Ketika berjalan di library Universitas Muhammadiyah Surakarta, saya melihat tafsir yang menarik perhatian mata saya. Sebuah tafsir yang berisi kumpulan ayat-ayat syariah. Di rak buku yang sama juga, saya menemukan tafsir lainnya dengan kumpulan ayat-ayat akidah dan adapula yang berisi kumpulan ayat-ayat akhlak.
Saya tertarik melihat siapakah penulis tafsir kumpulan ayat-ayat tersebut. Penasaran melihat biografi penulis di belakang tafsirnya, ternyata dia merupakan salah satu mufasir Muhammadiyah: yaitu Prof. Drs. H. Sa’ad Abdul Wahid.
Sa’ad Abdul Wahid: Biografi Intelektual
Lahir di Banyumas, 1 Februari 1938. Sa’ad Abdul Wahid berasal dari lingkungan keluarga pesantren Wathoniyah Islamiyah Kebarongan Banyumas. Dia merupakan lulusan IAIN Sunan Kalijaga. Pendidikan tambahan juga ditempuhnya antara lain: Kursus Bahasa Inggris di IKIP (Language Centre) 1972-1973 dan Studi Purna Sarjana (1979-1980).
Sa’ad Abdul Wahid adalah seorang ulama intelektual yang pakar dalam bidang ilmu tafsir dan syariah. Kesehariannya bekerja sebagai guru besar sekaligus dosen senior di UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Pengasuh ponpes di Kebarongan Banyumas ini, juga pernah berkiprah dalam keorganisasian PP Muhammadiyah sebagai Wakil Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah (2000-2005). Selain itu, dia pernah menjabat sebagai ketua MUI Yogyakarta (2001-2006) dan menjadi pengurus pembina Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah di Yogyakarta.
Karena memiliki produktivitas menulis yang tinggi, Sa’ad Abdul Wahid telah melahirkan berbagai karya tulisan baik dalam buku, jurnal, dan artikel. Baik di media massa maupun di majalah. Bukti bahwa Beliau merupakan salah satu mufasir dari kalangan Muhammadiyah bisa dilihat dari magnum opus-nya berupa kitab tafsir yang dia namai Tafsir Al-Hidayah yang dibagi kedalam 3 tema: Akidah, Akhlak, dan Syariah.
Sa’ad Abdul Wahid: Tafsir itu sebagai Cahaya Hidayah!
Al-Qur’an selain diperintahkan Allah untuk dibaca, juga dituntut untuk memikirkan dan memahaminya. Sebab, Al-Qur’an diturunkan sebagai cahaya hidayah bagi manusia juga sebagai penjelas serta pembeda antara yang haq dan yang batil. Maka, mempelajari Al-Qur’an dan memahaminya merupakan kewajiban bagi kaum muslimin.
Al-Qur’an yang diturunkan penuh hidayah dan cahaya kebenaran, bertujuan agar kaum muslimin senantiasa untuk membacanya, memahaminya, memikirkannya, serta mengambil hikmah-hikmahnya.
Alasan tersebut yang menjadi latar belakang Sa’ad Abdul Wahid menulis kitab tafsir. Selain itu, dia termotivasi dari para ulama yang menulis sebuah karya tafsir Al-Qur’an. Pekerjaan menulis tafsir adalah sebuah pekerjaan yang mulia. Selain agar dapat dimanfaatkan generasi setelahnya, juga sebagai amal salih yang pahalanya terus mengalir sekalipun penulisnya telah tiada.
Berbagai varian tafsir yang beredar sejak permulaan Islam hingga sekarang, menurutnya, sebagian besar menampilkan penafsiran yang terlalu panjang lebar. Padahal menurutnya, penafsiran yang berlebihan tidaklah menambah kejelasan. Melainkan hanya menjauhkan dari tujuan diturunkan-Nya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, dan melupakan hakikat makna Al-Qur’an karena pembahasan yang tidak ada kaitannya dengan ayat yang dibahas.
Maka dari itu, penafsiran yang dipakai oleh Sa’ad Abdul Wahid adalah penafsiran secara singkat dan sederhana. Sehingga mudah dipahami dan dijadikan sebagai pembimbing bagi manusia untuk memperoleh kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.
Metode dan Karakteristik Tafsir Al-Hidayah
Tafsir Hidayah ini merupakan kumpulan tafsir Al-Qur’an yang telah dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah sejak tahun 1989 hingga 2001. Sa’ad Abdul Wahid berharap dengan penafsiran yang dia lakukan secara sederhana, para pembacanya dapat memperoleh hidayah dari al-Qur’an. Itulah sebabnya tafsir ini diberi judul Tafsir Al-Hidayah.
Sa’ad Abdul Wahid membagi tafsirnya ke dalam 3 bagian tema besar yang ada di dalam Al-Qur’an. Ketiga bagian masing-masing tema tersebut dibagi menjadi dua jilid atau lebih.
Walaupun sebenarnya menurut saya tafsir ini termasuk tafsir maudhu’i (tematik), namun Sa’ad Abdul Wahid mengatakan tafsirnya menggunakan izdiwajiy (kombinasi) dari metode-metode penafsiran yang ada. Artinya, tafsirnya tidak secara khusus menggunakan tafsir tematik, tetapi yang paling mendekati menurut saya yaitu penafsiran dengan mengelompokkan ayat-ayat dalam satu tema.
Tafsir ini sebenarnya bukanlah murni hasil ijtihad (ra’yi) penulisnya. Sa’ad Abdul Wahid hanya mengutip dari beberapa tafsir yang mu’tabar, kemudian dia ambil kesimpulan dari pendapat mufasir yang terkenal dan pendapat para ulama lainnya.
Tafsir yang menjadi rujukan utama dalam Tafsir Al-Hidayah ini ialah: Tafsir Al-Manar karya Rasyid Rida, Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi dan Tafsir Al-Qasimy karya Jamaluddin al-Qasimiy.
Dalam menjelaskan penafsirannya, misalnya dalam tafsir ayat-ayat syariah tentang tema salat dan hikmahnya, Sa’ad Abdul Wahid mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan salat. Setelah itu, Dia menjelaskan tafsir mufrodat dan tafsir ayatnya. Kemudian, baru dia menjelaskan tentang pengaruh salat terhadap jiwa, salat adalah unsur taqwa, dan keringanan dalam melakukan salat menggunakan pendapat-pendapat para mufasir.
Tafsir Ayat-Ayat Akidah, Syariah, dan Akhlak
Terkait 3 tema yang dijadikan tema pokok dalam tafsirnya, Sa’ad Abdul Wahid menjelaskan hubungan di antaranya. Misalnya, keterkaitan antara akidah dan syariah adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling memperkuat untuk mengadakan hubungan antara makhluk dengan khaliknya. Karena akidah mengatur hubungan antara makhluk dengan Allah. Sedangkan syariah mengatur hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan lingkungannya.
Berpegang pada akidah, tetapi mengesampingkan Syariah atau menjalakankan syariah tetapi mengesampingkan akidah, tidaklah akan berhasil dalam mengadakan hubungan dengan Allah SWT. Dan tentu dalam menjalakan hubungan antara manusia dengan tuhannya atau hubungan sesama manusia, ada aturan mainnya yang dinamai dengan akhlak yang baik.