Akeh kang apal Qur’an Hadist e Seneng Ngafirkeh marang liyane Kafir e dewe Ga’ di gatekke
Syiir Tanpo Waton (Gus Dur)
Begitulah sepenggal lirik syiir tanpo waton yang ditulis oleh K.H. Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur. Maknanya kurang lebih menyindir orang yang hafal Al Qur’an serta Hadist akan tetapi dalam perilakunya sehari-hari seperti tidak mencerminkan sebagai penghafal Al Quran dan Hadist. Yaitu justru malah mengkafirkan saudaranya sendiri, akan tetapi sifat kekafiran atau kefasikan dalam dirinya tidak diperhatikan. Syair Gus Dur itupun saya kira relevan dengan konteks Pilpres 2024 kali ini.
Pemilihan presiden (Pilpres) 2024 yang sedianya diselenggarakan pada 14 Februari, sudah dalam hitungan hari. Pasangan capres-cawapres telah resmi mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mereka pun sudah mengumbar janji dan visi di atas panggung debat. Walaupun debat pilpres 2024, masih jauh dari kata “ideal”. Antar capres terlihat cenderung “banyak nyinyirnya” ketimbang mengadu gagasan mereka. Seiring dengan semakin dekatnya Pilpres, suhu politik di Indonesia pun semakin meningkat. Politik yang selama ini dipahami sebagai perbuatan muamalah, tidak fanatik dan berkeadaban justru berkebalikannya. Terlihat bengis, penuh intrik-culas serta menebar kebencian dengan saudara sendiri.
Pilpres Jualan Agama
Salah satu fenomena yang menarik untuk diamati adalah semakin kuatnya sentimen keagamaan dalam Pilpres 2024. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang membela capres pilihan mereka dengan sepenuh hati, layaknya membela agama mereka. Saya sedikit gamang dan gemas dengan beberapa tweet di X maupun pesan yang bersliweran di Whatsapp Group (WAG) yang mengatakan bahwa, bila memilih atau mendukung salah satu capres dianggap haram, atau lebih ekstrimnya dilabeli kafir. Lagi-lagi sentimen yang mengatasnamakan agama tersebut mencuat kembali. Walaupun kalimat “cebong” dan “kampret” sudah hilang, akan tetapi ujaran-ujaran seperti haram dan kafir di atas masih membuat telinga saya memerah.
Sebenarnya sentimen agama dan politik elektoral dibentur-benturkan di negri +62 bukan hal yang baru. Peristiwa Pilgub DKI Tahun 2017, dan juga peristiwa kasus penistaan Ahok yang menjebloskan ia ke jeruji penjara, menjadi tanda bahwa warga negara kita masih belum bisa mendudukkan mana yang memang konteksnya kepercayaan atau agama, mana yang konteksnya adalah siasat atau politik. Akhirnya, politik yang seharusnya diletakkan dalam konteks siasat atau muamalah, dianggap sebagai sebuah kepercayaan atau ideologi yang harus ditaati oleh seluruh elemen masyarakat, menggunakan standar yang dibuat secara objektif pula.
Ada beberapa faktor dan pengaruh yang menyebabkan agama dan politik elektoral selalu dibenturkan dan dipolarisasi di negara tercinta kita dalam sajian berikut:
Pengaruh Agama
Agama dalam kepercayaan di Indonesia, agama mengajarkan bahwa manusia harus memiliki keyakinan yang kuat terhadap sesuatu. Keyakinan ini kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hal politik. Masyarakat yang memiliki keyakinan kuat terhadap agamanya, cenderung memiliki keyakinan kuat terhadap capres pilihan mereka. Ditambah lagi dengan dalil-dalil yang mengharuskan taat pemimpin yang adil, yang kemudian ditafsirkan secara sepihak, bahwa pemimpin yang dalam penilaian golongan tersebut “tidak adil”, maka tidak perlu dan bahkan dihindari untuk dicoblos. Hal itu yang kemudian mendorong adanya narasi jika memilih calon ini akan mendapatkan pahala, jika memilih calon yang itu artinya menabung kedzaliman di kemudian hari.
Pengaruh Media
Media massa seringkali menyajikan pemberitaan politik dengan cara yang dramatis dan sensasional. Hal ini dapat membuat masyarakat merasa bahwa politik adalah sesuatu yang penting dan harus diperebutkan. Kebiasaan masyarakat awam yang hanya menyandarkan informasi berdasarkan “menurut infonya” dan “menurut katanya”, semakin membuka pintu-pintu tersebarnya berita hoax dan provokatif. Media juga tidak jarang telah dibayar dikondisikan untuk menggiring opini masyarakat. Jelas jika hal ini tidak diantisipasi dengan edukasi. Media boleh independent, tapi tidak boleh mempolarisasi informasi.
Pengaruh Tokoh Politik
Tokoh politik sering kali menggunakan agama untuk menarik simpati masyarakat. Hal ini dapat membuat masyarakat memandang politik sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan agama. Terlebih masyarakat kita masih belum siap sepenuhnya dapat menyaring informasi dengan baik. Banyak yang masih menerapkan kebiasaan “sendika dawuh” terhadap ucapan tokoh politik panutannya. Apalagi jika dibarengi dengan amplop isi rupiah warna merah, Chuarks. Tentu seluruh politisi seyogyanya selain memang berkampanye untuk dirinya sendiri dan juga capresnya, hendaknya tidak ikut serta memprovokasi masyarakat serta menyampaikan ujaran-ujaran kebencian maupun black campaign, terlebih mengatasnamakan agama.
Terakhir, urusan capres ini hanya berlangsung lima tahunan. Sedangkan pertemanan, persahabatan, kekeluargaan itu jangka panjang. Tidak mungkin to, kekeluargaan atau pertemanan disamakan dengan masa pilpres yang lima tahunan itu. Masak teman atau ada saudara yang hanya berlaku dalam kurun waktu setiap lima tahunan. Udah gitu bela capresnya sampai urat lehernya terlihat. Yang bener aja, rugi dong!