Oleh: Yulianti Muthmainnah
163 tahun lalu, 8 Maret 1857, kesadaran kita digedor ketika buruh perempuan pabrik tekstil di New York turun ke jalan, melakukan demostrasi atas kondisi kerja yang menyengsarakan dan upah minim. Ketika itu, buruh dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan pekerjaan. Buruh perempuan ditempatkan pada industri manufaktur atau tekstil dengan upah yang jauh lebih rendah daripada buruh laki-laki. Gerakan ini menjadi awal sejarah Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Days/IWD (Temma Kaplan, On the Socialist Origins of International Women’s Day, 1985).
IWD: 25 Tahun Keadilan Gender
Tidak hanya upah, mereka menuntut perempuan punya hak pilih dan memperjuangkan penghapusan kepemilikan pribadi. Tahun 1900an, situasi buruh perempuan semakin mengkhawatirkan. Jam kerja pabrik yang panjang, tinggal di tempat kumuh karena upah sangat minim, dan rentan mengalami kekerasan seksual di tempat kerja ataupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Puncaknya, tahun 1909, sekitar 30.000 buruh perempuan melakukan mogok massal selama 13 minggu. Setahun kemudian, 1910, para perwakilan buruh yang telah mengorganisir diri dalam Liga Serikat Buruh Perempuan mencetuskan satu hari libur untuk memperingati hari perempuan sedunia demi menuntut hak-hak yang setara dalam politik dan situasi kerja sebagai buruh dalam sebuah kongres yang dihadiri lebih dari 100 perempuan dari 17 negara (Joyce Stevens, a History of International Women’s Day).
Selanjutnya, tahun 1912, buruh perempuan menuntut penghentian perang karena berdampak pada ribuan korban, harta benda, meluasnya kesengsaraan, kelaparan, dan kekerasan seksual pada perempuan. Para buruh turun ke jalan-jalan dengan tagline perjuangan bread and roses. Roti (makanan pokok) untuk menjelaskan keadilan ekonomi dan mawar merepresentasikan kualitas hidup yang adil setara. Clara Zetkin (Jerman) dan Alexandra Kollontai (Rusia) adalah dua tokoh yang terlibat aktif dalam ide dan gerakan-gerakan buruh. Sejak 8 Maret 1975, Perserikatan Bangsa-bangsa mengadopsinya sebagai Hari Perempuan Internasional/IWD.
IWD lahir dari kondisi nyata situasi perempuan di dunia. Kita berhutang pada buruh perempuan. Gerakannya membuahkan hasil, walaupun masih harus diperjuangkan, utamanya isu kekerasan seksual. Tahun ini, United Nations Women (UN Women) mengambil tema ‘I am Generation Equality: Realizing Women’s Rights’. Tahun 2020, peringatan IWD menjadi spesial karena tahun ini menandakan 25 tahun perayaan komitmen negara-negara untuk memastikan keadilan gender tercapai dalam 12 isu Beijing Declaration and Platform for Action tahun 1995. Dua dari 12 isu tersebut adalah kekerasan terhadap perempuan serta perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan.
Indonesia, anggota PBB dan ikut menandatangani Beijing Platform for Action punya tanggung jawab mewujudkan komitmen tersebut. Apalagi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, champion HeForShe tingkat dunia dan satu-satunya dari Asia Tenggara.
Situasi Nasional
Pada kasus perempuan korban KDRT selama bertahun-tahun, korban mengalami kekerasan berlampis, hingga tidak bisa/tidak berani mengambil keputusan, bahkan keputusan berpisah/cerai dari suaminya. Ini berakibat fatal, Ni Putu Kariani misalnya harus kehilangan kaki kiri dan hampir kaki kanannya. Dokter Letty Sultri meninggal ditembak. Atau X yang tersiksa tiap kali berhubungan seksual akibat singkong yang dimasukkan ke vaginanya. Semua pelaku suami mereka.
Varian kasus semakin beragam. Kekerasan seksual tidak melulu terjadi penetrasi penis-vagina, tetapi bisa jari tangan atau benda lainnya yang menimbulkan rasa sakit, trauma, dan dampak buruk pada korban. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memiliki kekosongan hukum, apalagi perspektif korban yang masih nol dalam KUHP. Pelakupun beragam, keluarga, pendidik, tokoh agama (Kyai di Sumenep atau lingkungan Gereja Katolik dengan 56 kasus), anak kyai berpengaruh di Jombang, sampai sopir ojek online sebagaimana yang baru dialami mahasiswi UIN Jakarta, 4 Maret 2020.
Selama 2019, ada 431.471 perempuan yang menjadi korban kekerasan (Komnas Perempuan, 2020). Selama 12 tahun, ada 792% kenaikan jumlah korban. Terutama, kekerasan seksual yang dialami anak perempuan. Tahun ini ada kenaikan 65% atau 571 kasus incest, paksaan kekerasan seksual dengan pelaku yang memiliki hubungan darah. Kasus cyber crime-pun meningkat, 281 kasus. Dibandingkan tahun 2018, 97 kasus.
Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) sebagai lex specialist sekaligus mandat IWD dan Beijing. Sayangnya, belum menunjukkan tanda-tanda dari DPR ataupun desakan dari pemerintah guna membahasnya. Padahal, telah nyata terjadi kekosongan hukum dalam sistem pemidanaan yang komprehensif melindungi perempuan korban dari kekerasan seksual serta hukuman yang menjerakan pelaku atau calon pelaku lainnya.
RUU P-KS adalah solusi. Karena beberapa alasan: 1). mengintegrasikan perspektif dan pengalaman korban, termasuk korban dengan disabilitas, 2).menarasikan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang kosong dalam KUHP atau undang-undang lainnya, 3). pemidanaan berupa kurungan dan denda, 4).restitusi bagi korban, 5). sanksi rehabilitasi untuk mengubah perilaku dan cara pandang pelaku tentang kekerasan seksual, 6). menyediakan aparatur penegak hukum yang memiliki perspektif korban dan paham tentang penanganan kasus, 7). menyediakan fasilitas dan layanan medis, hukum, psikososial, dan kebutuhan khusus lain terkait kondisi geografis, sosial dan/atau kedisabilitasan, yang mudah diakses korban selama proses hukum dan proses pemulihan, dan 8). sinergi tanggung jawab lintas sektoral, termasuk upaya pencegahan yang dilakukan pemerintah pusat-daerah.
Pembahasan RUU P-KS menunggu tanggung jawab Negara. Indonesia harus menjadi pionir, penggerak penghapusan kekerasan seksual tingkat Asia–dunia. Tanpa itikad serius Negara, korban akan terus berjatuhan. Mungkin hari ini orang lain, tetapi bisa jadi hari berikutnya keluarga anda menjadi korban. Jangan tunda pembahasannya!.
* Penulis adalah Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan ITB Ahmad Dahlan Jakarta