelenggarakan tahlilan dengan tujuan memperoleh keselamatan.
“Mereka juga menyebutkan beberapa alasan mengapa masuk ke Muhammadiyah, di antaranya; keturunan, lingkungan, pernikahan, dan pendidikan,” terang Fransisca.
Tahlilan Warga Muhammadiyah Ploso
Bagi masyarakat Jawa, berkumpul dalam suasana suka dan duka adalah sebuah jati diri mereka. Kebiasaan berkumpul ini dilakukan sebagai bentuk empati sosial kepada sesama sembari berdoa bersama. Hal ini tercermin dalam tradisi tahlilan warga Muhammadiyah Ploso.
Perkumpulan dalam tradisi tahlilan Muhammadiyah Ploso dilaksanakan setelah shalat Isya. Dimana para warga Muhammadiyah Ploso berbondong-bondong untuk meringankan beban keluarga yang berduka.
Bagi warga Muhammadiyah Ploso, berkumpul dalam tahlilan memiliki nilai gotong royong, yaitu berbagi dalam kesusahan. Tradisi berkumpul ini sebagai wujud kebersamaan dan meningkatkan ikatan persaudaraan antar warga.
Jika pada umumnya tahlilan dilaksanakan di rumah, namun ada sisi yang unik dan menarik yang ditemukan oleh Fransisca, dimana beberapa tradisi tahlilan warga Muhammadiyah Ploso tidak diselenggarakan di rumah duka, melainkan memilih masjid milik Muhammadiyah. Begitupun dalam hal undangan, mereka tidak mengundang secara personal, tapi menyerahkan kepada pengurus masjid untuk menyiapkan jamaah tahlil.
Kendati demikian, kata Fransisca, tradisi tahlilan warga Muhammadiyah Ploso tidak sama sekali terpaku pada siklus kematian, seperti tujuh hari, empat belas hari dan seterusnya. Namun mereka melaksanakan tahlilan tanpa patokan yang baku. Hal ini dilakukan karena harus menyesuaikan kemampuan masyarakat, sehingga tidak merasa terbebani.
Adapun dalam isi bacaan tahlilan, Fransisca menjelaskan, isi bacaan tahlil warga Muhammadiyah Ploso cenderung lebih singkat daripada bacaan tahhlil masyarakat Jawa pada umumnya.
Dalam penelitiannya menyebutkan, ada beberapa isi bacaan tahlil warga Muhammadiyah Ploso, di antaranya; Tawasul (shalawat yang ditujukan kepada Nabi Muhammad), surat Yasin, tiga surat pendek (Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas), Kalimat Tahlil, Kalimat Tasbih, Kalimat Tahmid, Kalimat Takbir dan kirim doa.
Di akhir acara, akan diakhiri dengan ceramah tentang takdir kematian yang akan dialami oleh setiap individu, sehingga bisa terus-menerus berbuat kebajikan selagi masih hidup.
Kemudian dalam hal perjamuan, warga Muhammadiyah Ploso melaksanakan perjamuan ketika memperingati hari kematian, seperti setiap malam selama tujuh hari. Perjamuan dalam tahlilan ini identik dengan pemberian berkatan.
Namun lagi-lagi ada yang berbeda, Fransisca dalam artikel ilmiahnya menyampaikan, bahwa konsep berkatan warga Muhammadiyah Ploso sangat berbeda dengan konsep berkatan orang Islam Jawa pada umumnya.
Menurutnya, warga Muhammadiyah Ploso memberikan berkatan lebih sederhana, sehingga tidak mengharuskan makanan yang disedekahkan dalam tahlilan mengandung simbol-simbol kepercayaan terhadap leluhur atau roh halus. Sebab warga Muhammadiyah Ploso membuang semua praktik-praktik mistis dan takhayul yang terdapat dalam pelaksanaan tahlilan.
Berbeda dengan ajaran Muhammadiyah yang mengharamkan perjamuan dalam tahlilan, namun warga Muhammadiyah Ploso justru meyakini bahwa, memberi jamuan dalam tahlilan termasuk sedekah yang menjadi amal jariyah bagi yang meninggal.
Motif Sosial Tahlilan Masyarakat Muhammadiyah Ploso
Setidaknya ada dua motif yang melatarbelakangi tindakan tradisional pelaksanaan tahlilan oleh masyarakat Muhammadiyah Ploso.
Pertama, motif sebab. motif sebab. Warga Muhammadiyah Ploso masih mempertahankan dan melaksanakan tradisi tahlilan antara lain disebabkan; latar belakang keluarga, keyakinan, dan lingkungan.
Keterikatan keluarga dengan tradisi Jawa, permintaan keluarga, kepatuhan, dan rasa menghormati para leluhur, kebiasaan masyarakat, enggan dianggap melupakan tradisi, serta keyakinan mengenai nilai-nilai keselamatan yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi.
Kedua, motif tujuan. Pelaksanaan tahlilan Muhammadiyah Ploso memiliki tujuan tertentu, seperti memperoleh keselamatan dan kebaikan dalam hidup, sebagai ekspresi budaya, menguatkan solidaritas sosial, menunjukkan dharma bakti kepada orang tua, serta harmoni sosial yang mampu mengurangi sikap individualisme.
“Merasa memiliki kewajiban moral melestarikan tradisi tahlilan, adanya perbedaan asal daerah menjadikan pemikiran masyarakat Muhammadiyah Ploso tidak kaku dan saling membantu, mengharapkan keselamatan dan kebaikan dalam hidup, rasa hormat kepada amanat orang tua, berusaha menghilangkan rasa individualisme pada masyarakat perkotaan, menaruh rasa toleransi kepada masyarakat yang mengerjakan tahlilan dengan mau hadir menghadiri undangan tahlil,” tegas Fransisca.
Jadi, ada dua motif mengapa warga Muhammadiyah tahlilan. Motif sebab yang mendasari masyarakat Muhammadiyah Ploso melaksanakan tahlilan adalah latar belakang keluarga yang terikat dengan tradisi Jawa, keyakinan mengenai nilai-nilai dalam tahlilan, dan lingkungan yang mayoritas masih mempertahankan tradisi tahlilan. Sementara itu, motif tujuan masyarakat Muhammadiyah Ploso melaksanakan tahlilan adalah bentuk ekspresi budaya, solidaritas sosial, wujud berbuat baik dan berbakti kepada orangtua, mengharapkan keselamatan diri, harmoni sosial, dan bentuk toleransi terhadap masyarakat yang masih melaksanakan tahlilan.
Adanya empat tipologi masyarakat Muhammadiyah Ploso menjadi bukti bahwa wajah warga Muhammadiyah tidaklah satu alias banyak dan beragam. Dimana ada kelompok yang masih erat memegang tradisi tahlilan sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan, tapi ada juga kelompok yang anti dengan tradisi tahlilan karena dianggap bagian dari TBC. Inilah wajah Muhammadiyah, yang tak seragam melainkan beragam.
Editor: Soleh