Persoalan kapan mulai berpuasa dan berlebaran bukanlah sesuatu yang baru muncul di masa modern. Literatur fiqih klasik sudah menggambarkan esensialnya isu kapan mulai berpuasa atau berlebaran dengan judul Rukyatul Hilal. Sebab hal ini bukan hanya terkait dengan persoalan ibadah saja, tetapi juga menyangkut otoritas politik seorang pemimpin, Qadhi, status kesaksian seseorang.
Paradigma yang Salah
Namun, tulisan ini tidak akan menjelaskan secara lengkap bagaimana persoalan rukyatul hilal punya hubungan dengan isu politik dan pemerintahan menurut Islam. Tetapi saya akan menyoroti problem kesalahan paradigma hukum Islam di masa modern, berkaca pada kasus peneliti BRIN yang mengancam masyarakat ormas Muhammadiyah karena sering berbeda soal hari raya. Apakah ada kesalahan dalam paradigma itu? Sebelum dibahas lebih jauh, ada baiknya jawabannya disampaikan di permulaan: intervensi sains yang berlebihan ke persoalan fiqih.
Mengapa ini menjadi satu paradigma yang salah? Jawaban ringkasnya adalah bahwa tradisi fiqih sejak era pembentukannya tidak pernah bergantung pada sains, meskipun faktanya peradaban Muslim memegang kemajuan luar biasa dalam sains saat itu. Peradaban Muslim sudah menemukan Astrolabe yang secara teknis mampu memastikan Hilal telah/akan muncul. Tetapi uniknya keputusan kapan berpuasa oleh Qadi tidak pernah tercatat pernah merujuk pada hasil analisa Astrolabe.
Tentu saja problem ini tidak hanya ada di rukyatul hilal. Perhitungan waktu shalat dengan format jam-menit, konversi timbangan zakat ke kilogram, dan penentuan jarak dibolehkannya jama’ dalam kilometer, merupakan kasus-kasus dimana sains mengintervensi fiqih secara berlebihan. Memang, efek positif intervensi ini tidak boleh dinafikan lantaran standarisasi bisa terwujud berkat bantuan sains. Namun, sebagaimana telah disebutkan esensi fiqih tidak dibangun melalui pendekatan saintifik.
Ambil Contoh
Kita ambil contoh standar waktu shalat dalam format jam-menit. Intervensi sains disini masuk melalui hitungan falak atau observasi langit pada kriteria-kriteria waktu shalat seperti pada pukul berapa matahari terbenam. Peran sains sangat positif dalam hal ini sehingga ketika kondisi tidak memungkinkan kita melihat matahari terbenam, orang tetap bisa mengetahui kapan masuknya waktu Maghrib. Namun lambat laun, masyarakat mulai menganggap bahwa ketepatan menit sesuai tabel falak-lah yang memastikan masuknya waktu Maghrib. Sekalipun terkadang matahari belum benar-benar terbenam yang menurut literatur fiqih ditandai dengan munculnya awan merah. Disini sains telah dianggap lebih otoritatif dibanding kesepakatan fuqaha.
Begitupun kejadiannya pada timbangan zakat ke kilogram, dimana 2.5 kilogram menjadi standar baku untuk zakat fitrah, padahal dalam literatur fiqih bahkan dalam dalil hadits tentang zakat fitrah menyebutkan 1 mud. Fuqaha sendiri mengatakan bahwa 1 mud itu relatif sesuai wilayahnya, sehingga mud iraqi boleh jadi lebih berat dari mud hijazi. Uniknya, kilogram baru menjadi standar satuan massa setelah abad 19. Bagaimana mungkin suatu standar yang bahkan baru saja ditemukan bisa menenggelamkan standar asasi yang telah ditetapkan dalil amalan itu sendiri?
Kembali ke persoalan rukyatul hilal, harus dipahami disini bahwa mulainya berpuasa atau berlebaran itu bukan murni karena masuknya 1 Ramadhan atau 1 Syawal. Karena haditsnya menyebutkan “Jika kalian melihat Bulannya (Hilal Ramadhan) maka berpuasalah!” Alih-alih “Jika kalian mengetahui telah masuk satu Ramadhan, maka berpuasalah”. Rukyat atau melihat hilal, inilah standar dimulai berpuasa. Meskipun secara alamiah diketahui (melalui temuan sains) 1 Ramadhan telah masuk, tetapi karena hilal belum terlihat oleh satu orangpun di suatu negeri, maka berpuasa Ramadhan belum diwajibkan.
Sains Merupakan Alat Bantu Ijtihad Hukum
Lantas apakah sains/Ilmu Falak kehilangan perannya disini? Tentu tidak, karena peran ilmu falak nantinya memberikan prediksi tertentu agar pelaku rukyat bisa dievaluasi kesaksiannya. Contoh: jika sains memprediksikan bahwa hilal tidak akan terlihat sama sekali di hari Senin, lalu seseorang bersaksi melihatnya, maka pemerintah bisa menggunakan pertimbangan sains untuk menilai kesaksian tersebut. Dan jika ternyata yang melihat hilal itu sangat ramai, maka prediksi sains itu bisa dinafikan, lalu pemerintah menetapkan dimulainya berpuasa.
Akan tetapi, kondisi modern telah memberikan ruang berlebih terhadap sains sehingga konsep dasar mulainya berpuasa telah diambil alih oleh temuan sains. Dalam artian, saat ini dimulainya berpuasa ditetapkan jika hilal berada di atas 4 derajat, baik itu terlihat atau tidak terlihat. Dan ini telah berlawanan dengan hadits Nabi riwayat Ibn Majah jika samar terhadap kalian hilal tersebut maka lengkapkanlah bilangan bulan menjadi 30. Serupa dengan kasus masuknya waktu Maghrib yang telah disebutkan di atas, sedikit dari kita yang benar-benar mengecek kembali apakah saga merah sudah sepenuhnya muncul atau belum, asalkan waktu sudah menunjukkan angka yang sesuai jadwal shalat, maka ijtihadnya selesai.
Perhitungan waktu shalat dan hisab hilal secara saintifik pun bahkan perlu direvisi (mungkin) setiap tahunnya. Lantaran sains itu bersifat terus terbarukan jika ada cofound/temuan baru yang berefek pada konsep yang telah ada sebelumnya. Sesuatu yang cenderung relatif semestinya tidak diberikan otoritas mutlak dalam ranah fiqih.
Sekali lagi, sains merupakan alat bantu dalam ijtihad hukum, bukan dalil penentu keputusan hukum. Seberapapun kuat dan akuratnya temuan sains dalam rukyatul hilal, dimulainya berpuasa Ramadhan dan Idul Fitri mensyaratkan setidaknya persaksian 2 orang bahwa hilal telah terlihat. Terlebih, tidak relevan jika dituduhkan bahwa tidak memberikan otoritas tinggi ke sains dalam fiqih merupakan tanda kemunduran peradaban. Ini merupakan paradigma kolonial yang tetap dianut meskipun penjajahan fisik sudah selesai.
Editor: Ahmad