Bagi banyak orang, masa-masa SMA atau yang sederajatnya merupakan masa-masa yang penuh dengan kenangan indah yang sukar untuk dilupakan. Tidak sedikit orang yang ingin kembali merasakan momen-momen indah yang pernah dilaluinya saat masih berseragam putih abu-abu dulu. Namun, merasakan momen-momen indah saat SMA dulu adalah sebenarnya privilese. Sebab, tak semua orang berkesempatan untuk merasakannya, seperti saya.
Dulu, saya bersekolah di MAN (Madrasah Aliyah Negeri), dan sejak saya dari kelas X sampai saya lulus, tak pernah sekalipun ada momen indah yang saya rasakan di sekolah. Bagi saya, seragam putih abu-abu tidak lebih dari pemantik yang hanya akan mengingatkan saya pada masa lalu yang kelam.
Tak perlu bertanya di kantin sekolah bagian mana saya biasa kumpul bareng dengan teman-teman sekelas saya saat jam istirahat, wong teman-teman sekelas saya pada menjauhi saya, kok. Bahkan, beberapa guru juga ada yang menunjukkan sikap kebencian kepada saya. Saat itu saya benar-benar merasa terkucilkan di lingkungan sekolah.
Pengalaman pahit yang saya alami saat masih duduk di bangku MA ini bermula setelah saya diketahui ikut kajian ilmu logika dan filsafat oleh orang-orang yang ada di sekolah. Saat itu pada pertengahan semester dua kelas X, saya menawarkan diri kepada salah satu kakak kelas saya yang anak kajian (sebutan bagi yang ikut kajian ilmu logika dan filsafat) untuk ikut belajar ilmu logika dan filsafat.
Sebelum masuk kajian, perilaku teman-teman kepada saya semuanya baik-baik saja. Namun, semuanya berubah drastis setelah kabar keikutsertaan saya dalam forum kajian beredar luas di lingkungan sekolah. Banyak guru dan teman-teman saya jadi benci dengan saya. Mereka jadi tidak menyukai keberadaan saya di sekolah. Mereka menuduh saya bermazhab Syiah lantaran mempelajari ilmu logika dan filsafat, dan bagi mereka Syiah itu adalah sesat.
***
Di daerah saya, aksi penyesatan terhadap mazhab Syiah memang masih marak terjadi. Bahkan tidak jarang terdengar di mimbar-mimbar masjid seruan untuk memusuhi dan membenci kelompok yang mengaku sebagai Syiah. Tak terkecuali di sekolah Madrasah Aliyah Negeri tempat saya bersekolah dulu, saat itu baik dari kalangan guru maupun siswa, banyak dari mereka yang memberikan penolakan yang keras terhadap mazhab Syiah. Ada juga sih yang toleran, tapi tidak banyak.
Saya sendiri sebenarnya sudah tahu risiko apa yang akan saya terima dengan jalan yang saya pilih ini, bahwa saya akan dikucilkan di lingkungan sosial, terutama di sekolah. Sebab, seperti itulah yang juga dialami oleh keempat kakak kelas saya yang sudah lebih dulu menjadi anak kajian. Namun, meski begitu, hal tersebut tetap tidak menyurutkan niat saya untuk ikut kajian bersama dengan kakak-kakak kelas saya itu untuk belajar ilmu logika dan filsafat.
Pasalnya, saya sangat penasaran untuk mempelajari dua ilmu ini (logika dan filsafat), dua jenis ilmu yang sampai saat ini tidak ada (bahkan mungkin tidak akan pernah) di dalam kurikulum sekolah manapun yang ada di daerah saya.
Saya sering melihat kakak-kakak kelas saya yang anak kajian itu ketika sedang belajar di kelas, mereka sangat aktif untuk bertanya kepada guru. Mereka kritis dan jago-jago dalam berargumentasi yang tidak hanya runtut, tapi juga logis. Pokoknya bedalah sama siswa-siswa pada umumnya. Menurut mereka, perubahan tersebut baru mereka rasakan setelah belajar ilmu logika dan filsafat.
Hal inilah yang sebenarnya membuat saya sangat terdorong untuk belajar logika dan filsafat. Terlebih lagi saat itu sejumlah mata pelajaran sering ada yang mengadakan kegiatan diskusi di kelas dengan membahas tema tertentu dan mengharuskan setiap siswa untuk turut aktif dalam kegiatan diskusi tersebut. Di antara beberapa teman sekelas saya, ada yang kesulitan menyampaikan pendapat saat diskusi, saya termasuk di dalamnya.
***
Saat menyampaikan pendapat pun selalunya tidak beraturan, tidak logis, dan tidak tahu mau dimulai dari mana. Nah, harapan saya, dengan ikut kajian, saya juga jadi bisa berargumentasi dengan logis dan sistematis saat diskusi di kelas, seperti yang dilakukan oleh kakak-kakak kelas saya yang anak kajian tadi, selain tentu saja untuk menambah wawasan keilmuan saya yang masih sangat minim.
Saya pernah bertanya kepada salah satu kakak kelas saya yang anak kajian perihal alasan mengapa anak-anak kajian langsung dicap sebagai Syiah. Dia menjawab karena yang mengajar mereka ilmu logika dan filsafat adalah orang Syiah, makanya anak kajian juga dikira Syiah.
