Arsitektur Islam sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Islam adalah hasil usaha manusia yang berwujud konkret dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Jasmani karena arsitektur Islam merupakan tempat yang berupa bangunan-bangunan untuk menampung kegiatan manusia, rohani karena memang telah menjadi kenyataan di mana Islam berpengaruh teramat mendalam terhadap kehidupan kejiwaan manusia sejak nabi Muhammad SAW mengemban perintah dari Allah SWT untuk melaksanakan ajaran melalui agama Islam.
Kebudayaan Islam pada umumnya, menentukan arah kehidupan baru bagi orang-orang yang telah mempunyai corak kehidupan sebelumnya. Bahkan kemudian, kehidupan baru itu menjadi ungkapan yang dinyatakan secara visual dalam aktivitas kehidupannya.
Selama berabad-abad masa penyebarannya, ternyata Islam telah dapat merubah sikap hidup bangsa-bangsa di daerah-daerah yang terjangkau. Bertolak dari tanah Arab, kemudian menyebar luas ke Timur melalui Mesopotamia, Persia, Turki, sampai ke daerah lembah sungai Indus. Sedangkan ke Barat menyusup jauh melalui Syria, Mesir bahkan sampai ke Spanyol melalui Maroko.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, melaju terus melalui berbagai benua dan mengarungi samudra sampai ke daerah Cina dan juga sampai ke Indonesia. Masuk pula ke sebagian besar benua Afrika dan bahkan ke daratan-daratan di benua Eropa.
Dengan demikian, arsitektur Islam dapat dilihat secara tersendiri yang nyata kehadirannya dalam sejarah, sebagai bagian yang penting dari sejarah kehidupan umat Islam. Penampilan arsitektur Islam secara fisik ternyata juga menarik perhatian, sebab daripadanya muncul bentuk bangunan-bangunan yang dihasilkan oleh penganut Islam. Hal itu berupa bangunan-bangunan yang dihasilkan oleh orang Islam.
Asal Mula Pertumbuhan Arsitektur Islam
Arsitektur Islam, berdasarkan wujud dan penampilannya, merupakan gambaran dari waktu yang telah diisi oleh kegiatan pergelaran bangunan-bangunan. Yang mana mereka secara khusus lahir dari suatu bentuk kebudayaan baru Islam, sebagai akibat dari diturunkannya wahyu ilahi guna menyebarkan agama baru, yakni agama Islam. Pada bentuk awalnya, masjid bukanlah bangunan yang megah perkasa seperti masjid-masjid yang tampil pada masa kejayaannya, yang penuh dengan keindahan dengan ciri-ciri keagungan arsitektural pada penampilan fisiknya.
Masjid pertama yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Denahnya merupakan masjid segi empat dengan hanya dinding-dinding yang menjadi pembatas sekelilingnya. Di sepanjang bagian dalam dinding tersebut, dibuat semacam serambi yang langsung bersambung dengan lapangan terbuka sebagai bagian tengah dari masjid segi empat tersebut.
Sedangkan, bagian pintu masuknya diberi tanda dengan gapura atau gerbang yang terdiri dari tumpukan batu-batu yang diambil dari sekeliling tempat itu. Begitu pula dengan bahan-bahan yang digunakan, yang mana adalah material apa adanya, sekadar apa yang terdapat pada sekeliling tempat tersebut. Seperti batu-batu alam atau batu-batu gunung, pohon, dahan, dan daun kurma.
Batu-batu tersebut disusun dan diterapkan dengan memakai campuran tanah liat sebagai perekatnya. Sedangkan pelepah digunakan sebagai atap penutup dan merupakan bahan utama, guna menaungi serambi-serambi yang ada di sekeliling bagian dalam dinding pembatas lapangan. Namun demikian, justru masjid ini yang merupakan prototype dari masjid-masjid berikutnya, bahkan menjadi pola dasar yang utama bagi masjid-masjid yang dibangun kemudian.
Bahkan sampai kini pun, apa yang disebut sebagai masjid itu tetap berorientasi kepada masjid yang pertama itu. Meski dibangun dengan penampilan fisik yang sudah lebih megah, lebih besar dan lebih sempurna, namun pembangunan masjid itu pada saat manapun juga tetap berpolakan masjid yang pertama didirikan oleh nabi Muhammad SAW tersebut.
Di kemudian harinya dalam pola pengembangan masjid selanjutnya, kekhususan tempat ini akan berubah bentuk menjadi semacam relung atau ceruk yang senantiasa menunjukkan arah kiblat. Relung atau ceruk yang ada pada dinding yang serah dengan kiblat itu kemudian bernama mihrab.
