Sirene panjang pemilihan umum presiden akhirnya terdengar keras ke seantero negeri. Setelah sebelumnya sempat diwacanakan untuk ditunda, bahkan hendak dilakukan amandemen UUD untuk perpanjangan periode.
Dilansir dari presidenri.go.id, bahwa pemilihan umum akan dilangsungkan pada 14 Februari 2024. Beberapa calon dan politisi mulai ancang-ancang mencari tiket masuk dan berupaya meraup dukungan publik sebanyak-banyaknya. Beberapa survei dilakukan untuk menguji elektabilitas nama-nama pejabat yang digadang-gadang bakal mencalonkan diri dalam kontestasi politik 2024.
Di samping itu, kita berharap iklim demokrasi Indonesia ke depan dapat di upgrade lebih baik lagi. Salah satunya dengan memperkuat barisan oposisi, yang berperan penting dalam melakukan checks and balances.
Sebagaimana yang kita ketahui, pada masa pemerintahan Jokowi saat ini, barisan oposisi sangat lemah. Rata-rata partai mendominasi istana dan parlemen menyisakan tiga partai yakni, Demokrat, PAN, dan PKS.
Padahal, keberadaan oposisi sangat penting dalam sebuah negara demokrasi. Bila keadaan 2024 mendatang tidak ada perubahan, maka tidak menutup kemungkinan penyakit “Demokrasi Patronase” sebagaimana yang diungkapkan oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam bukunya Demokrasi For Sale, semakin kuat mengakar dalam tubuh Indonesia.
Islam Sebagai Agama Oposisi
Selain partai sebagai oposisi, menarik kiranya jikalau kita melihat agama menjelma menjadi oposisi memerankan tugas checks and balances. Toh, kehadiran agama pada mulanya merupakan sejarah perlawanan atas kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Eko Prasetyo dengan sangat baik merangkum sejarah agama sebagai oposisi dalam bukunya Kitab Pembebasan. Muhammad Al Fayyadl atau akrab di sapa Gus Fayyadl, menulis Epilog dalam buku tersebut;
“Buku Eko Prasetyo ini menyajikan kepada kita adegan-adegan hidup konfrontasi para Nabi dan Rasul dengan kelas yang berkuasa dan keterlibatan mereka dengan relasi kelas yang berkembang di tengah umatnya masing-masing. Konfrontasi itu berwujud pembangkangan langsung dan ikonoklasme (dalam kisah Ibrahim dan Syu’aib As), duel fisik (Dawud As melawan Jalut), aksi parrhesiastik (keberanian mengucap yang benar di hadapan risiko yang besar, dalam kisah Musa, Harun, dan Yahya ‘alahimus salam), dan sebagainya”
Untuk dapat mengetahui peran agama dalam gerakan oposisi, kita dapat melacak sisi historis bagaimana kemunculan agama.
Peran dan misi kenabian ternyata tidak saja berdampak pada tauhid individu. Di mana, para nabi mengenalkan akan keesaan Tuhan melainkan juga berdampak pada tauhid sosial, mengentas kesenjangan, dan ketimpangan struktur sosial masyarakat.
Masyarakat Arab pra-Islam
Kondisi masyarakat pra Islam, digambarkan dalam potret Jahiliah dan jauh dari nilai-nilai moral. Disebut Jahiliah, bukan berarti masyarakat Arab hidup dalam kebodohan, justru mereka terbilang cerdik dan pandai.
Hal ini ditandai dengan kuatnya ingatan masyarakat Arab dalam merekam kejadian dan perkataan di antara mereka. Tradisi ini pula yang turut berperan dalam penyebaran dakwah Islam.
Di mana, para sahabat dan tabi’in berhasil melakukan kodifikasi ayat Al-Qur’an dan hadis sehingga kita masih dapat mempelajarinya hingga hari ini. Selain itu, masyarakat Arab juga dikenal pandai dalam bersyair. Mereka terbiasa merayakan hari-hari besar dengan berlomba membuat syair lalu ditempelkan di dinding Ka’bah.
Dikatakan jauh dari nilai-nilai moral sebab masyarakat Arab terbiasa melakukan perilaku menyimpang. Hidup dalam sekat kesukuan menjadikan masyarakat Arab terbiasa berkonflik satu sama lain, untuk menjaga pamor kesukuannya.
Masyarakat Arab kala itu juga dikenal dengan budaya patriarki yang kental. Sahabat Umar bin Khatab dengan julukan singa “Padang Pasir” sebelum memeluk Islam, diketahui pernah mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Sebab, masyarakat Arab meyakini bahwa anak perempuan merupakan aib bagi keluarga.
