Tasawuf

Sejarah Panjang Hisab dalam Islam

4 Mins read

Oleh: Djarnawi Hadikusuma*

Pertanyaan seperti tersebut di atas sering terdengar, terutama dari mereka yang belum memahami sejarah dan perkembangan Muhammadiyah dalam hubungannya dengan masalah rukyah dan hisab yang digunakan untuk menetapkan awal bulan Ramadlan dan Syawwal serta Hari Raya Idul Adha. Ada yang menyangka bahwa menggunakan hisab suatu langkah yang ganjil atau menyalahi ketentuan umum. Sebagian mereka mengira bahwa Muhammadiyah dengan menggunakan hisab itu sengaja mengesampingkan rukyah yang telah dianut oleh umat Islam selama empat belas abad sejak zaman Rasulullah, dan demikian bermaksud menyendiri serta menyalahi Sunnah Rasul.

Sejarah Hisab

Sesungguhnya, penggunaan hisab itu sudah pula berabad-abad dilakukan orang. Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur yang memerintah pada tahun 136 sampai 158 H atau 754 sampai 775 M adalah orang yang pertama kali memperhatikan Ilmu Hisab ini. Ia memerintahkan Muhammad Al-Fazari untuk menterjamahkan kitab Sindihind, sebuah kitab Ilmu Falak menurut metode Hindu.

Kitab ini mula-mula diperkenalkan kepada Khalifah oleh seorang sarjana Hindu bernama Manka. Pada masa itu juga Abu Yahya bin Bathriq menterjamahkan dari bahasa Grika kitab Ilmu Falak, Quadripartitium, karangan Ptolomeus, ahli Falak yang hidup pertengahan abad kedua di Iskandariyah. Umar bin Al-Farrukhan menterjamahkan beberapa kitab dari Bahasa Persia.

Kemajuan semakin meningkat pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmuntahun 198-218 H atau 815-833 M. Muhammad bin Abu Musa Al-Khawarizimi telah berhasil membuat tabel geraknya benda-benda di langit dengan metode yang terdapat dalam kitab Sindihind. Tetapi Al-Khawarizmi mengubah tanggal dan tahunnya menurut perhitungan Bangsa Persia. Kemudian, tabel Khawarizimi ini dua abad kemudian diperbaiki oleh Abdul Qasim Maslamah Al-Majridi dan di tarikhnya disesuaikan dengan tanggal dan tahun Hijriyah. Dia ini sarjana Muslim bangsa Spanyol. Pada tahun 1126, Adelard dari Bath menterjamahkannya ke Bahasa Latin.

Seorang sarjana lain, Al-Hajjaj bin Yusuf yang telah memperlihatkan kegiatannya sejak zaman pemerintahan Harun Al-Rasyid menterjamahkan kitab Almagest karangan Ptolomeus. Sebuah observatorium besar didirikan di kota Baghdad, dibangun oleh seorang Yahudi yang telah masuk Islam, Sind bin ‘Ali. Dari observatorium ini telah dihasilkan tabel-tabel yang mu’tamad (tested tables) yang dinamakan “Tabel Ma’mun”, yang juga berdasarkan metode Sindihind.

Karya Ilmuwan Islam

Setelah wafatnya Khawarizimi muncul pula beberapa sarjana Falak terkenal antara lain: Abul ’Abbas Ahmad Al-Farghani. Kitabnya tentang Ilmu Falak telah diterjamahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona (1114-1187) dan oleh Johannes Hispalensis. Empat belas tahun kemudian, tabel yang disusun oleh  Al-Battani diterjamahkan Plato dan Trivoli dari Bahasa Arab ke Bahasa Spanyol, atas perintah Raja Alfonso.

Baca Juga  Buah Meneladani Sifat-Sifat Allah SWT

Pada abad itu juga Gerard dari Cremona menterjamahkan “tabel-Toledo”. Disusun dari hasil-hasil penyelidikan sarjana-sarjana Muslim bangsa Spanyol antara lain: Az-Zarqali, Abu Ishaq, Ibrahim bin Yahya.Az-Zarqali seorang ahli Falak yang amat mahir membuat alat-alat. Antara lain ia ciptakan “shafiha,” yaitu alat untuk mengukur ketinggian dan posisi benda-benda langit, yang juga dinamakan astrolabium atau armillaar-sfeer. Dengan alat itu, ia bekerja dan menulis banyak karangan yang kemudian hari menjadi sumber lahirnya kitab-kitab tentang astronomi. Banyak tulisannya disalin ke Bahasa Latin dan Spanyol.

Pada abad kelima belas, seorang sarjana ahli Falak Jerman yang bernama Johann Muller atau lebih terkenal dengan nama Regiomontanus (1436-1476) telah menerbitkan buku tentang problema mengenai “shafiha” tersebut. Nicolaus Copernicus (1473-1543), seorang sarjana atronomi bangsa Polandia yang terkenal sebagai perintis dari astronomi modern, dalam bukunya Revolutionibus Orbium Coelesium, banyak mengutip penemuan Az-Zarqali dan Al-Battani.

