Buku Robert W. Hefner, Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, pada dasarnya ingin memotret tren baru pendidikan Islam di era kontemporer serta ragamnya pertumbuhan politik pendidikan Islam di Asia Tenggara. Buku ini secara garis besar menggambarkan perkembangan politik pendidikan Islam di Asia Tenggara. Khususnya negara yang mayoritas Muslim, seperti di Malaysia (60%) dan Indonesia (87,8%). Ditambah dengan negara minoritas Muslim, seperti di Thailand Selatan, Filipina, dan Kamboja.
Pendidikan Islam Asia Tenggara
Salah satu asumsi dasar penulisan buku ini berangkat dari kekhawatiran menguatnya spirit jihadisme ke dalam kurikulum sekolah. Hefner menganalisis tipologi pendidikan Islam kontemporer diberbagai kawasan Asia Tenggara. Pembahasan juga memuat upaya umat Islam dalam menghadapi isu terrorisme dengan tetap mempertahankan dan mengajarkan ajaran agama dalam menghadapi era modern. Karya ini berhasil membuktikan:
pertama, perkembangan pendidikan Islam berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh letak geografis, budaya masyarakat, hingga politik yang memengaruhi adanya perbedaan tersebut.
Kedua, perkembangan sekolah khususnya di Indonesia dipahami sebagai social movement yang tidak hanya berhasil mendidik siswa, namun juga membentuk jaringan “ideologi sosial” yang kelak akan berpengaruh terhadap transformasi sosial, bahkan pembangunan nasional.
Dalam buku tersebut, misalnya Kraince mengkategorikan pendidikan Islam di Malaysia menjadi dua macam; (1) pendidikan Islam tradisional yang sangat dan lebih mendominasi, dan (2) madrasah yang dikembangkan secara modern. Kemudian di Thailand Selatan, tipologi pendidikan Islam menurut Liow dikategorikan menjadi dua macam juga, yaitu (1) Center for Islamic Learning atau pusat pembelajaran Islam, dan (2) Pondok Educational Improvement Program.
Selanjutnya di Kamboja menurut Blengsli, pendidikan Islam di Kamboja dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu (1) pondok, dan (2) madrasah. Di Filipina, tipologi pendidikan Islam menurut McKenna dan Abdula dikategorikan menjadi dua, (1) Pandhita School, dan (2) Madrasah.
Adapun pada kasus di Indonesia, Hefner mengklasifikasi tipologi lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu: (1) pengajian Al-Qur’an, dikhususkan untuk membaca dan menghafal al-Qur’an, namun belum kepada pemahaman; (2) pondok pesantren, lembaga untuk mengkaji dan mendalami paham keIslaman, dan (3) madrasah sebagai sekolah modern yang sudah dilengkapi dengan fasilitas, seperti adanya kelas, meja, papan tulis, dan lain sebagainya.
Pendidikan Islam di Indonesia
Pesantren di Indonesia merupakan lambang keberhasilan pendidikan Islam di Asia Tenggara yang mampu mempertahankan sistem pendidikannya. Namun sekitar tahun 1910an, pesantren mulai mengalami perubahan dengan mengadopsi sistem pendidikan sekolah. Pada perkembangan sekolah Islam di Indonesia menurut Hefner, sejak tahun 1900an memiliki kesamaan dengan dengan teori politik “gerakan sosial”.
Gerakan sosial ini tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga membentuk jaringan ideologi sosial yang kelak akan berpengaruh terhadap transformasi sosial, bahkan negara. Sebagai contoh, gerakan sosial pada sekolah binaan PKS dan Hidayatullah yang memiliki pengaruh terhadap kurikulum ajaran masing-masing lembaga. Tidak hanya dari sisi ideologis, pada tataran politik pun sekolah menjadi objek untuk mengembangkan perannya sebagai gerakan sosial. Kelak akan menghasilkan generasi yang berkembang sesuai dengan ideologinya.
Dalam kasus di Indonesia, upaya lain yang berkembang khususnya dalam Sekolah Islam adalah munculnya Sekolah Islam Terpadu (SDIT) dari berbagai jenjang, mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah. Ada juga madrasah salafi yang memiliki corak wahabisme, yakni dipelopori oleh salafi Wahabi dari Timur tengah yang memiliki kurikulum khas tersendiri. Perkembangan sekolah Islam di atas semakin memperkuat bahwa dari sisi ideologis, Asia Tenggara memiliki hubungan erat dengan Timur Tengah.
Hal yang perlu digarisbawahi menurut Hefner adalah, semenjak tahun 1990, masih ada beberapa sekolah yang masih menerapkan sistem tradisional dan jauh dari perkembangan dan campur tangan politik dan masyarakat. Hanya sedikit dari mereka yang mengikuti contoh dari figur Abu Bakar Ba’asyir yang berambisi untuk merevolusi negara dan masyarakat. Generasi sekolah Islam yang berkembang bahkan kebanyakan lebih mengajarkan tentang apa yang lebih dibutuhkan untuk membangun negara dan masyarakat yang damai.
Islam dan Nasionalisme
Awal abad ke-21 ini masih ada gerakan yang menyatakan bahwa nasionalisme bertentangan dengan Islam, seperti halnya yang digaungkan oleh Persatuan Islam (Persis). Walaupun sekolah yang mereka bina tidak mengajarkan mengenai kekerasan, namun kebanyakan mengajarkan bahwa nasionalisme bukanlah tepat untuk dijadikan dasar negara. Paham ini kemudian dikembangkan dengan munculnya partai politik Islam Hizbut Tahrir yang awalnya dimulai dari sejarah munculnya Darul Islam (DI) 12 yang berpegang teguh dan ingin membangun negara Islam di Indonesia.
Pesantrennya Abu Bakar Ba’asyir merupakan salah satu pesantren yang menerapkan paham tersebut. Sehingga kurikulum yang digunakan pun bersifat radikal. Namun Ba’asyir dan Sungkar pada dasarnya bukan penganut radikal, tetapi konservatif modernis. Hal ini karena mereka merupakan lulusan dari pesantren Gontor yang menganut kurikulum modern, dan pesantren al-Mukmin yang konservatif. Namun menurut Hefner, lulusan pesantren Ngruki dan al-Mukmin ini tidak seluruhnya bersikap radikalis dan menentang nasionalisme.
Dari hasil penelitiannya pada tahun 2003, dari tujuh siswa lulusan pesantren tersebut, lima di antaranya tidak bersikap radikal dan tidak tertarik untuk bergabung pada kelompok yang ingin menegakkan negara Islam. Menurut Hefner, hal ini menyiratkan bahwa masyarakat Islam Indonesia memang meyakini bahwa syari’at Islam merupakan petunjuk dari Tuhan yang perlu ditegakkan. Namun jika dihubungkan dengan golongan radikalis dan penerapan hukum Islam secara keseluruhan, masih banyak di antara mereka yang memilih menggunakan politik hukum demokrasi di Indonesia.
Editor: Nabhan