Indonesia merupakan negara yang sangat rawan dengan bencana. Kerugian yang diderita akibat bencana alam pada saat ini sangat erat kaitannya dengan perilaku manusia itu sendiri. Untuk menghadapinya, perlu pemahaman yang mampu menjawab persoalan secara nyata, berdasarkan pada hukum alam dan penelitian. Namun kita terkadang memahaminya dengan narasi yang tidak membangun cara kita untuk menghadapi masalah bencana, bahkan dengan narasi religius.
Mitigasi: Solusi Bencana Alam
Misalnya saja bencana banjir, ia terjadi karena kita gemar menebangi hutan yang ada di pegunungan untuk dijadikan peristirahatan atau kebun hortikultura. Kita juga sangat senang membangun hunian di tepi sungai dan mengabaikan pentingnya pepohonan di sempadan sungai.
Begitu juga penyebaran penyakit, yang biasanya disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat dan tidak menjaga kebersihan. Karena kerugian akibat bencana alam yang disebabkan oleh perilaku manusia, maka pada dasarnya kerugian tersebut dapat dihindari atau dalam bahas kerennya, dimitigasi.
Misalnya saja mitigasi penyebaran virus corona, isu penyebaran penyakit dari satwa ke manusia atau zoonosis sudah digaungkan beberapa puluh tahun yang lalu oleh para ahli. Dan cara yang efektif untuk mencegah zoonosis ini adalah dengan tidak mengganggu kehidupan satwa dan hutan yang menjadi tempat tinggalnya.
Para ahli memprediksi bahwa bencana penyebaran virus corona yang terjadi saat ini tidak akan menjadi yang terakhir kali. Dunia diprediksi akan mengalami beberapa kali pandemi di masa mendatang. Sehingga ketika kita abai dalam mencegahnya, maka kita akan menghadapi dampak yang serius.
Betul bahwa kita tidak bisa menghentikan fenomena alam seperti gunung meletus, gempa yang kerap terjadi di Indonesia, atau penyebaran virus corona seperti saat ini. Namun kita dapat mencegahnya menjadi bencana jika kita mau melakukannya dengan cara-cara yang rasional.
Problem Narasi Religius
Sayangnya, banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa kerugian nyawa dan harta akibat bencana alam sesungguhnya dapat dicegah. Seringkali banyak dari kita melihat kerugian akibat sebuah bencana alam semata sebagai sebuah takdir. Bahkan beberapa mengatakannya sebagai sebuah azab.
Misalnya saja pada saat pandemi Covid-19, banyak dari kita yang tidak mau memenuhi anjuran pemerintah karena beralasan bahwa mati itu urusan Allah. Banyak yang beranggapan kalau belum takdir dirinya tidak akan mati, dan aneka narasi religius lainnya.
Tidak Mengindahkan Kausalitas
Kesalahkaprahan penggunaan ‘narasi religius’ dapat mengakibatkan pencegahan bencana di masa mendatang menjadi lebih sulit. Karena narasi ini pada akhirnya cenderung mengakibatkan matinya logika berfikir kita.
Kita tidak lagi berfikir mengenai sebab akibat sebuah tindakan yang dilakukan manusia dalam sebuah kejadian bencana. Konsekuensinya, kita tidak mencari cara yang sesuai untuk mengurangi kerugian nyawa dan harta akibat sebuah bencana.
Ketika hal ini terekam di alam bawah sadar kita, maka dampak ke depannya tentu saja akan menjadi masif. Indonesia merupakan wilayah yang kaya akan fenomena alam seperti letusan gunung, banjir, hingga tsunami, hingga permasalahan ini tidak bisa dianggap ringan.
Yang Luput dari Narasi Religius
Saya masih ingat ketika kejadian bencana banjir bandang yang melanda kota Garut di tahun 2016. Banyak narasi-narasi religius bertebaran di media sosial. Banyak yang mengatakan kejadian itu adalah azab kepada masyarakat di kota Garut yang katanya banyak berbuat maksiat. Ini adalah narasi yang menurut saya tidak masuk akal. Hingga saat ini, Garut adalah salah satu wilayah di Indonesia yang banyak berdiri pesantren.
Menariknya, fakta bahwa kejadian banjir bandang terjadi karena penggundulan hutan di hulu sungai Cimanuk yang berada di Gunung Papandayan justru tidak pernah disinggung. Akibatnya alih-alih memperbaiki lingkungan untuk mencegah terjadinya bencana, kita lebih senang memperbanyak ritual ibadah kita.
Sejatinya, ia tidak akan mengurangi potensi terjadinya bencana banjir bandang di masa mendatang sepanjang lingkungannya tetap rusak. Bahkan sampai sekarang pun masih banyak narasi religius yang media sosial mengenai bencana alam, seperti tsunami Aceh yang katanya sebagai azab Allah.
Yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa kita lalai untuk menata permukiman kita untuk menjauhi pantai. Perlu disadari bahwa alam Indonesia diciptakan oleh Allah berada di pertemuan lempeng benua yang selalu bergerak dan dapat memicu terjadinya tsunami kapan saja.
***
Siapa pun boleh berargumen bahwa kedekatan dengan Allah akan menjauhkan dari bencana karena itulah yang tertulis di kitab suci al Quran. Tapi perlu diingat pula bahwa Allah juga memerintahkan kita untuk memperbaiki nasib kita sendiri, karena Allah tidak akan memperbaiki jika kita hanya berdiam diri.
Kita harus menyadari bahwa kita hidup di alam Indonesia yang banyak memiliki fenomena alam yang berpotensi menjadi bencana. Potensi bencana yang akan terjadi dapat menimbulkan kerugian nyawa dan harta, jika kita tidak mencegahnya.
Editor : Shidqi Mukhtasor