Kolonialisasi negara-negara Barat atas Timur menyisakan beberapa masalah yang sampai hari ini masih lestari. Salah satunya adalah kebencian terhadap orientalisme, suatu usaha Barat dalam mengkaji Timur, khususnya Islam. Jika pembaca pernah mendengar peneliti yang mengatakan bahwa Muhammad bukanlah Nabi, Al-Qur’an itu produk manusia, dll., maka hal itu kemungkinan besar berasal dari kajian orientalisme ini.
Karena pendapat orang-orang Barat tentang Islam yang aneh bagi kita. Hal ini membuat masyarakat Islam sepertinya masih alergi dengan kata “orientalis”. Terlebih akibat kolonialisasi, menyisakan trauma dan anggapan bahwa Barat selalu dipandang sebagai musuh yang berniat menghancurkan umat Islam.
Jika dahulu ada perang fisik untuk menjajah Timur, sekarang Barat menyerang inti ajaran Islam untuk melawan dan melemahkan secara pemikiran. Dari anggapan semacam ini, keluar ungkapan ghazwu al-fikr.
Isu-isu seperti komunisme, marxisme, hermeneutika, feminisme, sekuler, dan liberal yang merupakan produk Barat, ditolak mentah-mentah. Terkadang, mereka yang mempelajari hal-hal ini dan memperjuangkannya dianggap sebagai antek Barat.
Umat Islam sendiri kadang terus memproduksi narasi-narasi untuk memusuhi dan menolak mentah-mentah isu-isu tersebut. Semua dianggap produk berpikir Barat yang juga racun bagi pemikiraan umat Islam.
Membersihkan Kacamata Kita Atas Orientalisme
Penolakan mentah-mentah atas para orientalis dan pemikirannya tentunya tidak bijak. Begitu pula menerimanya secara tidak kritis. Barat dan semua produk pemikirannya harus kita lihat dari konteksnya. Mengapa narasi-narasi yang dihasilkan dari penelitian mereka terlihat memusuhi Islam?
Orientalisme sebenarnya tidak seperti yang dikira umat Islam kebanyakan. Kita selama ini mungkin hanya melihat orientalis dan diri kita sebagai sebuah dikotomi. Kita adalah Islam dan mereka non-Islam, antara muslim dan kafir, yang haq dan yang bathil, baik dan buruk. Hal ini mengeruhkan kacamata kita dalam membaca realitas.
Kenyataannya, orientalis juga manusia yang memiliki rasa ingin tahu. Dengan kekalahan Barat atau dunia Kristen atas Islam dalam perang Salib, orang-orang Kristen awalnya penasaran dengan peradaban Islam. Hal ini yang juga mendorong mereka untuk melakukan kajian terhadap Islam.
Rasa ingin tahu ini yang membentuk fondasi awal orientalisme. Rasa ingin tahu pada awalnya tidaklah lepas dari prasangka. Masyarakat Kristen Eropa yang mengkaji Islam juga dipenuhi dengan prasangka dan ini wajar.
Perlu diketahui bahwa orientalis awal adalah intelektual Kristen, maka hasil kajian mereka kebanyakan tentang teologi Islam. Karena corak awal sangat apologetis, mereka menyusun argumen untuk membantah teologi Islam dalam rangka mempertahankan agama mereka. Sebagaimana ulama Islam dahulu juga demikian.
Berada di Posisi yang Sama
Kita mempelajari Nabi Muhammad sebagai orang suci, dan mungkin melihat Mirza Ghulam Ahmad sebagai orang yang menyimpang. Orang Kristen saat itu juga demikian, melihat Yesus sebagai pembawa ajaran yang benar dan Nabi Muhammad sebagai orang yang menyimpang.
Selain itu, jika kita selama ini meyakini agama kita adalah benar dan kita sedang berada di pihak Tuhan. Lantas mengapa peradaban kita kalah maju dengan sebelah? Itulah yang mereka rasakan ketika meyakini Kristen sebagai agama yang benar sedang kalah dengan peradaban Islam dalam perang Salib.