Masyarakat Arab bahkan menjadikan manusia sebagai alat komoditas alias budak, yang kebebasannya mutlak di tangan sang tuan. Budak juga bebas diperdagangkan atau diwariskan kepada keluarga. Tidak lupa, kebiasaan berbuat curang dalam berdagang, mengakibatkan ketimpangan dan kesenjangan luar biasa antara kaya dan miskin.
Monopoli harga, mengakibatkan kaum miskin semakin terpinggirkan dari arus kehidupan dan jauh dari kata sejahtera. Kebiasaan ini terdokumentasi dengan baik dalam banyak ayat Al-Qur’an.
Kemunculan Islam Awal Sebagai Agama Oposisi
Islam lalu hadir di tengah-tengah kondisi sosial masyarakat Arab yang carut marut. Kelahiran sang Nabi di tahun gajah merupakan awal dari harapan sebuah masyarakat Madani dibentuk.
Membawa misi kenabian, bukan saja mengenalkan manusia kepada Tuhannya, melainkan juga memperbaiki struktur sosial yang timpang. Menginjak usia dewasa dan memasuki masa kenabian, mula-mula nabi Muhammad diberi bekal “iqra”.
Berselang-lama, nabi kemudian diberi Wahyu lagi, “Wahai orang yang berkemul (berselimut)!, “Bangunlah, lalu berilah peringatan!”.
Sebuah ayat yang jika dihadapkan kepada milenial atau generasi z hari ini, maka Al-Qur’an seolah berkata, wahai kaum-kaum rebahan, bangkit dan melawanlah. Tentunya dengan tuntunan iqra’ alias membaca sebagaimana petunjuk wahyu pertama.
Tatkala Nabi Muhammad Saw melancarkan dakwahnya setelah turun wahyu ke dua, pertentangan pun datang dari kaum kafir. Asghar Ali Engineer menerangkan bahwa sebetulnya, faktor dominan orang-orang kafir menentang dakwah Nabi Muhammad Saw, bukanlah menyangkut persoalan ketuhanan melainkan lebih kepada faktor sosial.
Orang kafir merasa gengsi ketika harus mendengarkan dakwah Nabi Muhammad Saw yang dianggap “anak kemarin sore”. Kedudukan dan status sosial amat berharga bagi kaum kafir. Sehingga, mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw, sama halnya dengan merendahkan pamor dan ketenaran mereka sendiri.
Selain itu, orang-orang kafir yang senantiasa berlaku curang ketika melakukan dagang, tak ingin meninggalkan perbuatan tersebut karena sangat menguntungkan. Dengan memeluk Islam, perbuatan dagang semacam itu tentu dilarang oleh nabi. Hal inilah yang mengkhawatirkan orang-orang kafir sehingga enggan untuk bersyahadat.
Konteks Indonesia
Dari uraian di atas, menjadi terang bahwa Islam hadir tentu untuk melakukan transformasi sosial serta berpihak pada kaum lemah dan terpinggirkan, sebaliknya bukan untuk melanggengkan kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat. Di sinilah letak agama sebagai oposisi.
Dalam konteks Indonesia, kita mengenal dua ormas keagamaan terbesar, Muhammad dan NU yang lahir lebih dahulu jauh sebelum Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Dalam perjalanannya, penulis sendiri beberapa kali mengetahui secara langsung bagaimana kedua ormas ini berperan dalam kontrol atas kekuasaan. Meski demikian, kita tidak dapat menyangkal terdapat kedekatan di lain sisi antara ormas keagamaan ini dengan pemerintah.
Ada semacam sikap kooperatif yang dicerminkan oleh ormas keagamaan ini. Tapi peran mereka ikut dalam kontrol kebijakan, setidaknya dapat kita jadikan poin pembahasan tersendiri tanpa bermaksud menyisihkan atau menyembunyikan “hubungan” ormas keagamaan dengan pemerintah.
Kedua ormas yang dirasa merepresentasikan umat Islam Indonesia, tentu dituntut lebih progresif dan konsisten dalam mengawal kebijakan negara dan lebih aktif dalam melakukan kerja-kerja advokasi masyarakat yang membutuhkan pertolongan.
Upaya ini misalnya dilakukan oleh Muhammadiyah beberapa waktu lalu dengan mengumpulkan beberapa warga yang terlibat konflik lahan tambang di Yogyakarta sebagai langkah advokasi.
Selain itu, Muhammadiyah turut serta membuat rekomendasi kebijakan untuk konflik tambang batuan andesit Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, dan masih banyak lagi.
Kerja-kerja semacam inilah yang perlu diperkuat dan diperluas, sehingga agama bukan saja dipandang sebagai aktivitas ritual individu di ruang privat melainkan berperan dalam mengawal kebijakan, mengontrol kekuasaan demi terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan.
Editor: Yahya FR