Sekalipun yang mereka pelajari di forum kajian hanyalah ilmu logika dan filsafat saja, bukan tentang mazhab Syiah itu sendiri. Dan, memang benar, selama saya mengikuti kajian, yang kami pelajari hanya ilmu logika dan filsafat tok saja. Sementara untuk mendoktrin kami agar masuk ke dalam mazhab Syiah tidak pernah sama sekali. Sehingga sudah jelas tuduhan bahwa kami adalah Syiah itu salah besar.
Namun, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, setelah kabar tentang status saya yang sudah menjadi anak kajian merebak ke seisi sekolah, label bahwa saya adalah Syiah sudah tak bisa lagi dibendung.
Saat itulah pengalaman suram semasa berseragam putih abu-abu juga mulai menimpa saya: terkucilkan di lingkungan sekolah karena dianggap Syiah. Banyak teman-teman saya yang mulai tidak berminat lagi untuk mengobrol dengan saya, termasuk mereka yang dulu sangat akrab dengan saya.
Ketika mereka sedang mengobrol santai dan melihat saya akan hendak bergabung, mereka pasti akan langsung bubar. Tidak sedikit juga guru-guru saya yang merasa enggan untuk bertegur sapa dengan saya seperti saat berpapasan di teras kelas atau saat akan masuk ke perpustakaan. Keberadaan saya di sekolah sudah seperti layaknya virus saja yang harus dihindari karena bisa menularkan penyakit.
***
Hari-hari di sekolah saya jalani dengan perasaan sepi, sunyi, hambar, meski di sekitar saya riuh canda tawa teman-teman terdengar begitu meriah. Mereka hanya akan mengobrol dan bercanda kepada selain saya. Di dalam kelas, saat baru tiba di sekolah, biasanya teman-teman sekelas saya akan saling bertanya dan mengingatkan perihal tugas yang diberikan guru. Namun sekali lagi, kecuali kepada saya.
Malahan mereka cuek saat saya bertanya dan mengingatkan mereka tentang tugas sekolah. Sebabnya ya, karena saya anak kajian, karena menurut mereka saya Syiah, karena menurut mereka saya sesat.
Pengalaman menyayat hati ini benar-benar saya alami sampai saya lulus sekolah. Saat itu, sekolah bagi saya bukan lagi tempat untuk bertumbuh secara spiritual maupun intelektual. Berada di sekolah justru saya merasa seperti berada di tempat pengasingan. Hal inilah yang membuat saya jadi tidak betah berlama-lama di sekolah.
Hampir setiap memasuki semester baru, orang tua saya selalu mendapat undangan dari pihak sekolah untuk membicarakan kelakuan anaknya yang semakin hari semakin malas dan sering bolos sekolah. Sekolah pun hanya bisa melihat kesalahan saya tanpa pernah melakukan evaluasi apakah mereka memang sudah sukses menciptakan lingkungan yang ramah bagi setiap siswa, sebagaimana yang selalu mereka gembar-gemborkan saat upacara berlangsung, ataukah ternyata belum sama sekali.
Namun, saya masih tetap bersyukur karena bisa bertahan di sekolah hingga saya lulus. Hal ini tidak terlepas dari keempat kakak kelas saya yang juga anak kajian itu yang selalu memberikan energi positif kepada saya. Mereka tentu paham betul dengan apa yang menimpa saya di sekolah, sebab seperti itu pula yang mereka alami. Mereka adalah support system saya di sekolah. Hanya merekalah yang menjadi teman ngobrol dan bercanda saya di sekolah.
***
Padahal, kalau memang kami Syiah, maka mana mungkin kami akan ikut salat wajib secara berjamaah di sekolah. Kalau ada kegiatan tadarusan bersama yang melibatkan semua guru dan siswa, kami juga ikut kok dengan membaca Al-Qur’an yang sama. Namun sayang, apa yang kami lakukan tersebut malah dianggap sebagai cara kami untuk mencari aman saja alias pura-pura.
Meski pada titik tertentu kadang ada perasaan iri yang timbul dalam diri saya tatkala melihat anak-anak SMA atau yang sederajatnya menjalani hari-hari di sekolahnya dengan penuh keceriaan karena dikelilingi oleh teman-teman yang banyak, bagaimanapun pengalaman pahit yang pernah saya jalani saat masih duduk di bangku MA ini tetap patut untuk saya syukuri. Di baliknya saya menemukan banyak makna hidup.
Saya jadi tahu seperti apa rasanya menjadi minoritas yang tetap survive di lingkungan yang tidak ramah, juga jadi semakin sadar bahwa salah satu tantangan besar bagi manusia untuk bisa menjadi manusia yang sesungguhnya adalah selalu membuka diri untuk menerima setiap perbedaan yang ada. Pengalaman kelam inilah yang juga kelak membuat saya tumbuh sebagai individu yang toleran, tidak membatasi pertemanan pada kelompok tertentu, membaca buku tidak melihat siapa penulisnya tapi lebih kepada apa yang disampaikannya, dan mau belajar ilmu kepada siapapun.
Editor: Yahya FR