Sekarang ini pun kita merasakannya. Jika Islam adalah agama yang benar. Mengapa saat ini kita bukanlah peradaban yang menjadi kiblat dunia. Barat yang kita kenal dan labeli sebagai masyarakat kafir, sekuler, liberal, juga kadang ateis, malah terlihat mengungguli Islam dan menjadi kiblat peradaban dunia. Rasa keheranan inilah yang menuntun rasa ingin tahu sebagai manusia.
Mengenal Tradisi Intelektual Barat
Jika kita selama ini hanya belajar agama untuk mengenal Tuhan dan mengamalkan ajaran agama, tidak demikian dengan tradisi intelektual Barat. Itulah alasannya di sana banyak berkembang pusat studi Islam. Bahkan bukan hanya terhadap Islam, mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
Kolonialisasi Inggris atas India adalah contoh yang tepat. Ketika menaklukkan suatu wilayah, Inggris selalu membawa peneliti-peneliti mereka. Tidak ada penakluk sebelumnya yang repot-repot mengumpulkan informasi tentang laba-laba India, membuat katalog tentang kupu-kupu, menyelidiki bahasa-bahasa kuno, menggali reruntuhan yang terlupakan, dll. di India (Yuval Noah Harari, 2017: 353).
Mohenjo-daro adalah salah satu kota kuno yang merupakan pusat kota peradaban pertama di India. Sebuah informasi yang tidak diketahui, bahkan oleh bangsa India sendiri saat itu.
Begitu juga Maurya, Gupta, sultan-sultan Delhi, Mughal sampai dikuasai Inggris pada tahun 1757. Pemimpin muslim yang menaklukkan India sebelumnya tidak memiliki rasa penasaran semacam ini. Inilah yang membedakan Barat dan Timur. Budaya intelektual Barat begitu gemar menghimpun informasi.
Agama pun kaya akan informasi. Ini kemudian yang membuat Barat tidak hanya mengkaji agama sebatas teologinya, namun juga aspek-aspek di dalamnya; sejarah, masyarakat, budaya, dsb. Kritis kepada agama diperlukan untuk kepentingan penelitian. Seperti kajian kritis dalam membaca Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Hal ini bagi mereka juga penting untuk lebih memahami kitab suci. Sebab ada penyalahgunaan teks di dalam kitab suci untuk segelintir kepentingan elit agamawan.
Awal masa Renaissance penuh dengan perlawanan terhadap agama. Gereja saat itu banyak dengan penyalahgunaan kekuasaan sampai menimbulkan terkekangnya aktivitas politik, ekonomi, serta ilmu pengetahuan.
Galileo Galilei dan “Pemberontakan” terhadap Gereja
Galileo Galilei adalah salah satu ilmuwan yang mendapatkan hukuman dari gereja karena penemuannya tentang bumi itu bulat. Padahal, hal itu berlawanan dengan doktrin gereja tentang bumi itu datar.
Pemberontakan kepada gereja juga memunculkan reformasi Protestanisme. Ini adalah dinamika intelektual yang memunculkan kesadaran dan kemajuan berpikir. Pada akhirnya pun gereja segera memperbaiki diri, seperti pada 2008 nama Galileo direhabilitasi oleh Paus Benediktus XVI.
Maka apabila dikatakan bahwa mereka mempelajari Islam untuk menghancurkannya, ini adalah salah kaprah. Barat mengkaji Islam untuk menemukan pengetahuan dan didasari pada sikap kritis yang memang tertanam dalam tradisi intelektual Barat.
Islam sendiri adalah agama belakangan yang mereka kritisi setelah Yahudi dan Kristen (Al Makin, 2015: 67). Ini diteruskan sampai sekarang yang melandasi berdirinya sejumlah pusat studi Islam.
Editor: Zahra