Tidak bermaksud melakukan penilaian model dakwah beberapa ormas atau pergerakan lain. Tapi mencoba melakukan pendekatan fenomenologis untuk mencandra berbagai peristiwa dakwah Islam yang terjadi di beberapa belahan dunia. Juga memahami berbagai implikasi dan solusi yang ditawarkan berikut dampak sosial yang lahir sebagai akibatnya. Dalam hal ini, khusus membahas pergerakan Salafisme sebagai model dakwah di Semenanjung Balkan, Eropa.
Salafisme Tak Butuh Kantor
Seperti lazimnya pergerakan, Salafisme tak butuh kantor sekretariat. Tak butuh stempel apalagi kertas berkop— itu sudah usang! Terlalu ribet dan membuat lamban bergerak. Kelengkapan organisasi tua yang mulai melamban karena kebanyakan amal usaha. Jamaahnya hanya disibukkan dengan soal soal administrasi yang melelahkan.
Salafisme juga tak butuh struktur pengurus semisal: ketua, sekretaris, bendahara atau majelis-majelis. Tak ada pembagian wilayah geografis seperti: ranting, cabang, daerah, wilayah atau pusat. Bagi Salafisme, semua adalah sama dan tidak memusat atau terdistribusi secara proporsional sesuai kebutuhan.
Dengan model tanpa bentuk seperti ini memudahkan Salafi bergerak, bertindak merumuskan dan mengaplikasi dalam skala aksiologis tanpa harus dibebani rapat pengurus. Salafisme adalah model ideal di tengah masyarakat global yang efisien.
Etno-religius yang Seram
Para peneliti mencari tahu kenapa pluralitas dan multikultural yang pernah ada di Balkan tiba-tiba lenyap dan berganti dengan etno-religius yang seram. Tiga agama yang semula rukun tiba-tiba saling membenci dan saling merusak. Gereja dibakar. Masjid dirobohkan. Menara dibongkar. Tinggal puing yang runtuh dan sisa amuk massa yang terus berkobar.
Yang terjadi, menurut Vjekoslav Perica (2002), dalam Balkan Idol, Religion and Nationalism in Yugoslave States, bukanlah “clash of civilizations” berbasis identitas esensial yang dikonstruksi oleh agama. Tetapi politisasi etno-religius oleh para penguber kekuasaan di kalangan kelompok etnis Serbia yang merasa superior atas dua kelompok etnis tetangganya: Kroasia dan Bosniak-Muslim.
Pasca perang, terjadi pembalikan yang menambah runyam, terutama ketika dana-tunai Arab mengucur di Bosnia-Herzegovina. Sejak itu, khutbah-khutbah fundamentalis meluas bersamaan dengan dibangunnya banyak masjid baru dan munculnya kelompok-kelompok Salafi radikal yang mulai merasuk dan memercikkan perpecahan etnis dan keagamaan intra-Islam.
Meluasnya konflik di Timur Tengah dan meningkatnya ancaman terorisme dari wilayah itu telah membuat Balkan berpotensi menjadi ajang perang baru di Eropa, melalui Balkan.
Salafisme melahirkan etno-religion—sikap merasa paling benar dan superior di atas yang lainnya. Maka konflik internal dimulai dari masjid-masjid dan halaqah. Kemudian makin membesar dan meluas. Etno-religion menolak perbedaan. Menampik pluralitas dan multikultural. Menganggap Salafiisme satu satunya manhaj yang benar dan diridhai.
Semuanya hanya sebatas janggut, isbal, riba, seputar shalat, kemudian melahirkan identifikasi dan klasifikasi thalabul ilmu, al-wala wa al-bara, ilmu bid’ah, ilmu subhat, ilmu sunnah, dan seterusnya. Dari masjid-masjid itu terus meluas hingga ke wilayah sosial dan politik. Yang tampak kemudian, Balkan berubah muram. Khutbah dipenuhi caci-maki saling membalas.
***
The Coming Balkan Caliphate oleh Christopher Deliso (2007) menggambarkan titik-titik api ledakan dari Balkan akibat radikalisasi yang sedang digerakan para fundamentalis Wahabi-Arab itu. Deliso bahkan meramalkan bahwa dalam dua dekade yang akan datang, kawasan ini akan menjadi basis global bagi gerakan jihadis radikal.
Fenomena etno-religion ini telah menyebar memandu pergerakan Salafisme secara eskatologis dan akiologisnya. Fenomena tersebut terjadi dalam bentuk kajian-kajian yang meski terlihat terbuka justru semakin eksklusif. Karena sesama mereka pun juga tidak saling mengenal kecuali ikatan etno-religion sebagai ‘bukhul’ —dan Balkan di Semenanjung Eropa itu telah menerima dampak pengaruh Salafisme dalam skala yang luas dan kurun yang detail tapi memilukan.
Editor: Nabhan