Bahagian Taman Pustaka yang sekarang bernama Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) sebagai karya bersejarah telah memasuki usia seabad pada tahun 2020 (17 Juni 1920-17 Juni 2020). Jika berdasarkan kalender Hijriyah, pada 2019 lalu usianya sudah menyentuh seratus tahun bergerak melintasi zaman, menggerakkan pengetahuan.
Tahun 1920 dapat dikatakan sebagai tahun kelahiran Taman Pustaka melalui Bahagian Taman Pustaka Muhammadiyah. Karena sumber menunjukkan bahwa pada 17 Juni 1920 bagian ini dibentuk melalui sebuah rapat nan sederhana, khidmat, dan monumental.
Kiai Haji Ahmad Dahlan sendiri yang menunjuk Haji Mochtar dalam rapat istimewa dan terbatas di Gedung Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah yang terletak di Kampung Kauman, Yogyakarta. Bagian Taman Pustaka salah satu urusan pentingnya adalah mengurus biblioteka Muhammadiyah dan penerbitan majalah serta percetakan. Urusan Taman Pustaka dalam bentuk perpustakaan rakyat muncul di berbagai daerah sebagai upaya membangun masyarakat melalui jalur literasi.
Keyakinan pentingnya bangunan literasi sebagai upaya pembangunan manusia seutuhnya ini jelas adalah hasil perenungan jernih dan visioner KH Ahmad Dahlan. Sehingga empat ‘majelis’ utama dan pertama yang diperlukan Muhammadiyah saat itu salah satunya adalah urusan kepustakaan (baca: Majelis Pustaka).
***
Tulisan-tulisan yang penting yang menjadikan tulisan ini lahir adalah karena artikel-artikel apik yang disajikan Muarif, sejarawan Muda Muhammadiyah dan juga beberapa penggalan artikel dalam buku-buku yang berinteraksi dan dilahirkan dengan dan oleh Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah. Dalam salah satu ensiklopedia Muhammadiyah yang dicetak tahun 2005, HM Mochtar sebelum dilantik sebagai pengurus Bahagian Pustaka menyampaikan visi luar biasa:
“Hoofdbestuur Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka akan bersungguh-sungguh berusaha menyiarkan agama Islam yang secara Muhammadiyah kepada umum, yaitu dengan selebaran cuma-cuma, atau dengan Majalah bulanan berkala, atau tengah bulanan baik yang dengan cuma cuma maupun dengan berlangganan; dan dengan buku agama Islam baik yang prodeo tanpa beli, maupun dijual yang sedapat mungkin dengan harga murah. Dan majalah-majalah dan buku-buku selebaran yang diterbitkan oleh Taman Pustaka, harus yang mengandung pelajaran dan pendidikan Islam, ditulis dengan tulisan dan bahasa yang dimengerti oleh yang dimaksud. Bahagian Taman Pustaka hendak membangun dan membina gedung TAMAN PUSTAKA untuk umum, di mana-mana tempat dipandang perlu. Taman Pembacaan itu tidak hanya menyediakan buku-buku yang mengandung pelajaran Islam saja, tetapi juga disediakan buku-buku yang berfaedah dengan membawa ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemajuan masyarakat bangsa dan negara yang tidak bertentangan kepada agama terutama agama Islam.”
HM Mochtar secara eksplisit bahwa sebuah perpustakaan umum di lingkungan Persyarikatan (Muhammadiyah Kudus pernah punya “Taman Pembacaan Rakyat”) mempunyai karakter: 1) inklusif. Artinya tidak punya tendensi ruang baca-belajar ini hanyalah untuk anggota Muhammadiyah semata. 2) Aksesibel. Artinya bacaan dapat diperoleh secara murah bahkan cuma-cuma.
