Sejarah Islamisasi di Madiun tampaknya tidak banyak tersedia. Alasannya sederhana, bahwa kota mungil di Jawa Timur ini bukan entitas geopolitik yang mandiri. Kota ini sangat bergantung pada perkembangan daerah pemukiman penduduk lain di seputaran Gunung Lawu dan Ponorogo. Uniknya, Madiun justru dianggap sebagai “pusat pemerintahan alternatif” dan gerakan-gerakan pemberontakan komunis.
Artikel pendek ini mengungkap proses pembentukan Muhammadiyah di Madiun tahun 1924. Pendirian Muhammadiyah Madiun juga menegaskan pola pengembangan Muhammadiyah di Jawa secara umum yang ditopang oleh dukungan kelompok aktivis pergerakan Islam yang sudah terlebih dahulu mengembangkan politik dan dakwah Islamiyah seperti Sarekat Islam dan dukungan pejabat serta priyayi.
Islam di Madiun
Daerah Madiun tumbuh pada akhir era Hindu-Budhha, dan mekarnya Islam. Permulaan Madiun erat berkaitan dengan pergantian era antara penduduk dengan agama lama berupa Hindu Kuno dan Buddha dengan pemeluk agama baru yang pada akhirnya akan berkuasa yakni kelompok muslim.
Madiun merupakan daerah yang terletak di sebelah timur Gunung Lawu. Putra raja terakhir Majapahit bernama Bathara Katong merupakan aktor sentral Islamisasi di daerah Madiun dan Ponorogo yang pada saat itu digambarkan dalam Babad Ponorogo tunduk pada Sultan Demak. Dua daerah ini tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya.
Masa kecil Bathara Katong bernama Joko Piturut dan kemudian menjadi Raden Alkali. Ketika spiritualitasnya meningkat, ia berubah nama menjadi Bathara Katong. Dia juga berhasil menjalankan tugas dari Raja Demak mengislamkan penduduk di sekitar Gunung Lawu, Ponorogo, Begawan Solo, Bodjonegoro, dan Gunung Wilis.
Peran Islamisasi Bathara Katong sangat penting. Dia mendirikan langgar sebagai tempat pembelajaran agama Islam. Dia juga mendukung upaya pengajaran Al-Qur’an dan studi kitab-kitab. Cikal bakal pesantren antara Madiun dan Ponorogo berasal dari keberhasilan Bathara Katong mendirikan pusat pembelajaran agama Islam.
Kekuasaan Bathara Katong mencakup Madiun, Ponorogo, dan Pacitan. Dia juga pemberi nama Ponorogo yang berasal dari Pan artinya suci, sedangkan Rogo artinya usaha. Bersama Ki Ageng Mirah, Bathara Katong dianggap berkontribusi dalam penyebaran agama Islam di Madiun-Ponorogo.
Masuknya Muhammadiyah di Madiun bisa diperhatikan sebagai bentuk lain interaksi antara Madiun dan Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan khatib Amin Masjid Gedhe mendirikan Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta tahun 1912. Kedatangan Muhammadiyah di Madiun adalah fase modern relasi antara pusat kekuasaan Raja Mataram dan Keresidenan Madiun.
Raja-raja Mataram punya kontak kekuasaan simbolik dengan entitas supranatural dari Gunung Lawu. Secara berkala, Raja-raja Mataram mengirimkan persembahan pada roh Sunan Lawu yang juga dianggap sebagai penjaga Mataram selain Nyi Roro Kidul.
Awal Mula Muhammadiyah di Madiun
Muhammadiyah pertama kali diperkenalkan di Madiun saat salah satu pengurus Sarekat Islam, M. Tajib mengundang KH. Ahmad Dahlan memberikan pidato di Madiun. Tajib mengundang Patih Madiun saat itu, R. Tjokroadisoerjo untuk turut serta mendengar ceramah KH. Ahmad Dahlan.
Kejadian itu tak jelas terjadi pada tahun berapa. Tapi disebutkan bahwa M. Tajib saat itu berusia kurang lebih 19 tahun ketika ia masih menjadi siswa di Opleidingschool pada tahun 1918. Pidato KH. Ahmad Dahlan didahului oleh sambutan M. Tajib dan dua orang aktivis perempuan muslimah.
