Bayt al-Hikmah adalah sebuah perpustakaan yang terkemuka pada masa daulah Abbasiyah. Banyak ilmuan tersohor yang belajar dan melakukan penelitian di sana. Perpustakaan yang dibangun di kota Baghdad tersebut menjadi simbol kemajuan intelektual dalam sejarah Islam. Dalam Capital Cities of Arab Islam, Philip K. Hitti menyebut Baghdad sebagai kota intelektual
Sejarah mencatat bahwa perpustakaan Bayt Al-Hikmah lahir di abad ketujuh Masehi, yaitu pada masa pemerintahan Al-Makmun (215 H atau 830 M) di Baghdad, namun ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa Bayt al-Hikmah didirikan pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid. Keduanya sangat mencintai ilmu pengetahuan dan mereka melakukan penerjemahan besar-besaran.
Namun pada dasarnya, cikal bakal pendirian perpustakaan Bayt al-Hikmah sudah ada sejak pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur, khalifah Abbasiyah kedua dan diresmikan pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun di tahun 830 M. Pada saat itu, peran Bayt Al-Hikmah bukan hanya perpustakaan semata, namun sebagai akademi dan biro penerjemah.
Dilihat dari sisi akademik, Bayt al-Hikmah menjadi tempat belajar. Kurikulum dan metode pembelajaran yang digunakan adalah metode muhadharah (ceramah) dan juga dialog dan wacana debat. Mereka mengkaji ilmu falak, filsafat, kedokteran, juga berbagai bahasa. Setelah lulus dari Bayt al-Hikmah, para pelajar diberi ijazah sebagai tanda telah tamat menyelesaikan studi di bidang tersebut.
Letaknya menyatu dengan istana kekhalifahan dan diatur oleh beberapa mudir (direktur) yang bergelar shahib. Direktur ini dikenal dengan nama shahib baitul hikmah. Direktur pertama Bayt al-Hikmah bernama Sahal ibn Harun, yang diangkat langsung oleh khalifah al-Makmun. Sa’ad dibantu oleh Sa’id ibn Harun yang yang dikenal dengan nama Ibn Harim. Bayt al-Hikmah juga membayar mahal para ilmuan dan penerjemah yang bekerja disana,. Kekayaan literasi yang ada di Bayt al-Hikmah mencakup bacaan berupa bahasa Arab, Sansekerta, Yunani, dll.
Koleksi-Koleksi Buku di Bayt al-Hikmah
Koleksi yang terdapat dalam Bayt al-Hikmah terbagi menjadi tiga bagian yaitu koleksi yang dikumpulkan Khalifah Harun Al-Rasyid yang diberi nama Khizanah Al-Rasyid, koleksi yang dikumpulkan oleh Khalifah Al-Makmun yang diberi nama Khizanah Al-Makmun. Dan selebihnya ditempatkan menjadi subjek.
Khalifah al-Makmun dikenal sebagai pribadi yang mencintai ilmu pengetahuan. Ia mengumpulkan berbagai buku yang langka dan berharga dari lokasi yang berbeda-beda lalu ia kumpulkan ke dalam Bayt al-Hikmah. Khalifah Al-Makmun terbiasa membeli buku dan mengirim utusan ke Konstantinopel untuk mendapatkan buku yang diiginkannya. Bahkan terkadang dengan cara mengirim utusan Islam ke negeri asing kemudian menunjukkan kitab-kitab yang ada pada mereka. Dan yang paling unik adalah melalui pengambilan jizyah (pembayaran pajak) yang terkadang wajib dibayar dengan buku. Dengan demikian, perpustakaan memperoleh buku yang bermacam-macam.
Al-Makmun juga mengirim beberapa utusannya ke kerajaan Romawi untuk mencari buku-buku, beberapa utusannya di antaranya; Ibnu Hajjaj al-Mattar, ibn Al-Bitriq, Salma, dan Yuhana ibn Ishaq. Al-Makmun kemudian menyiapkan duta keilmuan di Bayt al-Hikmah dengan menambah beberapa penerjemah dan pimpinan sebagai musyrif (penanggung jawab). Lalu dimulailah perjalanan pemburuan buku mereka ke tempat-tempat yang berbeda.
Ada satu cerita, konon seorang duta keilmuan mendapati kitab-kitab lapuk yang sudah berbau busuk di bawah benteng negara Paris. Kitab itu kemudian diambil dan dibawa oleh duta tersebut ke Bayt al-Hikmah dalam keadaan basah dan bau. Setelah kering dan bau busuknya hilang, barulah kitab tersebut dikaji.