Sebenarnya, mihrab ini merupakan perkembangan bentuk dari tempat yang biasa dipergunakan Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwah dan ajaran serta penerangan agama Islam, yang sesudahnya diteruskan dengan memimpin umat bersembahyang.
Sedangkan tempat duduk Nabi yang asalnya berupa serambi pada dinding, yang juga merupakan tempat yang ditinggikan, dinamakan mimbar. Dalam perkembangan kemudian, mimbar ini berkembang menjadi tempat yang penting yang ditampilkan dengan penuh gaya dan kemewahan hiasan, serta bertempat pada mihrab yang telah merupakan relung tadi. Fungsinya adalah sebagai tempat untuk menyampaikan khutbah pada saat pelaksanaan salat Jumat oleh para hatib.
Hukum Melengkapi dan Memperindah Masjid
Jelas pula tergambarkan bahwa bentuk-bentuk tambahan sebagai kelengkapan masjid itu bukanlah tujuan utama yang mengandung unsur religi sebagai hal yang mutlak diperlukan. Kelengkapan bangunan tersebut, baik sebagai variasi maupun tambahan bagian bangunan, tumbuh berdasarkan kebutuhan-kebutuhan lain yang berdasarkan pengembangan teknik dan pengalaman.
Sehingga dapat menjadi bahan untuk lebih mengembangkan bangunan masjid tersebut. Disertai pula dengan perkembangan kehidupan manusia yang semakin lama semakin menuju kearah kemajuan, serta tidak sedikit pula ciri-ciri yang mengarah pada bentuk-bentuk kemewahan.
Kemudian, kemajuan kehidupan itu menentukan wujud dari peri kehidupannya yang tentu saja merupakan dasar yang kuat untuk membentuk kebudayaan. Sedangkan, arah yang tentu sekarang telah ada yaitu Islam. Kecakapan mereka telah bertambah, pengalaman telah semakin luas, sehingga dengan sendirinya, bangunan masjid pun mendapatkan pula penambahan-penambahan.
Secara historis, perkembangan masjid ke arah yang semarak dan mewah kiranya tidak dapat dielakkan, seperti yang telah menjadi kenyataan dalam sejarah Arsitektur Islam. Perwujudan masjid ini dari zaman ke zaman sebagai sarana keagamaan mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat dari perkembangan itu.
Di zaman khalifah Umar, memang pernah ada larangan agar tidak menambahkan hiasan-hiasan terhadap bangunan masjid, dengan berbagai warna-warni atau warna yang mencolok. Larangan tersebut diberlakukan dengan tujuan untuk menghindarkan gangguan terhadap kekhusyukkan orang pada saat melakukan salat, karena melihat warna-warni yang serba indah itu. (Bukhari, bab Membangun Masjid)
Namun, Ibnu Abbas kemudian menganjurkan tentang memperindah masjid itu, dengan maksud utamanya sebagai usaha perawatan. Sehingga jangan sampai masjid itu terlantar, kelihatan kotor, banyak debu, dan hilang fungsinya karena tidak memberi perlindungan apabila hujan, sebab atapnya bocor kerusakan-kerusakan lainnya yang mengganggu.
Namun, tentu saja yang dimaksudkan ialah agar masjid cukup mendapatkan perawatan, dan bukan dihiasi sembarangan dengan segala macam gambar di dalamnya. (Bukhari, bab Membangun Masjid)
Kebudayaan suatu bangsa akan menghasilkan kualitas tertentu dari penampilan arsitektur itu erat sekali kaitannya dengan bentuk gambaran dari cita rasa dan selera bangsa tersebut. Bentuk-bentuk bangunan dan cara penampilan, juga merupakan lambang dari bentuk kehidupan bangsa tersebut. Hal ini disebabkan karena arsitektur pada umumnya terdiri dari perwujudan bangunan-bangunan yang berbeda, sesuai dengan sifat akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan manusia.
Penampilan Masjid-masjid Tertua: Quba di Madinah dan Al-Haram di Makkah
Masjid Quba yang didirikan di zaman Nabi Muhammad SAW, semula adalah masjid Arab asli dengan lapangan terbuka sebagai intinya. Bentuknya sederhana dan merupakan karya spontan dari masyarakat muslim di Madinah pada saat itu. Sebagai garis besar pada pola utamanya ialah adanya penempatan mimbar pada sisi dinding arah kiblat, serta di tengah-tengah lapangan terdapat sumber air tujuan bersuci.