Perputaran Benda Langit

Buku itu ditulisnya setelah melakukan penyelidikan bertahun-tahun. Isinya membentangkan tentang perputaran benda-benda di langit. Di mana ditegaskan bahwa bukannya matahari yang mengelilingi bumi, tetapi bumi yang berputar pada sumbunya dan beredar mengelilingi matahari. Teorinya ini mendapat tantangan dari kaum agama dan untuk waktu yang cukup lama dianggap sebagai pendapat yang sesat.

Ahli Falak Muslim yang sangat termasyhur lainnya ialah Al-Battani. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Muhamad bin Jabir Al-Battani. Ia melakukan penyelidikan terus-menerus sejak tahun 264-306 H atau 877-918 M. Telah banyak buku yang ditulisnya, demikian pula tabel-tabel, yang merupakan penerusan daripada langkah-langkah Al-Khawarizimi. Enam puluh tahun kemudian pekerjaannya diteruskan oleh Abdul Wafak, orang Islam keturunan Persia. Salah satu karangan Abdul-Wafk berjudul Al-Falakul-Hadits.

Abu Raihan Muhammad Al-Biruni(363-439 atau 973-1048 M), di samping ahli ilmu-alam, ilmu-bumi, ilmu-pasti, dan ahli sejarah, juga seorang sarjana ahli astronomi. Karangan pertama yang disusunnya ialah Al-Atsarul Baqiyah ‘anil Quranil Khaliyah, yang membicarakan tarikh daripada bangsa-bangsa purbakala. Pada tahun 1030 diterbitkan tulisannya tentang pengetahuan astronomi dengan judul Al-Qanunul Mas’udu fil Haiati wan Nujumi dan kitab At-Tafhim li Awailish-Shina’atit Tanjim.

Abul Wafak berkata dalam bukunya, Al-falakul-Hadits, bahwa di kota Baghdad merupakan pusat kemajuan Ilmu Falak. Kemajuan ini dibintangi oleh banyak ahli Falak yang masyhur antara lain: Mirza Ulugh Beg yang termasyhur dengan tabelnya. Terdapat pula madrasah Ilmu Falak yang berlangsung sejak tahun 750-1450 M. Observatorium terbesar ada di kota itu. Sebagaimana juga terdapat di Damaskus, Samarkand, Kairo, Tas, Tartela serta hampir seluruh ibukota negara-negara Islam lainnya.

Baca Juga  Launching Jurnal Maarif: Etos Gerakan dan Strategi Aksi Muhammadiyah

Dasar Kemajuan Barat

Samarkand juga merupakan kota yang penuh dengan ahli-ahli Falak antara lain Ulugh Beg tersebut di atas. Pada tahun 1437 mereka menyimpan sebuah tabel yang dipersembahkan kepada seorang pangeran dari keluarga Raja Timurlank. Tabel itu diberi nama “Table Ulugh Beg” yang sangat dihargai oleh dunia Barat serta diterbitkan di Inggris pada abad kedelapan belas.

Demikianlah secara ringkas digambarkan bagaimana Ilmu Falak dan hisab berkembang mulai zaman Khalifah ‘Abbasiyah dengan sarjana-sarjana Muslim menjadi pelopor serta mendasari kemajuan selanjutnya oleh orang Barat. Dan itu adalah hasil daripada pelaksanaan firman Allah dalam surat Yunus ayat 5.

Sebagian bahan daripada tulisan ini diambil dari karangan Carra de Vauxyang terhimpun dalam buku The Legacy of Islam yang dihimpun oleh Sir Thomas Arnold dan Alfred Guillaume dan diterbitkan oleh Oxford University pada ulangan cetaknya tahun 1949. Dalam menutup karangannya itu Carra de Vaux berkata :

“Demikianlah secara garis besar perkembangan karya ilmiah daripada bangsa Arab. Tetapi perkembangan itu terhenti ketika para sarjana Barat mulai terbangun, yaitu pada abad kelimabelas. Kadang-kadang orang bertanya-tanya apakah yang menyebabkan kegiatan ilmiah dalam dunia Islam terhenti begitu saja. Ke manakah perginya ketekunan mereka setelah melalui masa kegiatan yang sukses selama itu? Bagaimanapun hal ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang menimbulkan persoalan yang sangat tidak jelas mengenai psikologi umum yang tentang itu belum seorang pun yang telah mengetengahkan jawaban yang pasti, dan saya sendiri tidak mempunyai sesuatu pun pandangan untuk diajukan di sini. Oleh karena itu, saya tidak bermaksud untuk mencoba membicarakannya.”

Di samping itu, ada faktor yang menyebabkan kemunduran itu, yakni hilangnya kepercayaan atau keyakinan umat Islam kepada nilai-nilai ilmiah yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan yang telah mereka gali sendiri. Dengan demikian, amat mudah bagi orang Barat yang telah mengecap terbukanya aliran kemajuan untuk menyusul umat Islam dan melewatinya dalam segala bidang ilmu pengetahuan.

Baca Juga  70 Tahun Amin Abdullah: Filsuf Membumi dan Mencerahkan

Mungkin antara lain sebabnya ialah karena mereka tidak berani secara tegas memperbedakan antara maqashid dan wasaildalam pengertian agama dan ibadah. Dalam perkara ini terletak kunci kemajuan bagi umat beragama, khususnya umat Islam. (Bersambung)

Sumber: SM nomor 1 Th. Ke-53/1973

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds