Ujian pandemik Covid-19 di Indonesia sudah berlangsung tiga bulanan. Banyak upaya yang sudah dilakukan. Hanya saja terdapat beberapa hal yang membuat gusar. Salah satunya soal ‘blak-blakan’ Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tentang ketidakpercayaan mereka pada rilis yang dibuat oleh Kemenkes. BNPB menyebut data yang dilaporkan Kemenkes tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan.
Saling menyalahkan yang saya kira tidak perlu dilakukan. Apalagi jika nantinya Kemenkes ikutan berbalik merespon bahwa Tata Laksana Covid-19 sesungguhnya sudah dibukukan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) sejak Januari lalu. Panduan yang baru dibuat oleh BNPB di pertengahan Maret.
Kegusaran ini sesungguhnya muaranya sama: Sains dan kepemimpinan. Kita tidak punya alat yang akurat secara saintifik untuk menjadi landasan mengambil sikap dan kebijakan. Padahal, saat ini kita perlu menempatkan kepercayaan pada Sains untuk merespon ujian pandemi.
Inilah yang sesungguhnya akan mengantar kita pada solusi-solusi bersama. Solusi tersebut basisnya adalah akurasi data yang bisa diverifikasi. Oleh karenanya, tidak sepatutnya kita malah saling menyalahkan. Bisa jadi semuanya benar, justru perlu untuk saling menguatkan. Kepemimpinan yang seharusnya dibangun melalui kepercayaan.
Kebijakan Berbasis Bukti
Pembuatan kebijakan di mana pun selalu diilhami oleh jargon evidence based policy. Masalahnya, dalam proses pembentukan kebijakan berbasis bukti tersebut seringkali terdapat bias, terdapat keterbatasan (Parkhust, 2017). Baik di level pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan eksekutornya, pakar yang dilibatkan sebagai pemberi masukan, sampai ke publik yang menerima informasi sekaligus mendorong dan mengawal implementasi kebijakan.
Di level pemerintah misalnya, Lokataru dan LP3ES baru-baru ini merilis laporan yang kemudian diasosiasikan sebagai ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam merespon Covid-19. Sesungguhnya, apa yang dilakukan di masa-masa awal pandemi memang ada yang salah respon, tapi tidak kemudian semuanya salah.
Beberapa hal yang benar atau setidaknya memiliki basis kajian akademik adalah soal iklim negara tropis dan juga pernyataan terkait penyakit akibat virus bisa sembuh sendiri. Kedua statement ini sesungguhnya ada sumbernya. Statement pertama muncul di jurnal Hindawi, yang kedua ini adalah pengetahuan yang lumrah di kolega dokter. Meskipun keduanya memiliki aturan ‘sesuai syarat yang berlaku.’
Untuk domain pakar, sesungguhnya BNPB maupun Kemenkes beserta IDI dan PDPI juga sudah memiliki kajian masing-masing. BNPB melihat ini sebagai isu bencana non alam yang harus direspon secara berbeda namun taktis. Di sisi lain kajian-kajian medis sesungguhnya juga sudah ada.
Merespon Pandemi
Namun demikian, sebagaimana yang sudah dibuat sebagai panduan, tidak secara otomatis dapat ditangkap dan direspon oleh pemerintah Indonesia. Begitu banyak informasi saintifik baik dari pakar di dalam negeri, pakar di luar negeri maupun WHO. Oleh karenanya, perlu ada saluran yang mampu membuat kajian dan informasi saintifik ini diterima dan diproses menjadi kebijakan.
Pihak ketiga yang tidak kalah penting adalah publik. Setidaknya ada tiga gerakan di publik yang cukup perlu mendapat perhatian: pemuka agama yang mendorong ibadah publik diminimalisasi, gerakan #100jutamasker dan juga KawalCovid19. Pemuka agama dengan melihat bahwa persebaran virus yang begitu massif bermula dari interaksi langsung menginisiasi dan meminta agar persatuan agama membuat aturan pelarangan ibadah-ibadah yang bersifat massif. Larangan shalat Jumat misalnya.
Gerakan Ismail Fahmi tentang masker yang berbasis kajian ilmiah juga perlu diapresiasi. Pun demikian dengan Ainun Najib dengan KawalCovid19-nya yang mengkritisi rilis data dan kebijakan pemerintah Indonesia. Basisnya sama, Sains yang menjadi gerakan dan dorongan untuk kebijakan.
Krisis Kepemimpinan
Kita memang sedang mengalami krisis kepemimpinan. Sebagaimana yang diutarakan Noah Harari (2020), krisis ini merujuk pada bagaimana negara-negara di dunia gagal dalam merespon pandemi. Secara spesifik tentu yang dituju adalah pemimpin-pemimpin di berbagai negara yang terlihat gagap dalam mengambil kebijakan.
Kiranya memang di sinilah kita keliru dalam melihat kepemimpinan. Ketika kita berharap pada pejabat, maka di situlah kita akan dihadapkan pada solusi yang parsial. Solusi yang dibatasi pada kemampuan-kemampuan mereka. Bukan pada solusi berbasis informasi saintifik yang sesungguhnya bisa dikelola untuk menyelesaikan masalah.
Cara memandang kepemimpinan sudah semestinya bergeser dari aktor menuju gagasan, sehingga kita juga tidak disibukkan pada siapa yang mengerjakan satu kebijakan. Melainkan, apa dasar kebijakan ini dibuat dan apa manfaatnya.
Keberhasilan kita dalam menyelesaikan masalah sepenuhnya merupakan kesuksesan kita bersama, sebagaimana jikalau kita gagal itu juga kegagalan kita bersama. Dalam menghadapi Covid-19 ini kita semua sama, presiden, gubernur, walikota sampai rakyat biasa semua berpotensi terkena.
Kepemimpinan Gagasan
Bergesernya cara melihat kepemimpinan dari aktor ke gagasan ini sesungguhnya adalah hal yang urgent dilakukan, selain sebagai solusi untuk mulai mengikis fanatisme dalam berpolitik. Dengan menjadikan gagasan sebagai nahkoda pembuatan kebijakan, maka siapa pun yang memberikan ide perbaikan akan diapresiasi dan tidak di-bully. Bahkan jika itu muncul dari masyarakat yang ternyata usulannya bisa dipertanggungjawabkan.
Raelin (2016) menyebut hal ini sebagai collaborative agency. Seluruh sumber daya yang ada tidak lagi bersifat hirarki melainkan setara untuk menemukan solusi bersama. Kepemimpinan harus mewujud melalui gagasan yang bisa diaktualisasikan, bukan semata apa arahan Joko Widodo, Doni Monardo atau Terawan.
Pada titik ini, maka mengembalikan Sains dan bukti empiris sebagai basis kerja kebijakan adalah sebuah keniscayaan. Membuka ruang keterbukaan Sains menjadi urgent. Orang, baik yang ada di pemerintahan, di jejaring pakar maupun publik memiliki tanggung jawab yang sama untuk berkolaborasi. Dengan keterbukaan Sains, pemerintah, pakar dan publik memiliki informasi serupa yang bisa digunakan untuk membuat kebijakan bergerak secara lebih cepat.
Kebijakan yang dibangun kuat basis Sainsnya, solidaritas di publik pun juga digerakkan berbasis pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan. Data misalnya, bisa di-update dengan lebih baik. Kebutuhan APD sesuai standar juga bisa diperhitungkan. Alat tes dan obat yang lebih tepat bisa juga dipikirkan. Masker untuk masyarakat juga bisa didapatkan. Semua basisnya adalah landasan saintifik sebagai kesamaan gagasan.
Editor: Arif