Masjid ini merupakan asal mula tipe masjid yang bercorak masjid lapangan, karena sekali lagi inti ruangannya ialah lapangan, sebagai tempat umat Islam berkumpul dan melaksanakan ibadah. Pola masjid Quba ini kemudian menjadi pola yang menerus yang menjadi dasar pembuatan masjid-masjid selanjutnya.
Di Madinah ini masih banyak ditemukan masjid-masjid lama yang berkembang di masa Nabi, yang sekarang hanya bernilai sejarah saja karena jarang digunakan lagi secara umum, kecuali pada saat tertentu. Kini, masjid-masjid itu berfungsi sebagai tempat bersejarah yang banyak diziarahi kaum muslimin, terutama di musim haji. Bentuk luarnya, terutama strukturnya, juga telah mengalami perubahan-perubahan, seperti halnya dengan masjid Quba.
Beranjak ke tempat lain dari Madinah ini ialah ke Makkah, dalam kaitannya untuk mencari jejak masjid asal mula, sebagai tapak historis dari bentuk masjid yang paling tua. Seperti dimaklumi bersama, di sana berdiri masjid Al-Haram, yang asal mulanya juga merupakan masjid lapangan yang sederhana dan praktis.
Lapangan terbuka di bagian tengah, dikelilingi serambi yang ada di sekitar dinding masjid serta terbuka menghadap ke lapangan tadi. Masjid ini sangat penting artinya sepanjang masa, oleh karena merupakan salah satu tempat bagi kaum Muslimin di seluruh dunia untuk melaksanakan perintah Allah dalam rangka menunaikan ibadah haji.
Penting pula artinya, karena di tengah-tengah lapangan masjid itulah terdapat “Ka’bah”, yaitu bangunan kubus yang berukuran kira-kira dua belas meter panjang, 10 meter lebarnya, dan dengan tinggi 15 meter. Ka’bah ini menjadi arah salat bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia.
Sedangkan pada musim Haji, setahun sekali Ka’bah menjadi tempat bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan ibadah tawaf mengelilingi bangunan Ka’bah tersebut. Sedangkan bagi yang melaksanakan ibadah umrah, maka mereka sewaktu-waktu dapat melakukan tawaf.
Masjid al-Haram ini asal mulanya merupakan masjid corak Arab asli dengan lapangan terbuka di bagian tengahnya. Sedangkan masjid Al-Haram saat ini yang dapat disaksikan sampai sekarang adalah masjid yang besar dan megah serta sangat luas. Tentu saja hal ini adalah merupakan hasil perkembangan dari masa ke masa, dengan berbagai penyempurnaan teknis, ukuran, gubahan atau komposisinya, serta bentuk penampilannya.
Perkembangan Arsitektur dari Masa ke Masa
Arsitektur berkembang sebagai respon terhadap cara berpikir manusia, yang dengan kecerdasannya senantiasa mengadakan perubahan-perubahan yang berdasarkan kemajuan hidupnya, serta senantiasa membutuhkan ruangan yang makin lama makin luas juga. Maka demikianlah juga keadaannya dengan prinsip penataan arsitektur, di mana upaya manusia dalam menambah ruang dan fasilitas guna memenuhi kebutuhannya akan senantiasa menghasilkan bangunan yang semakin besar dan luas ruangannya.
Bentuk bangunan yang berorientasi kepada lapangan sebagai titik utama memang bukanlah hal yang baru, terutama bagi orang Arab. Hal ini ada konsistensinya dengan adat kebiasaan lama sebelum Islam masuk. Ia merupakan serambi yang mengelilingi sebuah lapangan terbuka di sekitar dinding pembatas yang merupakan daerah bangunan yang tertutup ke arah jalan umum.
Dengan pembicaraan bentuk masjid lapangan pada bab ini, maka dapatlah diambil gambaran tentang pemandu bentuk masjid sebagaimana tujuan pertamanya, yakni untuk melaksanakan ajaran Islam. Wujud yang sederhana, tapi praktis dan tepat fungsi dan kegunaannya yang kemudian akan berkembang menjadi bangunan megah dan mewah, meskipun pola dasarnya tetap jualah mesjid seperti bentuk asalnya.
Bahkan, bentuk arsitektur masjid akan terus berkembang sebagai pencerminan dari kehidupan manusia berdasarkan ajaran Islam. Hal itu kemudian menjadi bukti dari tampilnya kebudayaan Islam secara umum.