Para pendengar khutbah banyak yang terkesima, terlebih lagi saat KH. Ahmad Dahlan mempresentasikan tentang Muhammadiyah, organisasi yang dia dirikan di Yogyakarta. Banyak hadirin terkesan dengan pidato-pidato keagamaan dan presentasi KH. Ahmad Dahlan. Malamnya mereka bersepakat membuat pertemuan lanjutan membahas pendirian Muhammadiyah di rumah Penghulu Badjoeri. Hasil pertemuan lanjutan itu adalah mendirikan sekolah terlebih dahulu sebelum mendirikan Muhammadiyah Madiun.
Dua bulan kemudian, voorlopig bestuur atau sekretaris sementara mengadakan pertemuan berikutnya. KH. Ahmad Dahlan hadir pada pertemuan tersebut yang memutuskan untuk mendirikan sekolah Islamijah di tempat Hadji Dimjati. Berkat dukungan Bupati R. T. Tjokroadisoerjo, sekolah Islamjiah memperoleh dukungan untuk mengadakan kegiatan penggalangan dana.
Panitia pendirian sekolah mengadakan pertunjukan wayang dan gamelan. Selama dua malam, pertunjukan wayang itu dihadiri oleh pembesar di Madiun, mulai dari regent, assistant-resident, controleur, dan wedono serta para priyayi. Kebanyakan di antara mereka dengan sengaja membeli karcis kelas I supaya dapat berderma untuk pembangunan sekolah. Hasil dari pertunjukan itu cukup di luar dugaan ternyata sangat cukup untuk membiayai pembangunan sekolah.
Pada masa-masa ini, sekalipun sudah ada semangat mendirikan Muhammadiyah, tapi persyaratan dan kondisi belum memungkinkan organisasi didirikan. Meskipun begitu, rintisan sekolah Islamijah telah membuka jalan bagi modal sosial dan kultural pendirian Muhammadiyah di tahun-tahun berikutnya.
Muhammadiyah Cabang Madiun
Pendirian Muhammadiyah di Madiun diprakarsarai oleh orang Sumatra bernama A. R. C. Salim. Kisah mengenai Salim ini sebetulnya unik. Tidak diketahui bagaimana latar belakang Salim sebelum menjadi ketua Muhammadiyah Cabang Madiun. Tapi dalam dokumen Verslag, Salim digambarkan sebagai seseorang yang dirundung kesedihan oleh kematian Istrinya. Dia menghabiskan waktu bermain judi dan bertandak untuk melampiaskan kesedihannya itu.
Titik balik Salim terjadi sekitar tahun 1924. Dia insaf bahwa yang dilakukannya hanya membuang-buang waktu dan tidak berguna. Segera dia teringat pada Hadji Soedja’, Hoofdbestuur Moehammadijah di Yogyakarta. Salim memutuskan meninggalkan kebiasaan buruknya dan bergabung dengan Muhammadiyah supaya mendapatkan gairah hidup kembali. Dia bergabung sebagai verspreid, semacam simpatisan.
Ketika tinggal di Madiun, dia terpikir untuk mendirikan mendirikan Cabang Muhammadiyah. Dia kemudian mengundang sebelas orang yang dianggap berpengaruh di Madiun. Pertemuan dilakukan di rumah Salim yang dihadiri oleh R. Soemodiredjo, R. Sosromanggolo, R. Joedodikoesoemo, Partodisoemo, P. Prawirosoemo, M. Soehardi, T. S. Adiredjo, M. Salikin, R. Prawirodimoeljo, R. M. Prawirosoedirdjo, dan R. Koesoemonoto.
Sebelas orang itu kemudian bermufakat menjadi verspreid terlebih dahulu sebelum mendirikan Cabang Muhammadiyah. Mereka membentuk komite pendirian Muhammadiyah Cabang Madiun. A. R. C. Salim didaulat menjadi voorzitter atau ketua sementara. Mereka kemudian berbagi tugas untuk mengumpulkan calon anggota lagi. Karena sebagian besar pengurus awal itu masih sangat awam dengan peraturan organisasi, mereka aktif surat-menyurat dengan pimpinan Muhammadiyah di Yogyakarta.
