Artikel “Insularitas Akademik” yang terbit di Kompas (13/5) ternyata telah menimbulkan kemarahan sejumlah orang. Kemarahan itu terutama terkait kutipan kata-kata dari Vedi R Hadiz di paragraph ke-12, “Banyak peneliti kita yang memiliki mental pedagang kaki lima, bukan peneliti …”. Referensi kutipan itu adalah diskusi yang diadakan di Pusat Riset Kewilayahan (PRW), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tentang “Academic Insularity” pada 7 Maret 2023.
Beberapa waktu sebelumnya, ketika kutipan tersebut saya share ke kelompok terbatas, seseorang sudah mengingatkan tentang kemungkinan respons yang muncul jika kalimat itu disebarkan di kalangan yang lebih luas atau secara terbuka di media sosial. Dugaannya ternyata benar. Ibaratnya, dengan menggunakan kata-kata dari Vedi Hadiz tersebut saya menyiramkan bensin terlalu banyak untuk tujuan menyalakan api kecil. Sehingga api malah membara dan sulit dimatikan. Dengan kalimat itu, saya seperti menyalakan api kompor yang terlalu besar padahal tujuannya sekadar hendak menghangatkan makanan. Api itu membakar apa yang sebetulnya tidak menjadi sasaran. Kalimat itu seperti pukulan atau pijatan tukang urut yang terlalu keras sehingga menyebabkan kemarahan atau teriak dari orang yang dipijit. Kalimat itu terlalu pedas sehingga banyak yang tak nyaman.
Meminjam istilah Made Supriatma dalam status Facebook-nya (15/5/2023) yang berjudul “Academia as a Vocation”, ada yang justru menjadikan kata-kata “peneliti bermental pedagang kaki lima” itu sebagai “badge of honor” (lencana kehormatan) untuk dirinya dengan menaruhnya di bio sosial media yang dimilikinya. Ada lagi yang mempertanyakan bahwa penulis tidak pernah membaca koran semacam Suara Karya dan Berita Buana ketika dulu tahun 1980-an akademisi Indonesia menuliskan teori-teori ekonominya di koran-koran tersebut, seperti “Sistem ‘Pool Lelang’ sebagai Alternatif dalam Meningkatkan Taraf Bersaing Karet Rakyat” (Suara Karya 21/10/1982). Ini respons terhadap poin terkait dengan lebih banyaknya akademisi asing yang menulis teori berdasarkan kajiannya tentang Indonesia, seperti dual economy, sementara kita hanya melakukan studi kasus.
Ada yang secara menarik menulis artikel “Demokratisasi Pengetahuan” sebagai komentar serius terhadap artikel di atas. Ada yang mengusulkan melakukan sebuah gerakan perlawanan sebagai sikap untuk melawan tulisan itu. Ada yang mengkritik Vedi Hadiz sebagai orang yang tak paham kondisi akademik di Indonesia. Ada yang menyebutkan bahwa “Anggapan bahwa dunia akademik kita mengalami insularitas itu adalah bentuk dari insularitas itu sendiri”. Ada yang menuliskan bahwa itu bukanlah insularitas, tapi inferioritas. Sebuah anggapan yang mungkin tak merasa adanya ketinggalan dan justru merasa kita sudah besar, popular, dan disegani. Kita hanya kurang percaya diri saja.
Tujuan dari kutipan itu sebetulnya ingin menunjukkan bahwa penyebab insularitas itu beragam. Tak hanya birokrasi, teknokratisme, feodalisme, dan persoalan gaji. Tapi bisa juga terkait individu atau aktor akademik. Penyebab insularitas itu ada yang bersifat makro (kebijakan pemerintah dan berbagai regulasi yang ada), meso (di dalam pengelolaan organisasi atau institusi akademik sendiri), dan juga bisa mikro (individu dosen dan periset) (Rochman Achwan 2017, 467). Misalnya, untuk yang mikro, bisa muncul karena habit atau kebiasaan yang tak mendukung berkompetisi secara global. Sama seperti ketika berbicara tentang renewable energy yang sebetulnya tidak hanya terkait kemampuan membuat atau membangun teknologi terbarukan, tapi ada juga yang terkait persoalan kultural. Seperti tak mematikan AC atau lampu dan membuang sampah sembarangan.
Seperti pernah saya tulis di “G20 dan Energi Terbarukan” (Kompas, 19/3/2022), dalam artikel yang berjudul “The cultural barriers to renewable energy and energy efficiency in the United States” (2009), Benjamin Sovacool menguraikan tentang berbagai persoalan kultural terkait transisi menuju energi terbarukan. Ia menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak paham bagaimana listrik atau energi itu dibuat. Mereka lantas cuek dalam penggunaannya, tak terlalu peduli dengan dampaknya atau merasa masih memiliki cadangan sumber daya alam yang banyak dan kaya. Mereka tidak paham kalau banjir dan panas yang ekstrem itu diantaranya disebabkan oleh kebiasaan kita dalam mengkonsumsi energi. Mereka ingin agar harga bakar kendaraan itu selalu murah, memprotes kalau ada kenaikan harga, dan tak terlalu peduli terhadap polusi yang diciptakan. Sovacool berkesimpulan bahwa tantangan terberat dalam transisi menuju energi terbarukan itu sebetulnya bukan terletak pada “engineering and science” (rekayasa dan sains), tapi pada “culture and institutions” (budaya dan kelembagaan).
Contoh lain yang begitu jelas di depan kita tentu saja terkait Covid-19. Halangan untuk mengatasi penyebaran Covid-19 banyak terletak pada sikap kita, seperti tetap mengadakan kumpul-kumpul ketika penyebaran Covid-19 sedang pada masa ganasnya dan tidak memakai masker. Ketika vaksinasi digalakkan, ada individu atau daerah yang menolak dan menghalangi mobil yang akan masuk ke daerah itu untuk melakukan vaksinasi. Di sini telihat faktor mikro yang berupa individu atau aktor itu juga berkontribusi besar dalam sukses dan gagalnya sebuah program.
Inayah Rakhmani sebetulnya sudah pernah menuliskan isu insularitas akademik ini di The Conversation, juga di blognya, dalam laporan untuk Knowledge Sector Initiative (KSI), dan juga secara utuh di artikel “Reproducing Academic Insularity in a Time of Neo-Liberal Markets: The Case of Social Science Research in Indonesian State Universities” yang diterbitkan oleh Journal of Contemporary Asia (2019). Namun sepertinya respons yang muncul tak pernah seheboh saat ini. Selain respons di atas, tentu banyak juga yang melihatnya secara positif, sebagai food of thought, sebagai refleksi terhadap dunia akademik kita.
Saya kemudian mendengarkan rekaman Youtube dari Forum Diskusi Budaya (FDB) yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tentang Between Decolonization and Intellectual Nativism yang diselenggarakan pada 20 Maret 2023, terutama yang disampaikan oleh Wahyudi Akmaliah. Apa yang saya tulis di artikel “Insularitas Akademik” terlihat sebagai shadow saja, atau bahkan mungkin hanya sekadar catatan kaki, dari apa yang disampaikannya di acara itu. Materi yang disampaikan Wahyudi di acara itu sebetulnya berdasarkan tulisannya yang sangat bagus berjudul “Between Decolonization and Intellectual Nativism: Seeking the Indonesian Alternative Discourse on Social Sciences” yang terbit di Southeast Asian Social Science Review (2022).
Memang sulit atau tidak bisa mempersoalkan mereka yang mengambil side jobs atau, dengan bahasa lain, mereka yang nyambi selama persoalan gaji atau remunerasi bagi dosen dan periset belum diselesaikan. Hal yang bisa dipersoalkan barangkali adalah proporsi dari side jobs tersebut. Kalau lebih banyak menyita waktu daripada pekerjaan utama, tentu itu tak proporsional.
Sebagai penulis tentu saja saya tak berharap ada kontroversi seperti itu. Saya tak menduga dengan respon beberapa orang yang ditulisnya di media sosial. Waktu menulis artikel itu, ada harapan agar kita terlecut dan bergerak untuk keluar dari insularitas, bukan tujuan lainnya.
Editor: Soleh
Salam kenal Prof. Najib… tulisan Prof selalu menarik…apus, apalagi kalau komentar tentang “nyambi tidak nyambi”, bagi saya itu bagaikan “tulur dulu atau ayam dulu” atau “ayam dulu atau telur dulu”? hahaha…