Di saat kebudayaan Islam berada di puncak kejayaannya, dan berjejak negara yang dikepalai oleh para penguasa muslim yang sudah menjadi kaya raya dan penuh penampilan yang disertai dengan gambaran kehidupan masyarakat Islam pada umumnya yang merupakan barang-barang pakai hasil industri masyarakat Islam, pada saat itu juga ikut menambah pemantapan karakter khas Islam tersebut, yang menjadi barang pelengkapan di masjid atau bangunan lainnya.
Arsitektur Islam sebagai khazanah yang merupakan monumen yang tak terhapuskan dalam sejarah itu telah membuktikan betapa besarnya kebudayaan Islam, yang merupakan sebagian dari sejarah arsitektur di dunia ini.
Latar Belakang Perkembangan Arsitektur Islam
Dalam perkembangannya, arsitektur Islam terutama masjid, banyak menampilkan bentuk-bentuk yang megah serta monumental sifatnya. Para ahli agama tidak jarang banyak mempersoalkannya, terutama tentang kelengkapan-kelengkapan masjid yang banyak ditambahkan di masa perkembangannya.
Hal ini dapat dimengerti, karena para ahli agama tersebut ingin memberikan arti fungsional yang tepat dari setiap bagian yang ada di dalam bangunan masjid, termasuk kelengkapan-kelengkapannya, sehingga jangan sampai menjadi sebab timbulnya pengurangan arti terhadap pelaksanaan ajaran agama Islam.
Semua perkara perlu dilihat asal-usul kehadirannya dan fungsi yang sebenarnya. Apakah kelengkapan tersebut termasuk hal yang diharuskan, bahkan mutlak harus menjadi bagian dari masjid, ataukah semata-mata kelengkapan yang timbul karena tuntutan dan perkembangan arsitektur. Hal tersebut mungkin hanya sekedar kelengkapan yang berkedudukan variasi semata.
Dalam dunia arsitektur, semua hal tersebut mungkin saja terjadi, sebab berbagai latar belakang kehadirannya senantiasa merupakan dorongan untuk menggunakan hal-hal yang baru, kewibawaan, telah menimbulkan kemungkinan untuk membangun arsitektur secara besar-besaran.
Tidak jarang terdapat bagian-bagian baru dari masjid yang juga diperuntukkan dalam rangka menunjang kegiatan pendidikan agama, seperti misalnya relung-relung atau ceruk yang asalnya merupakan bagian kecil dari bangunan masjid dan madrasah.
Hal ini disebabkan pula oleh pengembangan kebudayaan yang terjadi sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang semakin menyebar luas ke daerah-daerah baru yang masing-masing mempunyai latar belakang budaya daerah yang kuat, yang mana merupakan daerah yang mengalami penyebaran kebudayaan Islam.
Khazanah Monumen Arsitektur Islam
Inilah khazanah monumen arsitektur Islam, sebuah tataman dari hasil persemaian agama Islam. Melalui berbagai asal dan latar belakang seperti telah diuraikan sebelumnya, jelas telah membuat tapak pengaruhnya di segala segi yang membekas dalam kebudayaan bangsa-bangsa sebagai penduduk dari daerah ajang perkembangan selanjutnya.
Demikian pula kehidupan sosial, ekonomi, seni budaya, bahkan politik dan pemerintahan, telah menghasilkan idealisme khas Islam pula. Akulturasi terjadi di mana-mana dan menimbulkan hasil, perpaduan harmonis yang mewujud di dalam hasil perciptaan manusianya, berupa arsitektur Islam.
Ia tampil dalam bentuk bangunan keraton, istana dan bangunan-bangunan fasilitas lainnya, bangunan sosial seperti rumah sakit, madrasah, asrama-asrama, tempat pendidikan agama, masjid dapur umum, bangunan-bangunan monumen seperti bangunan kuburan, makam, gapura dan manara peringatan, bangunan rekreasi seperti taman-taman, pendidikan umum, dan lain-lain.
Demikian pula peninggalan yang berupa sisa-sisa perjuangan seperti bangunan-bangunan pertahanan, benteng, ataupun tembok-tembok pengaman. Hal tersebut merupakan kenyataan yang sampai sekarang dapat dibuktikan melalui peninggalan-peninggalan ataupun pada bangunan-bangunan yang masih ada ataupun masih berfungsi. Tentang bagaimana kenyataan penyebaran, tingkat-tingkat perkembangan, serta bentuk-bentuk penampilan dari arsitektur Islam tersebut. []
Editor: Zahra