Perspektif

Santri Indonesia: dari Literasi Teks ke Literasi Digital

3 Mins read

Di Indonesia, Hari Santri Nasional (HSN) diperingati setiap tanggal 22 Oktober. HSN ditetapkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 15 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal, Jakarta.

Pertimbangannya adalah karena ulama dan santri mempunyai peran besar dalam Kemerdekaan RI. Dua personal ini, tidak dimungkiri melakukan pergerakan dalam pengusiran penjajah menuju Kemerdekaan RI. Banyak tokoh ulama yang terlibat dalam upaya ini. Sehingga, dipandang tepat, pemerintah menghargai mereka dengan penetapan tanggal tertentu pada setiap tahun.

Santri menjadi potensi demografis yang luar biasa. Mereka menyebar di setiap pondok pesantren di Indonesia dengan ragam bentuk atau corak pesantren. Santri menjadi personal penting dalam kajian keislaman di Indonesia, yang memiliki corak unik dibanding dengan tradisi keilmuan di luar negeri.

Hubungan keilmuan antara santri dan kiai tidak hanya pada sisi edukatif dan kajian. Hubungan keduanya bersifat pula tabaruk. Kajian ilmu yang mendalam dan keberkahan dalam ilmu serta kehidupan, menjadi ciri utama jalinan sosial pendidikan yang ada di pesantren. Jalinan ilmu ini bisa dihubungkan dengan tradisi literasi. Literasi menjadi bagian utama dalam pemahaman ilmu.

Tradisi Teks Santri

Pada beberapa dekade ke belakang, santri belajar di pesantren umumnya menggunakan rujukan sesuai arahan kiai. Kitab yang dikaji berbentuk karasah dan majlad, sesuai dengan kurikulum yang diberlakukan.

Karasah tampak tak berjilid yang memudahkan santri membuka halaman yang dituju dan biasanya tipis. Karasah biasanya pula digunakan bagi santri pemula. Berbeda dengan majlad, kitabnya cukup tebal, dijilid rapi, halamannya melebihi ratusan, dan biasanya digunakan untuk santri yang sudah kompeten pada tingkat dasar.

Hampir pada setiap pesantren tradisional, pemberlakuan kurikulum sesuai dengan pengalaman kiainya. Mungkin, apabila ditelusuri di lapangan, fenomena seperti ini masih ada. Referensinya adalah kitab klasik. Kitab yang dikaji dijadikan rujukan bersama antara santri dan kiai. Sebelum tuntas satu kitab, tidak pindah pada kitab lainnya. Pola pembelajaran mastery learning berbasis pemahaman teks klasik tetap dipelihara. Rupanya untuk menjaga keajegan transmisi ilmu antara kiai dengan santri.

Baca Juga  PCNU Kota Singkawang, YPP Miftahul Ulum Al-Hady Singkawang, dan Kemenpora RI Gelar Santripreneur

Literasi teks dilaksanakan dalam bentuk sorogan dan bandongan. Dua model pengajian ini sangat melekat di dunia pesantren dan sudah mengakar. Atau tidak salah, apabila disebut sebagai ciri khas pesantren. Teks demi teks disebutkan dari kiai kepada santri kemudian diterjemahkan, santri mengulangi bacaan. Begitu seterusnya, sampai dipandang lancar dan mampu membaca, menerjemahkan, dan memahami kitab.

Alur tersebut sangat kentara pada literasi teks sorogan.  Untuk menguatkan pemahaman, bandongan diterapkan secara berbeda dengan sorogan. Bandongan dilakukan secara kolektif, kiai membaca dan menjelaskan kitab pada sekelompok santri. Santri mendengarkan dan mencatatnya.

Tradisi ini masih melekat hingga sekarang. Kitab demi kitab pada umumnya diselesaikan dengan kedua metode ini. Interaksi langsung antara kiai dan santri menguatkan proses keilmuan yang memiliki kohesivitas dalam dunia pengajian kitab. Namun, biasanya kedua metode ini, telah ditentukan jenis dan nama kitab sekaligus pencapaian ketuntasan pengajiannya, yang biasa disebut dengan khatam.

Berseger ke Literasi Digital

Akibat perkembangan IT, referensi keislaman dapat mudah dijamah dan dibaca melalui media internet pada situs-situs penyedia referensi. Kenyataan ini memberikan kemudahan para santri bahkan kiai dalam mencari referensi terutama pada kitab yang cetakan fisiknya belum banyak beredar.

Dengan fasilitas IT dan keakraban dalam menggunakannya, dengan klik atau mengetik di mesin pencari data, kitab yang diinginkan mudah didapat dan diunduh. Fenomena ini sudah banyak digunakan oleh kalangan pesantren seiring dengan perkembangan teknologi IT. Perkembangan ini diadopsi positif dalam kerangka pencarian keilmuan.

Pergeseran literasi menjadi kentara, dari teks cetak ke literasi digital. Santri sudah akrab dengan dunia literasi digital. Dari tumpukan kitab dalam lemari berubah menjadi disimpan dan ruang digital berupa folder atau repository tertentu. Ratusan bahkan ribuan kitab sebagai referensi disimpan dalam “dunia awan” di internet. Keakraban dalam IT mendukung dalam fasilitasi pencarian dan penelaahan referensi.

Baca Juga  Muhammadiyah: Semangat Pembaharuan untuk Kebangsaan dan Kemanusiaan

Pemandangan terebut tidak hanya muncul di pesantren dengan kategori modern. Di beberapa pesantren yang masih mempertahankan tradisionalitas pengajian, pengaruh digital cukup mengemuka pula. Seolah, dunia digital tidak lagi menyekat tipologi pesantren. Selama sinyal kuat dan kuota internet cukup, kapan dan dimana pun, mereka dapat melakukan searching dan downloading.

Berkat perkembangan digital, pencarian frase, teks, atau bahkan nama kitab tertentu dapat dilacak dengan mudah. Satu kali menulis pada mesin pencari atau menu search pada situs tertentu, apa yang dicari akan langsung ditemukan.

Beberapa dekade lalu, melakukan takhrij al-hadits cukup lama dilakukan bahkan harus melacak beragam kitab hadis, belum lagi membuka daftar isi dan halaman yang dituju. Mungkin bisa berhari-hari. Hari ini, melalui digital, beberapa detik, hadis yang dicari bisa langsung terlacak dan ditemukan.

***

{Pergeseran budaya literasi menjadi fenomena kultur dalam dunia pesantren. Adopsi, adaptasi, dan kulturalisasi seolah menjadi keniscayaan dalam mengarungi lautan dunia thalab al-‘ilm.

Pencarian ilmu yang semula berbasis teks kertas bergeser ke teks digital. Santri Indonesia tengah mengalami transisi positif untuk bersinergi antara keilmuan dengan fasilitas IT.

Meskipun fenonema ini menjadi kenyataan tak terbantahkan, ada pesan indah yang mesti tetap diindahkan. Keberkahan ilmu sekaligus sanad ilmu tidak bisa hanya dengan layanan IT. Berguru langsung pada kiai tetap menjadi kunci utama. Sebab mata rantai ilmu, tidak bisa bersambung dalam jalinan matriks data digital. Tatap muka langsung atau mushahabah menjadi penentu rantai keilmuan keislaman yang sampai saat ini tetap dijadikan acuan.

Editor: Yahya FR

Avatar
38 posts

About author
Pembelajar Keislaman, Penulis Beberapa buku, Tim Pengembang Kurikulum PAI dan Diktis
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *