Khutbah Jumat terdiri dari beberapa unsur penting yang harus ada dalam sebuah khutbah yaitu, al-muqaddimah (pembukaan), al-‘ard (tampilan), ad-tadlīl (keterangan) dan al-khatimah (penutup).
Khutbah terdiri dari beberapa alinea. Khutbah yang menarik menggunakan kalimat secara pendek-pendek, kata-katanya jelas dan mempunyai arti yang dalam. Setiap dua kalimat atau lebih kadang-kadang diakhiri dengan huruf yang sama, ringkas, dan di dalamnya terdapat kata-kata hikmah, peribahasa, dan bait-bait puisi.
Khutbah (pidato) merupakan serangkaian perkataan yang jelas dan lugas yang disampaikan kepada halayak ramai dalam rangka menjelaskan suatu perkara penting. Sejarah mencatat bagaimana khutbah Thariq bin Ziyad ketika beliau dan pasukannya yang ditugaskan untuk menaklukkan Andalusia. Tepatnya pada bulan Rajab tahun 97 H (Juli 711 M), di selat Giblaltar, di atas perbukitan karang setinggi 425 m di pantai tenggara spanyol. Dan nama Andalusia pada masa kini telah berganti nama dengan Spanyol.
Namun saat ini, dalam khutbahnya, para khatib (juru pidato) tidak jarang mengisi semua pidatonya dengan ayat-ayat Al-Qur`an saja. Tak mengherankan jika banyak jamaah yang justru bosan, mengantuk, bahkan tidur, akibat materi yang tidak membawa kesan baru atau keterkejutan.
Khutbah Berbalut Sastra
Maka, di antara metode yang harus digunakan agar khutbah terdengar menarik adalah, khutbah yang dibungkus dengan sastra. Penjelasan ini akan dilanjutkan dengan identifikasi majas yang bisa digunakan pada saat khutbah Jumat. Majas yang juga disebut figurative language adalah bahasa kias yang digunakan untuk menciptakan efek tertentu yang dapat menimbulkan kesan imajinatif bagi pendengar atau pembacanya.
Majas merupakan hal penting yang harus dikuasai oleh seorang khatib karena dengan majas itulah dia dapat memberikan efek keindahan berbahasa, memperjelas maksud yang hendak disampaikan, memberikan daya dorong yang pada akhirnya dapat meyakinkan para jamaah agar terpengaruh untuk mengikuti dan melaksanakan anjuran atau nasihatnya.
Majas dan Jenis-jenisnya
Beberapa jenis majas yang dapat dipergunakan dalam khutbah Jumat, antara lain majas pertentangan, majas personifikasi, majas litotes, majas sinisme, majas klimaks, majas antiklimaks, majas retoris, dan majas tautologi.
1. Majas Pertentangan
Majas pertentangan adalah majas yang mempertentangkan dua pernyataan. Pernyataan kedua merupakan kebalikan dari pernyataan yang pertama.
Pengkontrasan ini biasa digunakan untuk memperkuat atau mempertegas suatu situasai tertentu guna mendapatkan perhatian para jamaah. Yang kemudian perhatian mereka akan dibawa pada suatu situasi tertentu agar mereka terpengaruh dengan ujaran-ujaran yang disampaikan khatib. Di bawah ini disajikan salah satu majas pertentangan yang digunakan pada khutbah Jumat.
“Begitu banyak kejadian-kejadian yang bisa kita lihat orang yang seharusnya kita jadikan suri tauladan tetapi justru sangat buruk tingkah lakunya. Orang seharunya kita jadikan panutan hancur budi pekertinya.”
Kalimat ini bisa digunakan misalnya, pemimpin yang seharunya berprilaku baik, seperti sabar, adil, bijaksana, dan dapat dipercaya. Tetapi perilakunya justu lebih buruk daripada perilaku orang yang dipimpinnya, seperti berbuat semena-mena, mengingkari janji, korupsi, dan perbuatan tercela lainnya.
2. Majas Personifikasi
Personifikasi adalah majas yang mempersamakan benda dengan sifat manusia, sehinga benda-benda tersebut seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. Penggunaan beberapa teknis majas personifikasi antara lain.
“Marilah kita kejar terus kekurangan kita.” atau “Sehingga dari hari ke hari, dosanya malah bertambah banyak dan berkarat yang akibatnya akan menggerogoti imannya.”
3. Majas Litotes
Litotes adalah bahasa kias yang mengecilkan kenyataan yang sebenarnya dan bertujuan untuk merendahkan diri penutur.
Dalam berdoa misalnya, seorang muslim selalu merendahkan dirinya serendah mungkin dan meninggikan Allah SWT, setinggi mungkin, sebagai tempat kita menyembah dan memohon pertolongan. Logikanya adalah yang meminta pertolongan adalah pihak yang lemah dan yang memberi pertolongan adalah pihak yang lebih kuat.
“Dari sekian banyak perintah-Nya, tentu masih ada perintah yang belum kita penuhi, apalagi larangan-larangan-Nya tentu masih banyak yang kita terjang atau lakukan.”
4. Majas Sinisme
Sinisme adalah bentuk sindiran secara langsung. Majas sinisme dapat digunakan untuk mengkritik, menyindir, atau mengecam perilaku atau sifat-sifat orang yang merugikan banyak orang yang tidak patut atau tidak layak untuk ditiru. Sindiran itu dapat ditujukan kepada orang per orang, sekelompok orang (golongan), penguasa, masyarakat umum, siapa saja.