Pada bulan Agustus tahun 1924, dilakukan pertemuan lagi di rumah Salim untuk mendirikan Muhammadiyah Cabang Madiun. Pertemuan ini turut dihadiri Grombolan Muhammadiyah Djatisari, R. M. Hadikoesoema dari Bandjarsari, dan Soeleman wakil Kyai Komar. Para pengurus awal Muhammadiyah Madiun sebetulnya mengirim permintaan supaya Hadji Fachrodin bisa datang ke Madiun. Tapi karena Hadji Fachrodin sedang sakit, ia berhalangan hadir.
Pengurus Muhammadiyah Madiun saat itu akhirnya terbentuk. Susunan pengurusnya yakni, A. R. C. Salim selaku Voorzitter (ketua), R. Joedodikoesoemo sebagai Vice Voorzitter (wakil ketua), Abdu’llah Fakih sebagai Secretaris, R.M. Prawirosoedirdjo sebagai 2e. Secretaris, R. Prawirodimoeljo sebagai Penningmeester (bendahara), dan empat orang selaku Commissarissen yakni M. Soehardi, M. Sastrosoetomo, M. Notoprajitno, dan M. Hardjowirjono.
PKI dan ‘Aisyiyah
Tanggal 21 September tahun 1924, pengurus Muhammadiyah Madiun mengadakan pertemuan umum, mirip dengan pengajian atau tabligh terbuka. Mereka berhasil mendatangkan perwakilan Hoofdbestuur, yakni M. Ng. Djojosoegito, Hadji Soedja’, dan Joenoes Anis.
Pengajian umum ini turut dihadiri oleh pengurus Partai Komunis Madiun. Mereka turut serta dalam pengajian dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis soal agama yang memicu diskusi menarik. Sebanyak 60 orang berhasil direkrut bergabung dengan Muhammadiyah Cabang Madiun. bersamaan dengan itu pula terjadi perombakan dan penyesuaian struktur kepengurusan.
A. R. C. Salim masih menjadi Voorzitter, R. Soemodiredjo menjadi Vice Voorzitter, ‘Abdu’llah Fakih menjadi 1e. Secretaris, R. M. Prawirosoedirdjo menjadi 2e. Secretaris, M. Hadiprawiro 1e. Penningmeester, R. Roosman 2e. Penningmeester, dengan susunan Commissarissen yang terdiri dari M. Soehadi, M. Notoprajitno, M. Hadjowirjono, T. S. Adiredjo, R. Koesoemonoto, dan R. Sosromanggolo.
Bulan November, A. R. C. Salim pindah ke Yogyakarta, sehingga ‘Abdullah Fakih terpilih menjadi Voorzitter hasil keputusan ledenvergadering yang disaksikan oleh Hoofdbestuur Hadji Fachrodin. Salim merupakan pemimpin dan figur seorang pengurus Muhammadiyah yang loyal terhadap perkembangan organisasi dan misi keagamaan. Dia menyerahkan 50% hasil lelang barang-barangnya untuk supaya pengurus Muhammadiyah Madiun segera melakukan pembentukan Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah.
Kegiatan-kegiatan awal organisasi bertumpu di rumah Salim. Bukan hanya sebagai kantor sementara Muhammadiyah, rumah Salim juga menjadi pusat kegiatan pengajian keagamaan (sesorah igama) yang diadakan setidaknya dua minggu sekali. Seiring dengan bertambahnya anggota dan jamaah pengajian, kegiatan mulai dipindahkan ke masjid.
Organisasi ‘Aisyiyah juga mulai terbentuk pada pertengahan bulan November. Rumah R. Karijokoesoemo menjadi tempat pelaksanaan pertemuan pendirian Aisyiyah Madiun. Perwakilan Aisyiyah dari pimpinan pusat yang turut hadir adalah Sitti Moendjiah dan Sitti Tisnoelijah. Hadji Soedja’ juga hadir mewakili Hoofdbestuur Muhammadiyah. Setidaknya susunan pengurus Aisyiyah terdiri dari 36 orang. Bulan Desember, sekolah bagi anak-anak perempuan berhasil dirintis oleh Aisyiyah Madiun.