Kehancuran Bayt al-Hikmah
Perhatian terhadap perpustakaan Bayt al-Hikmah berkurang semenjak masa pemerintahan al-Mu’tashim (khalifah ke-delapan dinasti Abbasiyah) 218-227 H/ 833-842 M. Dikisahkan khalifah al-Mu’tashim merupakan khalifah yang kuat dan memiliki tekad yang kuat. Namun, ia tidak memiliki ilmu. Al-Mu’tashim lebih fokus menaruh perhatian terhadap militer. Ia lebih tertarik merekrut budak-budak. Budak-budak tersebut diperkirakan mencapai 70.000 orang. Bahkan demi kepentingan ini al-Mu’tashim memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Sarra Man Ra’a yang kemudian menjadi Samara.
Meskipun demikian, kegiatan di Bayt al-Hikmah masih tetap berjalan seperti penerjemahan hingga pada masa Ibnu An-Nadhim 377 H/987 M. Hingga tiba saatnya kedatangan bangsa Mongol (Tartar) 656 H/ 1258 M yang menginvasi Baghdad. Mongol mengepung Baghdad pada Januari 1258. Pengepungan itu hanya berlangsung dua minggu saja. Sejarawan mencatat kejadian itu antara tanggal 29 Januari-10 Februari 1258. Perpustakaan ini hancur bersamaan dengan runtuhnya Dinasti Abbasiyah yang diserang oleh bangsa Mongol yang dipinpin oleh Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan. Al-Musta’sim, harus bertekuk lutut terhadap bangsa Mongol. Bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan menghancurkan kekuasaan sang khalifah.
Tidak hanya Bayt al-Hikmah, tercatat lebih dari 30 perpustakaan dihancurkan oleh bangsa Mongol, di antaranya adalah Perpustakaan Umar al-Waqidi, Perpustakaan Dar al-Ilm, Perpustakaan Nizamiyyah, Perputakaan Al-Baiqanni, dll.
Bangsa Mongol membawa kitab-kitab itu ke Ibu Kota Mongol. Menurut sejarawan orang-orang Tartar tidak suka ilmu pengetahuan, tidak suka membaca, tidak suka belajar, dan lebih suka menghancurkan. Akhirnya mereka melemparkan kitab-kitab tersebut ke sungai Tigris sehingga airnya berwarna hitam akibat tinta buku dan kabarnya pasukan berkuda menyebrangi lautan tinta tersebut. Inilah kejahatan literasi sepanjang sejarah kerajaan Islam.
***
Pasukan Mongol juga menghancurkan sejumlah tanggul air. Sebagian tanah Abbasiyah akhirnya dibanjiri air. Pasukan khalifah benar-benar merasa terkepung. Mereka dibantai dan ditenggelamkan oleh bangsa Mongol. Pada 10 Februari, Baghdad menyerah. Kemudian, pada 13 Februari, pasukan Mongol menghancurkan kota. Dimulailah satu pekan masa pembantaian di Baghdad. Adapun buku-buku yang berhasil diselamatkan menjadi sumber literartur dan diakui oleh bangsa mereka. Bahkan menjadi pijakan awal temuan-temuan penting di Eropa.
George Saliba, Profesor Bahasa Arab dan Sains Islam dari New York University, dalam bukunya Islamic Science and the Making of the European Renaissance, menuliskan, kalau cendekiawan Islam terkemuka, Nasir al-Din al-Tusi (1201-1274) yang hidup di masa itu, sempat menyelamatkan sekitar 400.000 naskah dan dibawa Maragheh (sekarang di Provinsi Azerbaijan Timur, kawasan Iran) sebelum pengepungan.
Mu’tasiim wafat pada 20 Februari 1242. Kematiannya menandai habisnya era Dinasti Abbasiyah. Sejak saat itu, Baghdad ditinggalkan, kosong melompong, hancur dan menjadi kota tak bertuan selama berabad-abad. Bayt al-Hikmah pun tinggal puing sejarah.
Bayt al-Hikma pantas dikatakan sebagai cikal bakal lumbung literasi pada masanya, kejayaan Dinasti Abbasiyah menjadi tersohor karena kemajuan keilmuannya dibandingkan masa-masa kejayaan yang lain.
Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dapat merasuk ke sendi-sendi kehidupan manusia yang terdalam yaitu ruang akal dan pemikiran yang jauh lenih besar dari penguasaan jasmani. Namun sayangnya, Mongol membumi-hanguskan Rumah Kebijaksanaan beserta seluruh literatur di dalamnya.
Editor: Yahya FR