Dalam zaman sekarang ini sudah banyak tumbuh perpustakaan komunitas yang suka berbagi bahan bacaan secara gratis. Bahkan tanpa syarat sebagaimana yang dilakukan Taman Pustaka yang berbentuk dan bermodel dakwah Komunitas literasi. Ya, gerakan Taman Pustaka ini telah menginsipirasi ribuan taman baca dengan ciri proaktif, tidak birokratis, dan gratis. Kini telah dimanfaatkan banyak orang di berbagai pelosok Indonesia. Termasuk, nyala terang gerakan literasi dalam Rumah Baca Mahardika yang dipelopori UMY di Kokoda, Papua, beberapa tahun silam.
Seabad Gerakan Literasi Muhammadiyah
Seratus tahun gerakan literasi Muhammadiyah adalah tilas dan jejak tak terlupakan akan kemegahan gerakan Islam Indonesia—Islam modern yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat memajukan kehidupan umum. Bibliotheek Muhammadiyah atau disebut ‘Gedoeng Boekoe’ tak lebih tak kurang adalah perpustakaan yang kita kenal hari ini atau yang kita kenal sebagai taman pustaka atau sejenis rumah baca yang terbuka bagi siapa saja yang hendak memintarkan dirinya.
Bibliotheek yang digarap Bagian Taman Pustaka adalah konsep pelayanan perpustakaan oemoem alias perpustakaan inklusif (terbuka/accessible) yang belum lama ini digaungkan Perpustakaan Nasional RI. Tetapi Muhammadiyah telah memulai seratus tahun lalu. Muhammadiyah dengan Taman Pustakanya memanglah punya visi yang jauh melampaui zamannya. Inilah sekilas rekam jejak satu abad Taman Pustaka 1920-2020.
Fakta sejarah Muhammadiyah yang menempatkan literasi sebagai bagian utama dan prioritas adalah senada dengan gerakan pencerahan dalam tradisi Islam di berbagai penjuru dunia pada zaman keemasan Islam. Potret Muhammadiyah dan keberpihakannya pada gerakan ilmu adalah wujud nyata bahwa Muhammadiyah adalah salah satu pembawa obor terang zaman—meminjam bahasa Paderson, “fajar intelektulisme Islam.”
Saya kira dengan kiprah Suara Muhammadiyah (SM) yang mulai terbit edisi pertama tahun 1915 baik yang berbahasa Melayu (nasionalisme) atau yang berbahasa lokal jelasnya peran literasi yang tak dapat dihapus dari sejarah. Muhammadiyah adalah as-sabiqu al-awwalun dalam gerakan literasi atau gerakan iqra, atau pers Islam dan ternyata itu langgeng sampai kini melampaui seratus tahun.
***
Suara Muhammadiyah juga telah mendokumentasikan secara paripurna apa yang dicapainya kecuali satu edisi pertama yang belum ditemukan. Dr Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhamamdiyah hari ini adalah potret tokoh yang tumbuh dan berkembang pesat dalam tradisi taman pustaka Muhammadiyah, yaitu sebagai anak muda yang berkiprah sebagai jurnalis majalah Suara Muhammadiyah.
Capaian SM hari ini sungguhlah capaian yang dirawat dan diperjuangan secara keras dan tidak mudah. Dan itu juga harus ditulis dalam sejarah pembangunan bangsa bahwa Bagian Taman Pustaka mengasuh Suara Muhammadiyah pada periode-periode berat tahun 1920-an yang masih gulita akan nasib sebuah bangsa belum merdeka.
Dengan demikian, pegiat dan penggerak literasi di dalam Muhammadiyah dan Komunitas warga Muhammadiyah haruslah penuh kepercayaan diri dan dedikasi yang kuat seperti kaum jihadis pengetahuan dalam Muhammadiyah seratus tahun silam. Dengan mengambil kekuatan dari sejarah perjuangan literasi Muhammadiyah ini, pegiat harus penuh inspirasi untuk mendayagunakan kreativitasnya, memobilisasi sumberdaya, memperkuat amal jariyah bidang ilmu pengetahuan.