“… Ia beranggapan bahwa dosanya masih relatif sedikit, lalu ia berusaha untuk memperbanyak dosa bahkan ia merasa bahwa dirinya tak mempunyai dosa hingga ia enggan untuk taubat.”
“Kita sering dengar ada kecongkakan ilmiah di perguruan tinggi. Banyak orang yang merasa sombong karena ilmunya.”
5. Majas Klimaks
Majas klimaks dan antiklimaks menggunakan pemaparan pikiran atau hal secara berurutan dari hal yang sempit menuju kepada hal yang lebih luas. Dari hal yang kurang penting, menuju kepada hal yang lebih penting (klimaks), atau sebaliknya dari hal yang luas menuju hal yang lebih sempit (antiklimaks).
“Waktu bergulir dari saat ke saat, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun.”
“Siapapun setiap manusia adalah pemimpin, mereka adalah pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang kita pimpin. Mulai dari pimpinan negara, pimpinan provinsi, pimpinan kabutan, pimpinan instansi, lembaga, sampai pimpinan rumah tangga, bahkan pimpinan terhaap diri sendiri inipun, jamaah yang dimuliakan Allah, kelak akan dimintai pertanggung jawaban.”
6. Majas Retoris
Majas retoris adalah majas yang menggunakan kalimat pertanyaan (modus intogratif) yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut. Sehingga pertanyaan seperti ini tidak memerlukan jawaban. Dalam khutbah Jumat, pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh khatib bukan dimaksudkan untuk dijawab oleh jamaah karena jawabannya sudah diketahui oleh khatib.
Di samping itu, sebenarnya khatib secara pasti sudah mengerti bahwa jamaah tidak mungkin menjawabnya karena selama mengikuti ritual khutbah Jumat jamaah tidak boleh berbicara.
Sebenarnya, pertanyaan yang disampaikan khatib dimaksudkan untuk memberikan penegasan pada permasalahan yang sedang diuraikan. Penegasan tersebut diperlukan untuk meyakinkan atau untuk menyindir jamaah dengan tujuan agar pertanyaan tersebut direnungkan atau dihayati yang pada akhirnya jamaah mau menjalankan pesan yang terdapat di balik pertanyaan-pertanyaan tersebut.
“Siapa yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?”
“Untuk apa Allah memberikan umur kepada kita?”
“Untuk apa ilmu yang anda miliki itu? apakah dimanfaatkan untuk kepentingan lain? atauka untuk sombong-sombongan?”
Tautologi adalah gaya bahasa yang menggunakan kata lain yang memiliki kemiripan makna yang bertujuan untuk penegasan. Dalam gaya bahasa tautologi, terjadi pengulangan kata yang berbeda tetapi memiliki makna yang hampir sama.
“Dan di dalam hal-hal apa harta itu dinafkahkan? Ditasarufkan? Dimanfaatkan untuk orang-orang yang membutuhkan?”
7. Majas Tautologi
Dalam rangka memengaruhi jamaah, seorang khatib sering menggunakan ceritera, kisah, atau riwayat. Baik kisah tentang nabi, sahabat, dan Rasulullah, maupun kisah atau ceritera yang terjadi pada masa kini yang relevan dengan topik bahasan.
“Jamaah yang dimuliakan Allah, dikatakan dalam sebuah riwayat bahwa kabarnya hajar aswad pada saat itu pernah harus dipindahkan dari tempatnya. Karena terkena bencana alam atau banjir dan sebagainya. Ada seorang tokoh yang pada saat itu mengatakan orang yang berhak memindahkan hajar aswat ke tempatnya adalah mereka yang pertama kali ke tempat ini. Setelah diadakan penelitian dengan seksama, yang mungkin kalau sekarang sudah ilmiah maka diketahuilah bahwa nabi Muhammad yang berhak meletakkanya. Tetapi karena diketahui banyak kepala suku di sana, orang yang berkepentingan untuk melettakan batu (hajar aswat) demi prestise mereka dan kelompoknya, maka begitu ditunjuk oleh Umaiyah, “Hai Muhammad, engkau yang berhak meletakkan batu ini ke tempatnya.” Nabi Muhammad dengan senyum mengatakan, “Alhamdulillah, aku terima segala kepercayaan, tetapi biarkan aku yang mengaturnya.” Di luar dugaan, Nabi Muhammad mengambil selembar kain yang besar sudah barang tentu kemudian batu itu diletakkan di tengah-tengah, diminta semua kepala suku, kabilah yang ada untuk bersama-sama mengangkat batu hitam itu ke tempatnya.”
Kemudian, hal lain yang harus kita perhatikan adalah proses editing. Proses ini diperlukan agar materi khutbah tidak terlalu panjang sehingga memakan waktu lama. Padahal, nabi Muhammad SAW mengajurkan kita untuk memendekkan khutbah. Agar tidak terlalu panjang, naskah khutbah Jumat harus disusun secara sudut pandang (angel) yang fokus sehingga analisa yang disajikan menjadi jelas.
Tahap selanjutnya yang lebih penting adalah tahap dokumentasi. Tahap ini dilakukan pasca pelaksanaan khutbah Jumat. Ke depan, kumpulan khutbah Jumat tersebut dapat diterbitkan dalam bentuk buku sehingga dapat termanfaatkan dengan sangat baik. Selain itu, dokumentasi tersebut menjadi acuan agar tema atau pembahasan ke depan harus digunakan dalam perspektif yang beda sehingga tidak melulu materi yang dibulak-balik setiap tahun.