Mengapa? Karena kita adalah perintis dan pelopor, sekaligus penggerak, dan tugas sekarang adalah sebagai pembangkit kembali spirit pencerahan dengan jalan menggerakkan pengetahuan seluas-luasnya, seadil-adilnya, dan radikal-radikalnya. Tanpa itu, kita malu pada sejarah perjuangan para pembawa obor pengetahuan di Muhammadiyah yang hidup di zaman tuna kemerdekaan.
Indonesia atau Nusantara ini jelas sangat berhutang besar pada kenekadan dan jihad akbar Taman Pustaka yang diperankan Muhammadiyah. Muhammadiyah melakukannya dengan sungguh-sungguh. Dengan teologi pembebasan, Muhammadiyah telah paripurna mengupayakan bangunan kemerdekaan fikiran, kebebasan jiwa raga melalui tradisi ilmu yang diemban dari awal abad pembaharuan Islam Indonesia. Awal abad perubahan sosial yang sifatnya progresif di tengah pahitnya penjajahan. Resiko besar bergerak dalam bidang ini telah dibayar tunai oleh Muhammadiyah. Bagi penerus gerakan literasi ini, semua sudah disiapkan. Ibaratnya, kita semua tinggal take off saja.
Optimis sekali lantaran infrastruktur untuk gerakan literasi di Muhammadiyah dapat diperlihatkan dari data sumber daya yang dirilis di muhammadiyah.or.id, yaitu jumlah potensi perpustakaan di Muhammadiyah yang sampai 23.362 buah yang bisa diperkuat dari jumlah Lembaga Pendidikan di TK/TPQ sebanyak 4.623, Sekolah Dasar (SD)/MI sebanyak 2.252, Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs berjumlah 1.111, Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA Muhammadiyah memiliki 1.291 sekolah, Pondok Pesantren minimal ada 67, Jumlah total Perguruan Tinggi Muhammadiyah 176, Rumah Sakit/Rumah Bersalin,/BKIA, Balai Pengobatan yang bisa dibangun perpustakaan sebanyak 2.119, Panti Asuhan, Santunan, Asuhan Keluarga, dan lain-lain sebanyak 318 buah, Panti Jompo sejumlah 54, tempat Rehabilitasi Cacat sebanyak 82 buah, Sekolah Luar Biasa (SLB) sebanyak 71, Masjid dan mushala berturut turut terdaftar sebanyak 6.118 dan 5.080 buah.
Bagaimana modal besar ini kelak dapat mengawal Muhammadiyah dan bangsa memasuki abad-abad barunya adalah sebagian besar tergantung pada kader literasi di lingkungan Muhammadiyah. Kader literasi yang tumbuh dalam beragam kiprahnya di Lembaga Pendidikan, masjid, pesantren, sekolah, dan Komunitas-komunitas kultural Muhammadiyah. Mereka adalah sebagian besar kaum muda, minimal berjiwa muda, yang belum lama ini telah mengikrarkan diri untuk memperkuat tradisi ilmu pengetahuan (literated) dalam sebuah wadah Serikat Taman Pustaka (STP).
Serikat Taman Pustaka
Pada akhir tahun 2017, tepatnya bulan Desember, jamaah penggerak literasi di Muhammadiyah berkumpul menyatukan tekad kembali bergerak di jalanan, di dalam tembok sunyi, dan sampai di gedung tinggi untuk menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal literasi demi kemaslahatan ummat, demi keberdayaan bangsa. Dari ruang yang sangat indah berkemajuan, Gedung Nyai Walidah di Universitas Muhammadiyah Surakarta, sebuah jaringan literasi Muhammadiyah dideklarasikan dan diberi nama Serikat Taman Pustaka Muhammadiyah.
Nama yang diambil dari zaman bergerak di mana Muhammadiyah juga menggunakan istilah “persyarikatan.” Jika Muhammadiyah adalah mesin organisasi modern yang tangguh bersatu dalam ikatan organisatoris/kepemilikan, maka Serikat Taman Pustaka disatukan oleh idea, imajinasi, semangat, komitmen, visi bersama, kebudayaan melek pengetahuan, dan juga oleh etos Muhammadiyah.
Mesin baru untuk kembali menggerakkan zaman pengetahuan di era yang terus menggelisahkan baik apa yang disebut para ilmuwan sebagai era post truth atau zaman post normal. Serikat Taman Pustaka adalah spirit merayakan legasi gerakan literasi yang ada di Muhammadiyah. Setidaknya, forum ini punya nilai utama. Pertama, berguna untuk membangun dialog dan diskursus yang inklusif bagi eksosistem pengetahuan di lingkungan persyarakatan.
Kedua, memproduksi pengetahuan dan menciptakan karya-karya yang berguna bagi kehidupan manusia seluruhnya. Ketiga, membangun komunitas epistemik yang berdaya tahan dan berkelanjutan. Terakhir, untuk menginspirasi gerakan kolektif membangun masyarakat utama, adil, dan tercerahkan. Sebuah visi besar yang entah bagaimana setiap orang mengambil peran, menyumbangkan debu-debu pengetahuan serta energi terbarukan untuk menopang dengan kokoh niat mulia tersebut.
Perpustakaan umum model Taman Pustaka haruslah dibuka di mana-saja. Komunitas seperti di kampung, pasar, tempat kerja, dan sebagainya dirasa perlu. Watak komunitas di sini diartikan bahwa pengelola atau kepengurusan bersifat fleksibel (kesukarelaan), mekanisme pinjam yang sederhana, dikelola bersama oleh warga komunitas yang saling mengenal, dan tentu saja tidak berorientasi profit. Konsekuensi pengelolaan berbasis komunitas adalah dengan daya dukung dana yang kecil, namun untuk menggerakkan kegiatan biasanya selalu ada jalan kreatif dan jalan bertahan untuk terus ikhtiar mencerdaskan kehidupan orang banyak.
Untuk membangun spirit pengelola Taman Pustaka tentu perlu adanya etos percaya (trust) kepada peminjam atau pengunjung dan sesama pengelola. Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah membangun keyakinan pengelola bahwa perpustakaan kecil yang dibangun akan memberi manfaat kepada pengelola itu sendiri, dan suatu saat dapat kiranya bermimpi manfaat bagi sesama.
Dengan demikian, keberadaan perpustakaan atau Taman Pustaka ini tidak ditentukan oleh banyak sedikitnya pengunjung. Salah satu mantra yang perlu diingat adalah sebagaimana yang pernah dipesankan oleh Dauzan Farook asal Kauman yang juga salah satu putra pengurus Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah. Beliau dikenal dengan perjuangannya membangun “perpustakaan Mabulir” atau majalah buku bergilir, yaitu bahwa, “siapa saja dapat menjadi penggerak literasi.” Begitulah cara memanggil kaum sukarelawan penggerak sekaligus pembawa obor terang pengetahuan.
Kini, Serikat Taman Pustaka bersama ribuan penggerak di dalamnya juga modalitas ribuan sekolah, ribuan perpustakaan, ribuan perpustakaan masjid, ribuan perpustakaan rumahan, adalah sebuah tanggung jawab besar yang mestinya dipertahankan sekuat tenaga. Karena dengan itu, manusia Muhammadiyah berada di jalan yang paling terjal diusahakan, yaitu peran memuliakan pengetahuan, memartabatkan kemanusiaan, dan membangun zaman yang terang untuk semua anak manusia di planet bumi ini. Akhirnya, seratus tahun dalam kesunyian atau dalam tekanan-tekanan keadaan. Selamat memasuki abad baru gerakan literasi Muhammadiyah, tentu saja dengan tantangan yang lebih berat lagi.